PENERAPAN PRINSIP
TRANSPARANSI, AKUNTABILITAS DAN PRTISIPASI MASYARAKAT DALAM LOCAL DEVELOPMENT PROGRAM DI TIMOR-LESTE
Oleh:
Lucio
Borromeo de Araujo
PENDAHULUAN
Local Development Program
(LDP) merupakan suatu proses pembangunan lokal yang didelegasikan pelaksanaannya
oleh Pemerintah kepada District Administration (Pemerintahan Kabupaten)
untuk merencanakan dan memutuskan sendiri jenis program dan proyek yang
dibutuhkan masyarakat setempat dalam bentuk infrastruktur yang berskala kecil. Bersamaan
dengan itu, pemerintah mengalokasikan sebagian dana berupa block grants untuk mendukung realisasi dari program dan proyek/kegiatan
yang telah diputuskan tadi.
Adapun
tujuan dari LDP ini adalah: 1) membuka lapangan kerja bagi masyarakat lokal; 2)
mengurangi angka kemiskinan; dan 3) merangsang kemampuan lider lokal dalam
proses perencanaan dan implementasi program dan proyek sebelum memasuki era
desentralisasi. Sementara bagi pemerintah, selain merupakan upaya pilot untuk memperoleh input yang relevan
bagi formulasi kebijakan “desentralisasi” yang akan dititikberatkan pada District sebagai otonomi daerah (dalam
bentuk Municipality), juga dimaksudkan
untuk memacu integritas aparatur pemerintahan lokal [District] agar dapat performa menurut prinsip good governance, terutama yang terkait dengan prinsip akuntabilitas,
transparansi dan partisipasi masyarakat.
Ketiga prinsip utama good governance tersebut secara implisit maupun eksplisit telah
disebutkan dalam kebijakan pemerintah RDTL dalam rangka untuk mewujudkan good local governance di masa depan.
Dalam Diploma Ministérial do MAEOT
No. 1/2010 tentang Assembleia Distrito (District Assembly), secara tersirat
mengatur bahwa, [alokasi dana hibah untuk pembangunan dalam proses LDP harus dapat
memenuhi minimum condition yang
dikembangkan dari tiga prinsip GG tadi]. Artinya, kebijakan ini lebih menitikberatkan
pada alokasi dana/anggaran yang berbasis kinerja (alocation based performance atau
performance based grants), dan kinerja pemerintah District akan terus dievaluasi setiap tahunnya berdasarkan
indikator minimum condition yang
dipersyaratkan.
Adapun
maksud dari kebijakan tersebut adalah untuk mengantisipasi praktek administrasi
yang seringkali menyimpang, seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). KKN
dalam tubuh pemerintahan di hampir semua negara sedang berkembang, apalagi untuk
pemerintahan negara baru, bukan tidak mungkin hal ini dapat terjadi. Presiden
RDTL, Dr. Jose Ramos Horta, pernah menyampaikan keprihatinannya terhadap
korupsi yang merajalela dan terus meningkat dalam tubuh pemerintah di Timor-Leste.
Komentar tersebut disampaikan dalam rangka menanggapi pengumuman hasil evaluasi
Transparansi Internasional tentang korupsi. (Povu Maubere, tanggal 14 Desember
2011). Menurut sumber yang sama diinformasikan bahwa, berdasarkan indeks
korupsi, Timor Leste (bersama-sama dengan negara-negara seperti, Mauritania,
Nigeria, Tongo, Uganda, Bielorrussia) menempati urutan ke-143 dari 183 negara
yang di evaluasi—(semakin kecil angka
indeks-nya semakin kecil pula tingkat korupsinya, begitupun sebaliknya). Itu
artinya praktek korupsi dalam tubuh pemerintahan RDTL sangat besar. Bila dibandingkan
dengan kondisi pada tahun 2010, “Timor Leste mengalami kemerosotan dalam
praktek penyelenggaraan pemerintahan, korupsi meningkat dari urutan 125 menjadi
143” (Povu Maubere, 14 Desember 2011).
Di lain
pihak Uskup Baucau, Dom Basilio do Nascimento, juga menyampaikan hal yang sama
tentang praktek korupsi oleh aparatur pemerintah. Dikatakannya bahwa, “tidak
lama lagi kekuasaan Pemerintahan Konstitusional IV RDTL akan berakhir, namun
disana sini masih ditemukan adanya jalan-jalan yang rusak, terutama di sektor
Timur” (Povu Maubere, 16 Desember 2011)—alokasi dana pembangunan yang cukup
besar tidak serta merta dapat menyelesaikan permasalahan hakiki masyarakat, seperti
kemiskinan, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan lain-lain.
Kondisi
di atas, “barangkali” juga merupakan akumulasi dari berbagai bentuk implementasi
program dan kegiatan pembangunan yang terselenggara selama ini, termasuk LDP.
Menurut pengamatan kami terhadap pelaksanaan LDP di 13 District yang ada, diperoleh informasi (hingga tahun anggaran 2010)
bahwa, Pemerintahan District belum dapat
mencapai/memenuhi minimum condition yang
dipersyaratkan dalam pembangunan lokal dan terkesan cenderung menyimpang dari
arah kebijakan yang telah ditetapkan. Hal ini dapat dilihat pada hasil
penelitian--join research--antara Local NGO (Non Government Organisaton) LUTA HAMUTUK bekerjasama dengan World Bank melalui Justice for the Poor (J4P) terhadap implementasi LDP di
Timor-Leste. Berdasarkan pada hasil penelitian tersebut, dapat disarikan
beberapa indikasi pokok permasalahan sebagai berikut:
1.
Proses perencanaan pembangunan lokal di
tingkat District lebih bersifat top down dan cenderung memberikan
prioritas yang rendah bagi usulan proyek/kegiatan yang bersumber dari
masyarakat di tingkat Suco/Desa.
2.
Penentuan usulan proyek/kegiatan cenderung
didominasi oleh eksekutif dalam hal ini District
Administrator dan pejabat teras lainnya di tingkat District;
3.
Implementasi proyek fisik tertentu, terutama
proyek yang termasuk dalam paket LDP, lebih banyak dilaksanakan oleh sanak
famili/kerabat dari para pejabat, baik di jajaran Cental Government maupun di
District Administration itu sendiri;
4.
Akuntabilitas kinerja pemerintah lokal
cenderung bersifat button up (akuntabilitas
internal);
5.
Publik (masyarakat) kurang mendapatkan
informasi tentang adanya suatu proyek/kegiatan serta besarnya anggaran yang
dialokasikan, sehingga mereka cenderung lebih bersikap pasif (apatis) dalam
implementasinya;
Memperhatikan sebagian indikasi yang
disebutkan di atas, lalu kemudian disandingkan dengan etika pemerintahan dalam
perspektif good governance, maka yang
hendak dipersoalkan adalah integritas pejabat publik pada tataran bureaucracy. Integritas pejabat publik sesungguhnya
adalah pejabat birokrasi yang seharusnya--meminjam pernyataan Denhart &
Denhart (2002:141)--“not just about
doing things right, it’s about doing
the right things”. Pejabat birokrasi pada tataran pemerintahan lokal,
seharusnya, tidak saja melakukan sesuatu program dengan benar, sesuai arah kebijakan yang telah ditetapkan,
tetapi juga diharapkan dapat melakukan sesuatu yang benar; benar-benar sesuai dengan kondisi lingkungan,
dan yang terpenting adalah dapat menjawab persoalan dan kebutuhan masyarakat
yang terus berkembang dari masa ke masa.
Atas
dasar pemikiran demikian maka paper
ini akan mengkaji penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi
masyarakat sebagai landasan ethics
management dalam implementasi local
development program.
KAJIAN
TEORI DAN UNIT ANALISIS
Ethics
Management
Pentingnya
ethics management (manajemen etika)
dalam pemerintahan menurut Menzel (2007:10) adalah “... focused heavily, if not exclusively, on the core values of efficiency,
economy, and effectiveness [3e].”
Dengan berfokus pada trilogi administrasi “3e” tersebut ,dan agar pemerintah
bisa bebas dari tindakan KKN, para administrator publik pada tataran
administrasi lokal harus memiliki karakter moral dan integritas yang tinggi; lalu
kemudian atas dasar peryataan yang terakhir ini, oleh Woodrow Wilson menambahkan
satu (1) huruf “e” lagi menjadi “e” yang keempat yaitu ethics atau etika (Menzel, 2007).
Ethics atau etika seringkali
dipakai sebagai sistem nilai (Surajiwo, 2009), kebiasaan, adat atau akhlak dan
watak (Bertans dalam Keban, 2008) tentang baik buruk, atau suatu perbuatan yang
boleh atau tidak boleh dilakukan. Pemahaman ini selaras dengan pendapat Menzel
(2007:6) yang merumuskan etika sebagai “values
and principles that guide right and wrong behaviour.” Penjelmaan dari etika adalah moral. Moral dipakai untuk perbuatan
yang sedang dinilai (Surajiwo, 2009)—kualitas suatu sifat, yang dihubungkan
dengan norma, sebagai cara bertindak dalam kerangka baik/buruk, benar/salah
yang dianggap sebagai nilai mutlak atau transenden (Keban, 2008).
Etika
dalam manajemen pemerintahan berkaitan dengan produksi barang dan jasa publik (public goods and services), sehingga
disebut etika publik. Etika publik didefinisikan oleh Haryatmoko (2011:5) dalam
tiga dimensi yaitu:
(i) tujuan: “upaya hidup baik” diterjemahkan
menjadi “mengusahakan kesejahteraan umum melalui pelayanan yang berkualitas dan
relevan”; (ii) sarana: “membangun institusi-institusi yang lebih adil”
dirumuskan sebagai “membangun infreastruktur etika dengan menciptakan regulasi,
hukum, aturan agar dijamin akuntabilitas, transparansi, dan netralitas
pelayanan publik”; (iii) aksi/tindakan dipahami sebagai “integritas publik”
untuk menjamin pelayanan publik yang berkualitas dan relevan.
Dari ketiga dimensi definisi etika
publik sebagaimana disebutkan di atas, meskipun sama-sama penting, namun
menurut kami, yang lebih penting adalah integritas publik. Integritas publik
adalah unsur pokok etika publik dan integritas pribadi menjadi landasan
utamanya. Integritas (dalam bahasa Latin,
integer) yang berarti, “tidak rusak, murni, utuh, jujur, lurus, dan dapat
dipercaya atau diandalkan” (D.P. Simpson, Cassell
New Latin Dictionary,1960). Konsep etika publik terutama, menurut
Haryatmoko (2011:72), mengacu pada “tuntutan integritas dan perilaku etis”—sebagai
kualitas utama yang diharapkan dari pejabat publik. Dengan demikian, integritas
publik merupakan kualitas perilaku seseorang atau organisasi yang sesuai dengan
nilai-nilai, standar, dan aturan moral yang diterima oleh anggota organisasi
atau masyarakat.
Terdapat
tiga kriteria untuk mengukur integritas publik pejabat (Kolthoff, 2007) dalam
Haryatmoko (2011:72) yakni:
a) mandiri karena hidupnya mendasarkan pada
nilai-nilai dan norma-norma yang stabil dan mempunyai visi karena mau
memperjuangkan sesuatu yang khas; b) jujur terhadap ideal yang mau dicapainya
yang terungkap dalam satunya kata dan perbuatan; c) perhatian dan tanggung jawab
terhadap masalah-masalah kepentingan publik.
Tiga hal ini, menurut A.J. Brown (2008) dalam Haryatmoko
(2011:73), menjadi pilar good governance,
yang melihat integritas publik sebagai tindakan seseorang/lembaga pemegang
kekuasaan yang sesuai dengan nilai, tujuan dan kewajiban yang dipercayakan kepadanya
atau dengan norma jabatan kekuasaan yang dipegangnya.
Pengertian dan
Prinsip Good Governance (GG)
Mengawali
pembahasan tentang penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas dan
partisipasi masarakat dalam LDP, terlebih dahulu akan ditelusuri sesungguhnya apa
itu Good Governance (GG) serta
prinsip-prinsip apa saja yang terkandung didalamnya.
Sejak awal 1990-an, GG telah menjadi kredo baru dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Kendati demikian, masih terdapat beberapa
perbedaan penekanan, walaupun terdapat persamaan fokus dan ide utamanya. Dari
sudut pandang administrasi pembangunan, dalam (Tjokrowinoto, et al, 2011:3), didefinisikan bahwa:
... an
overall institutional framework within which its citizens are allowed to
interact and transact freely, at different levels, to fulfill its political,
economic and social aspirations. Basically, governance has tree aspects: (i)
the ability of citizens to express views and access decision making freely;
(ii) the capacity of the government agencies (both political and bureaucratic)
to translate these views into realistic plans and to implement them cost
effectively; and (iii) the ability of citizens and institutions to compare what
has been asked for with what has been planned, and to compare what has been
planned with what has been implemented.
Definisi tersebut lebih ditekankan pada
aspek kemampuan pemerintah dan masyarakat/warga negara maupun civil society dalam penyelenggaraan
pemerintahan, yang intinya adalah adanya kebebasan/keterbukaan informasi, efektivitas
[dan efisiensi], dan adanya kontrol/pengawasan secara efektif. Dengan demikian
maka dalam GG diperlukan hubungan harmonis antara state, civil society and market. Hubungan tersebut, dalam ilustrasi
kami, terurai dalam pernyataan-pernyatan seperti, adanya keterlibatan
masyarakat dalam pembuatan kebijakan/keputusan publik, adanya kontrol dari publik
(dalam artian masyarakat dan civil
society). Agar kontrol publik menjadi lebih efektif, keterbukaan informasi
(transparancy) merupakan suatu conditio sine qua non.
Untuk
memahami lebih jauh tentang konsep GG ini, mungkin sebaikanya, kita memfokuskan
perhatian pada prinsip-prinsip yang terkandung didalamnya. Menurut Masyarakat
Transparansi Indonesia (MTI) dalam Hardjasoemantri (2003), mengatakan bahwa, “kunci
utama memahami good governance,
adalah pemahaman atas prinsip-prinsip yang mendasarinya.” Bertolak dari
prinsip-prinsip ini didapat tolok ukur kinerja suatu pemerintah.
Komponen
ataupun prinsip yang melandasi GG, jelas sangat bervariasi dari satu institusi
ke institusi lain, dari satu pakar ke pakar lainnya. Namun paling tidak,
menurut Krina P. (2003), disebutkan adanya sejumlah indikator yang dianggap
sebagai prinsip-prinsip utama yang melandasi GG, yaitu “(1) Transparansi; (2) Akuntabilitas;
dan (3) Partisipasi Masyarakat.”
1)
Transparansi
Aturan dan prosedur
transparan biasanya diberlakukan untuk membuat pejabat pemerintah
bertanggung-jawab dan untuk memerangi korupsi.
Bila rapat pemerintah
dibuka kepada umum dan media massa, bila anggaran dan
laporan keuangan bisa diperiksa oleh siapa
saja, bila undang-undang, aturan,
dan keputusan terbuka untuk didiskusikan, semuanya akan terlihat transparan dan
akan lebih kecil kemungkinan pemerintah untuk menyalahgunakannya untuk
kepentingan sendiri. Pemikiran yang gamblang ini, barangkali relevan untuk
mendefinikan konsep transparansi.
Konsep transparansi didefinisikan
oleh Hardjasoemantri (2003) bahwa, “seluruh proses pemerintah, lembaga-lembaga,
dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan
informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.” Demikian
juga oleh Krina P. (2003) yang mendefinisikan transparansi sebagai, “prinsip
yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi
tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses
pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai.”
Dari
pengertian transparansi yang dikemukakan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan
pengertian bahwa, prinsip transparasi itu sesungguhnya dibangun atas informasi
yang bebas. Bebas diakses oleh siapa saja yang membutuhkan, dan pemerintah berkewajiban
untuk membeberkan informasi tersebut, terutama yang berkaitan dengan segala
sesuatu yang diputuskan untuk dan/atau telah dilakukan dan tidak dilakukan untuk
urusan publik. Kendati demikian, perlu diketengahkan bahwa, pemerintah yang transparan
tidak saja berarti adanya keterbukaan informasi dan akses masyarakat, karena boleh
jadi ada informasi yang asimetris, tetapi penekanannya lebih pada makna “tanggung
jawab”. Tanggung jawab untuk memberikan informasi yang benar dan relevan kepada
yang siapa saja yang membutuhkan atau kepada publik. Hal ini sejalan dengan
pendapat Haryatmoko (2011:112) yang memberikan pemahamannya terhadap konsep transparasi
bahwa, “organisasi pemerintah bisa mempertanggungjawabkan apa yang telah
dilakukan dengan memberi informasi yang relevan atau laporan yang terbuka
terhadap pihak luar atau organisasi mandiri (legislator, auditor, publik) dan dipublikasikan.”
Dengan
pemahaman demikian maka, sesungguhnya transparansi merupakan bentuk
akuntabilitas pemerintah yang sangat rasional untuk menghadapi sistem ekonomi
dan administrasi.
2)
Akuntabilitas
Di kebanyakan negara berkembang,
perhatian utama terhadap GG
dalam kaitan dengan penggunaan otoritas dan manajemen sektor publik adalah
pervasifnya korupsi yang cenderung menjadi karakter tipikal yang melekat.
Bahkan di beberapa negara terbukti bahwa budaya korupsi telah begitu melekat di
dalam birokrasi pemerintah yang justru ditandai oleh kelangkaan sumber daya.
Dalam konteks itu, absennya akuntabilitas sangat menonjol dan menjadi satu
karakter dominan budaya administrasi selama periode tertentu.
Akuntabilitas (accountability) berarti “pemerintah harus bertanggung jawab secara
moral, hukum dan politik atas kebijakan dan tindakan-tindakannya kepada rakyat”
(Haryatmoko, 2011:106). Ini berarti akuntabilitas dipakai untuk mengukur atau
menilai apakah “mandat rakyat” dijalankan dengan baik. Setidaknya ada tiga
aspek penting yang ditekankan dalam pengertian akuntabilitas, yakni: (i) tekanan
akuntabilitas pada pertanggungjawaban kekuasaan melalui keterbukaan pemerintah
atau adanya akses informasi bagi pihak luar organisasi pemerintah (G.E. Caiden,
1988); (ii) memahami akuntabilitas sekaligus sebagai tanggung jawab dan liabilitas sehingga tekanan lebih pada
sisi hukum, ganti rugi, dan organisasi” (J.G. Jobra, 1989); (iii) tekanan lebih
pada hak warga negara untuk bisa mengoreksi dan ambil bagian dalam kebijakan publik
sehingga akuntabilitas disamakan dengan transparansi (B. Guy Peters, 1989).
Dari tiga aspek tersebut di atas dapat
dipahami bahwa akuntabilitas berarti kewajiban untuk memberikan
pertanggung-jawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan pemerintah
kepada pihak yang memiliki hak atau wewenang untuk meminta pertanggungjawaban
atau keterangan. Melalui penerapan prinsip ini, suatu proses pengambilan
keputusan atau kinerja dapat dimonitor, dinilai dan dikritisi oleh warga negara—karena
pada prinsipnya kekuasaan bersumber dari rakyat. Akuntabilitas juga menunjukkan
adanya traceableness yang berarti
dapat ditelusuri sampai ke bukti dasarnya serta reasonableness yang berarti dapat diterima secara logis.
Ada tiga bentuk akuntabilitas menurut Guy
Peters (1989) dalam Haryatmoko (2011:109), yakni:
(i) lucky.praja@gmail.comAkuntabilitas
disamakan dengan transparansi: tuntutan terhadap organisasi pemerintah untuk
mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan;
(ii) Akuntabilitas
dipahami dalam kerangka tanggung jawab, yaitu menjamin perilaku pejabat agar
sesuai dengan deontologi yang mengatur pelayanan publik;
(iii)
Akuntabilitas
dipahami sebagai kemampuan merespon kebutuhan publik atau kemampuan pelayan
publik bertanggungjawab terhadap pemimpin politiknya;
Dari tiga bentuk akuntabilitas ini,
menurut penulis, lebih ditekankan pada bentuk pertama dan kedua. Sedangkan pada
bentuk ketiga, meskipun penting karena sering bisa bertentangan mengenai
kepentingan publik, hanyalah merupakan konsekuensi dari definisi pertama.
Gagasan dasar akuntabilitas bertolak dari upaya memperluas lingkup partisipasi
masyarakat dalam pengambilan keputusan kebijakan publik.
3)
Partisipasi Masyarakat
Pemerintahan
yang demokratis menekankan interaksi antara warga negara, wakil rakyat, dan mesin
administrasi dengan memberi kesempatan kepada gagasan-gagasan khas warga negara
untuk ikut mempengaruhi dan ambil bagian di dalam proses pengambilan kebijakan,
pembangunan, dan pelayanan. Alasan perlunya keterlibatan masyarakat di dalam
proses-proses tersebut berkenaan dengan distribusi public goods and services, dan sering terjadi penyalahgunaan seperti
korupsi.
Korupsi
disebabkan selain karena lemahnya integritas pejabat publik, juga disebabkan
oleh sistem yang mengabaikan partisipasi dan pengawasan. Partisipasi dalam prinsip
GG menurut i UNDP, yang dikutip oleh Batubara (2006), didefinisikan sebagai:
keterlibatan masyarakat dalam
pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga
perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun
atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara
konstruksif.
Pengertian serupa juga diungkapkan oleh Krina P. (2003) yang
menekankan pada “prinsip setiap orang memiliki hak untuk terlibat dalam
pengambilan keputusan di setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.
Keterlibatan dalam pengambilan keputusan dapat dilakukan secara langsung atau
secara tidak langsung.”
Dari
pengertian-pengertian tersebut dapat dipahami bahwa, sesungguhnya partisipasi
masyarakat dalam proses pembangunan, karena memang tujuan dari pembangunan itu
berorientasi pada masyarakat itu sendiri, sebaiknya memang masyarakat sudah
harus terlibat sejak awal yakni pada tahap pengambilan keputusan. Artinya bahwa
ide dan gagasan mereka harus dapat diakomodir, baik secara langsung maupun
tidak langsung melalui perwakiannya. Sehingga dengan demikian masyarakat dapat bertanggungjawab
untuk mengontrol segala tindakan yang diambil untuk implementasi keputusan;
karena pada prinsipnya, menurut Sjamsuddin (2007:87) bahwa, “tanggung jawab
masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap lembaga pemerintah merupakan wujud
dari partisipasi masyarakat.”
Jadi
partisipasi disini tidak saja berarti adanya keterlibatan masyarakat melalui
suatu pemilihan umum, kontribusinya terhadap proses implementasi kegiatan
pemerintahan dan pembangunan (baik fisik maupun non fisik), namun yang juga
penting (bahkan lebih penting) adalah tanggungjawabnya untuk kontrol masyarakat
itu sendiri terhadap pembangunan itu sendiri. Prinsipnya adalah seluruh lapisan
masyarakat akan memperoleh hak dan kekuatan yang sama untuk menuntut atau
mendapatkan bagian yang adil dari manfaat pembangunan. Hanya dengan demikian
maka adigium demokrasi yang mengatakan pemerintah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat dapat terwujud.
Pentingnya Penerapan
Prinsip GG dan Indikator yang dipersyaratkan dalam LDP
Timor
Leste sebagai negara baru yang berideologi demokrasi dalam era globalisasi, tentu
saja akan berhadapan dengan tuntutan dunia (negara donor) yang cukup getol
terhadap penyelenggaraan Good Governance
(GG). GG selain merupakan tuntutan dari negara donor, juga dikarenakan prinsip
demokrasi yang menghendaki adanya kekuasaan yang bersumber dari rakyat. Rakyat
memiliki kebebasan untuk mengontrol pemerintah dan pemerintah bertanggungjawab
untuk memberikan informasi yang benar dan relevan tentang performanya kepada
masyarakat/raktyat, baik secara langsung maupun melalui representasinya.
Penerapan
prinsip transparansi, akuntabilitas dan partispasi masyarakat bertujuan untuk
menghindari adanya penyalahgunaan kekuasaan/wewenang, seperti KKN yang selalu
identik dengan kinerja struktur birokrasi pemerintah. Sjamsuddin (2007:94) mengatakan
bahwa, “praktik korupsi yang merambah seluruh birokrasi pemerintah ini akarnya
berada di departemen pemerintah yang mempunyai kekuasaan mengalokasikan
keuangan negara, termasuk di perbankan.”
Tujuan
diterapkannya prinsip-prinsip GG dalam LDP adalah untuk menciptakan struktur pemerintahan
lokal yang amanah dan demokratis (good
local governance) seperti yang disebutkan dalam Peraturan Menteri MAEOT No.
1/2010, tanggal 4 Pebruari 2010. Dalam lampiran 3 huruf E, disebutkan 11
indikator untuk mengukur kinerja pemerintahan District dalam implementasi LDP. Adapun 11 indikator (masih
sederhana karena masih merupakan pilot
program) tersebut merupakan syarat minimum
condition yang harus dipenuhi dalam implementasi LDP adalah sebagai berikut:
Semua indikator tersebut di atas kelihatannya
masih sangat sederhana karena memang baru merupakan sebuah pilot dan juga
urusannya masih belum rumit. Namun demikian, apabila indikator kinerja dalam
LDP tersebut dilaksanan dengan sungguh-sungguh ditambahkan lagi dengan kemampuan
dan integritas pelaksana birokrasi pada semua lini pemerintahan di Timor Leste,
niscaya praktik KKN dapat eksis dalam tubuh pemerintah, serta tujuan utama dari
LDP untuk mengurangi kemiskinan akan dapat benar-benar tercapai.
PEMBAHASAN
“Pemerintahan yang bersih adalah
syarat kemajuan suatu bangsa. Pemerintahan yang korup menyebabkan kemiskinan, sumber diskriminasi, rentan konflik dan penyalahgunaan wewenang.”
(Haryatmoko, 2011:105).
Gambaran
Singkat tentang LDP
Sebagai
negara baru yang mencapai kemerdekaannya dalam dekade ini, dimana perkembangan
dunia telah mengglobal, tentu saja dihadapkan pada tuntutan agar
penyelenggaraan pemerintahan harus disesuaikan dengan perkembangan dunia
tersebut. Perkembangan dunia saat ini menuntut agar penyelenggaraan
pemerintahan harus dapat berperan lebih baik, demokratis, amanah (Good Governance atau GG). Peran pemerintah
dalam perpektif GG adalah pemerintahan yang berasaskan pada prinsip (utama)
transparansi, akuntabilibitas dan partisipasi, baik pada tataran central goverment maupun local government.
Sebagai
respon terhadap amanat konstitusi RDTL, pasal 5 tentang desentralisasi dan
pasal 72 tentang kewenangan [daerah], saat ini, pemerintah tengah mengupayakan untuk
membentuk struktur pemerintahan lokal. Pemerintahan lokal yang diharapkan
adalah bentuk pemerintahan yang dapat mencerminkan prinsip-prinsip good [local] governance. Upaya
ini diusahakan melalui sebuah pilot program
yang dinamakan Local Development Program
(LDP). LDP dalam pelaksanaannya telah mengadopsi prinsip-prinsip utama GG
tersebut, dengan tujuan selain untuk mendapatkan pelajaran yang relevan dapat
berkontribusi terhadap formulasi kebijakan desentralisasi; juga untuk memacu
integritas pejabat publik pada tataran birokrasi lokal sebelum desentralisasi
yang akan dititikberatkan pada District
sebagai Municipality benar-benar
dapat diwujudkan dan dilaksanakan.
Sebagai
pilot program untuk desentralisasi, desain
struktur pemerintahan masih sangat sederhana, masih mengikut struktur
administrasi District yang ada
(sebagai eksekutif), ditambahkan dengan pembentukan District Assembly (sebagai legislatif). District Assembly (dalam LDP, sebagai cikal bakal legislatif
daerah) yang sementara ini merupakan perwakilan masyarakat dari tiap-tiap suco/desa (Peraturan Menteri MAEOT No.
1/2010 pasal 2), dan lembaga ini sudah terbentuk sejak dan bahkan sebelum
dilegalisasi melalui peraturan tersebut di atas.
Dengan
terbentuknya struktur pemerintahan lokal (cikal bakal desentraisasi)
berdasarkan Peraturan Menteri tersebut diharapkan kinerjanya akan dapat
betul-betul mencerminkan prinsip-prinsip GG, dan yang terpenting adalah dapat menjawab
tujuan utama dari LDP, yakni: (i) mengurangi angka kemiskinan, (ii) membuka
lapangan kerja dan (iii) pengembangan kemampuan lider lokal dalam proses
perencanaan dan implementasi.
Ethics Management: Tinjauan
terhadap Implementasi LDP
Dengan
dibentuknya struktur pemerintahan lokal dalam implementasi LDP berdasarkan Peraturan
Menteri No.1/2010, baik eksekutif maupun legislatif, telah menunjukkan kinerja
yang cukup relevan dengan arah kebijakan yang ditetapkan sebagai kewajiban yang
harus dipatuhi. Namun demikian, kinerja LDP
tidak saja dinilai dari kepatuhannya untuk melalukan sesuatu sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan melalui arah kebijakan tersebut (doing things right). Kinerja pemerintah yang diharapkan dalam LDP
adalah mampu menunjukan kemampuan integritas yang tinggi dengan melakukan
sesuatu sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal (doing the right things), serta dapat menunjukkan kemampuan kinerja
secara transaparan, akuntabel dan dapat memacu partisipasi masyarakat lokal
dalam setiap usaha pembangunan.
Usaha
pemerintah dalam LDP ini sesungguhnya adalah untuk menanamkan etika
instituisional yang berfokus pada modalitas dan tindakan integritas. Dalam
bahasa yang lugas bahwa usaha pemerintah ini merupakan langkah positif untuk
mengantisipasi akan munculnya tindakan KKN dalam institusi publik yang notabene
dalam negara-negara yang telah lebih dahulu ada (eksis), baik negara maju
maupun negara berkembang, praktik KKN selalu identik dengan kinerja birokrasi
pemerintah—godaan untuk melakukan tindakan yang menyimpang dari prinsip
administrasi (efektif, efisien dan ekonomis) ini selalu saja terjadi.
Kegagalan
dalam implementasi LDP, terlepas dari setiap permasalahan yang disebutkan dalam
BAB I, penulis lehih melihatnya dari segi etika birokrasi implemetor, yakni
pada MAEOT sebagai owner dan District sebagai target.
Akuntabilitas dan Transparansi Dalam Pelaksanaan LDP
Salah satu sebab kurangnya akuntabilitas dan
transparansi dalam birokrasi adalah karena adanya perbuatan KKN. Fenemena ini
bukan tidak mungkin terjadi dalam implementasi LDP. Hal ini dikarenakan kurang
memadainya infrastruktur etika untuk menjamin sistem akuntabilitas dan
transparansi.
Ketidak-berhasilan implementasi LDP ini
diukur, diantaranya melalui aspek tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh NGO Luta Hamutuk dan J4P (World Bank)
sebagaimna dikemukakan dalam BAB I, merupakan sebuah bukti bahwa akuntabilitas
dan transparansi yang merupakan landasan pelaksanaan LDP itu hanya merupakan
sebuah retorika. Dikatakan retorika karena masih adanya pihak lebih dominan
dalam pengambilan keputusan serta belum adanya mekanisme kontrol yang baik.
Adanya dominasi kekuasaan atas pihak lain,
percisnya eksekutif terhadap legislatif ala LDP, adalah merupakan tindakan yang
telah menyimpang dari tujuan LDP yang berlandaskan pada prinsip transparansi
dan akuntabilitas. Tindakan ini yang disebut penyalahgunaan kekuasaan, dan yang
terakhir ini biasanya dijadikan modus operandi
KKN.
KKN dapat terjadi, selain karena kurangnya
integritas pejabat publik juga dikarenakan tidak berimbangnya pengawasan yang
tegas oleh District Assembly (DA)--sebagai
cikal bakal legislatif di era desentralisasi nanti--terhadap pihak eksekutif. Dalam
sistem LDP, yang merupakan pilot program untuk desentralisasi, representasi
masyarakat dalam legislatif dipilih berdasarkan quota dari seluruh Suco [Desa] yang ada di tiap-tiap Sub District [Kecamatan] untuk kemudian ditetap
menjadi anggota DA. Representasi masyarakat
desa yang duduk sebagai anggota
DA ini ternyata adalah para Kepada Desa dan Dewan Desa yang notabene berada
dibawah kendali Bupati (eksekutif). Kalau ternyata anggota DA itu adalah para
Kepala Desa dan Dewan Desa yang dapat dikendalikan oleh pihak eksekutif, bukan
tidak mungkin untuk tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini dapat
dibenarkan karena kekuasaan dalam birokrasi masih bersifat sentralistis dan
sangat eksesif. Kalau kondisinya sudah demikian maka berlakulah kekuasaan yang
absolut, dan jika kekuasaan absolut telah terjadi maka berlaku pula adigium
politik “power tends to corrupt, absolute
power tends to absolute corrupt.”
Korupsi dalam paper ini dapat dipahami
sebagai ancaman yang membusukkan masyarakat melalui penyalahgunaan kekuasaan
yang dipercayakan (Haryatmoko, 2011:72). Merefer pada pengertian ini dan dengan
merefleksikan pendapat Kolthoff (2007) tentang kriteria untuk mengukur
integritas publik pejabat, mengafirmasi bahwa pejabat birokrasi pada
pemerintahan lokal telah mempraktekkan perilaku yang tidak etis, kurang memiliki
rasa kepedulian (responsiveness)
sebagai bentuk solidaritas sosial yang seharusnya menjadi salah satu nilai
penting, dan memang sudah harus menjadi tanggungjawabnya (responsibility) dalam pelayanan publik. Adapun
yang amat menonjol adalah kewajiban untuk menyampaikan laporan ke hirarki
pemerintah diatasnya sebagai bentuk responsibilitas dengan menafikan andil
masyarakat yang amat besar terhadap eksistensi pemerintah RDTL.
Konstelasi demikian ini yang membuat aparat birokrasi
di District dalam implementasi LDP menjadi
tidak transparan, terutama kepada rakyat dan masyarakat pada umumnya. Aturan
dan prosedur transparan sebenarnya telah disebutkan dalam lampiran Diploma Ministerial do MAEOT no.1/2010,
bahwa semua keputusan yang telah terkait dengan anggaran dan
laporan keuangan harus dipublikasikan baik
melalui media massa maupun melalui sarana seperti papan pengumuman. Upaya ini
dilakukan agar masyarakat dapat mengakses informasi secara bebas. Namun
demikian hal ini, sebagian besar Distrik, melakukannya sehingga masyarakat
cenderung terlihat lebih pasif terhadap implementasi LDP.
Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan LDP
Sebagaimana
yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kontrol pemerintah yang dilakukan oleh
masyarakat adalah wujud dari partisipasi itu sendiri. Masyarakat akan
berpartisipasi secara memadai bila ada mekanisme kontrol yang baik. Kontrol
pemerintah akan lebih efektif bila pemerintah mau menunjukkan tanggungjawabnya
secara transparan.
Terdapat
dua bentuk partisipasi masyarakat dalam LDP, yakni partisipasi perwakilan dan
partisipasi langsung. Partisipasi perwakilan adalah bentuk partisipasi yang
dilakukan melalui perwakilannya di DA yang berfungsi selain mengawasi
pelaksanaan program dan proyek, juga ikut merencanakan, memutuskan dan mengesahkan
usulan program dan kegiatan tahunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Partisipasi demikian yang juga disebut partisipasi tidak langsung. Sedangkan
partisipasi langsung adalah keterlibatan masyarakat dalam LDP berupa
tanggungjawab untuk menjaga dan memelihara kelestarian proyek pembangunan yang
dibiayai dengan local development fund yang
masih berbentuk block grant.
Dalam
hasil penelitian yang dilakukan oleh Luta Hamutuk dan J4P disebutkan bahwa, ketidakberhasilan
LDP juga disebabkan oleh kurangnya partisipasi masyarakat, baik melalui
perencanaan maupun dalam bentuk kontrol. Disebutkan dalam laporannya bahwa, masyarakat
kurang berpartisipasi secara efektif karena tidak melibatkan mereka dalam
implementasi proyek fisik. Alasan ini menjustifikasi mengapa masyarakat tidak
mau melakukan kontrol terhadap pelaksanaan LDP. Disebutkan juga bahwa, salah
satu tujuan dari LDP adalah mengakses lapangan kerja justru dikerjakan oleh
para kontraktor dan tenaga kerja yang telah disediakan oleh pemerintah pusat
dan sanak famili dari pejabat pemerintahan District.
Konstelasi demikian ini yang telah menjauhkan tujuan sesungguhnya dari
pelaksanaan LDP menjadi obyek pembelajaran bagi desentralisasi KKN.
Dalam
kondisi seperti ini, integritas pejabat publik dipertaruhkan, tidak saja
pejabat dari pemerintahan District,
namun pejabat birokrasi pada jajaran pemerintahan pusat (MAEOT). Kurangnya keseriusan
untuk mendampingi proses pelaksanaan LDP turut berkontribusi terhadap kegagalan
pelaksanaan LDP. Kegagalan tersebut telah berakibat pada adanya rasa sikap
apatisme dari masyarakat dan cenderung merasa tidak memiliki setiap usaha
pembangunan, utamanya yang tergolong dalam LDP.
PENUTUP
Demikian pokok-pokok bahasan tentang
penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaan LDP di Timor Leste. Dalam bahasan ini disimpulkan bahwa, keberhasilan
atau kegagalan pelaksanaan LDP akan sangat tergantung dari integritas pejabat
publik pada tataran pemerintahan District.
Kurangnya integritas pejabat publik akan melahirkan ajang baru bagi
korupsi, kolusi dan nepotisme.
Oleh
karena itu disarankan agar pemerintah lebih meningkatkan pengawasan dan proses
pendampingan yang intensif terhadap pelaksanaan LDP, terutama pemerintah pusat dalam
hal ini MAEOT sebagai owner. Upaya
lain yang harus dilakukan adalah penyebarluasan informasi melalui sosialisasi
dan pelatihan-pelatihan tentang etika untuk menanamkan responsivitas dan
responsibilitas bagi aparat birokrasi pemerintah terkait dengan distribusi
barang dan jasa publik.
DAFTAR
PUSTAKA
Acara,
Maurico, 2010, Laporan penelitian: Impementação
Programa Desenvolvimento Local, Joint Research LUTA HAMUTUK with Justice
for the Poor (J4P) World Bank
Batubara,
Alwi Hasyim, 2006, Konsep Good Governance dalam Konsep Otonomi Daerah, Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan,
Volume 3 Nomor 1, Januari-April
Denhart,
Jenet V. and Robert B. Denhart, 2002, The
New Public Service: Serving, not Steering, M.E. Sharpe, Armonk, New York,
London, England
Diploma
Ministerial No. 1/2010 konaba Assembleia
Distrito
Hardjasoemantri,
Koesnadi, 2003, Good Governance Dalam
Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia, Makalah Untuk Lokakarya Pembangunan
Hukum Nasional ke VIII di Bali, tanggal 15 Juli
Haryatmoko,
2011, Etika Publik untuk Integritas
Pejabat Publik dan Politisi, PT Gramedia Pustaka Utama, Kompas Gramedia
Building, Jakarta
Keban,
Yerimias T., 2008, Enam Dimensi
Administrasi Publik: Konsep, Teori dan Isu, Gava Gramedia, Yogyakarta
Krina
P., Loila Lalolo, 2003, Indikator &
Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi & Partisipasi,
Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,
Jakarta
Menzel,
Donald C., 2007, Ethics Management for
Public Administrators, M.E. Sharpe, Armonk, New York
Povo
Maubere, 2011, Resultadu Peskiza Transparensia Internasional: Timor-Leste Nakonu ho Korupsaun neebe Sae
A'at ba Bebeik, tanggal 14 dan 16 Desember. www.povumaubere.com. downloaded 27 Desember 2011
Sjamsuddin,
Sjamsiar, 2007, Etika Birokrasi dan
Akuntabilitas Sektor Publik, Yayasan Pembangunan Nasional bekerjasama
dengan CV. SOFA Mandiri dan Indonesia Print, Malang
Surajiwo,
2009, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar,
Bumi Aksara, Jakarta
Tjokrowinoto,
Moeljarto. et al. 2011, Birokrasi dalam Polemik, Pustaka Pelajar
bekerjasama dengan Universitas Muhammadiah Malang, Malang