Jumat, 03 Mei 2013

PRINSIP TRANSPARANSI, AKUNTABILITAS DAN PRTISIPASI MASYARAKAT


PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI, AKUNTABILITAS DAN PRTISIPASI MASYARAKAT DALAM LOCAL DEVELOPMENT PROGRAM DI TIMOR-LESTE
Oleh:
Lucio Borromeo de Araujo

PENDAHULUAN
Local Development Program (LDP) merupakan suatu proses pembangunan lokal yang didelegasikan pelaksanaannya oleh Pemerintah kepada District Administration (Pemerintahan Kabupaten) untuk merencanakan dan memutuskan sendiri jenis program dan proyek yang dibutuhkan masyarakat setempat dalam bentuk infrastruktur yang berskala kecil. Bersamaan dengan itu, pemerintah mengalokasikan sebagian dana berupa block grants untuk mendukung realisasi dari program dan proyek/kegiatan yang telah diputuskan tadi.
Adapun tujuan dari LDP ini adalah: 1) membuka lapangan kerja bagi masyarakat lokal; 2) mengurangi angka kemiskinan; dan 3) merangsang kemampuan lider lokal dalam proses perencanaan dan implementasi program dan proyek sebelum memasuki era desentralisasi. Sementara bagi pemerintah, selain merupakan upaya pilot untuk memperoleh input yang relevan bagi formulasi kebijakan “desentralisasi” yang akan dititikberatkan pada District sebagai otonomi daerah (dalam bentuk Municipality), juga dimaksudkan untuk memacu integritas aparatur pemerintahan lokal [District] agar dapat performa menurut prinsip good governance, terutama yang terkait dengan prinsip akuntabilitas, transparansi dan partisipasi masyarakat.
Ketiga prinsip utama good governance tersebut secara implisit maupun eksplisit telah disebutkan dalam kebijakan pemerintah RDTL dalam rangka untuk mewujudkan good local governance di masa depan. Dalam Diploma Ministérial do MAEOT No. 1/2010 tentang Assembleia Distrito (District Assembly), secara tersirat mengatur bahwa, [alokasi dana hibah untuk pembangunan dalam proses LDP harus dapat memenuhi minimum condition yang dikembangkan dari tiga prinsip GG tadi]. Artinya, kebijakan ini lebih menitikberatkan pada alokasi dana/anggaran yang berbasis kinerja (alocation based performance atau performance based grants), dan kinerja pemerintah District akan terus dievaluasi setiap tahunnya berdasarkan indikator minimum condition yang dipersyaratkan.
Adapun maksud dari kebijakan tersebut adalah untuk mengantisipasi praktek administrasi yang seringkali menyimpang, seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). KKN dalam tubuh pemerintahan di hampir semua negara sedang berkembang, apalagi untuk pemerintahan negara baru, bukan tidak mungkin hal ini dapat terjadi. Presiden RDTL, Dr. Jose Ramos Horta, pernah menyampaikan keprihatinannya terhadap korupsi yang merajalela dan terus meningkat dalam tubuh pemerintah di Timor-Leste. Komentar tersebut disampaikan dalam rangka menanggapi pengumuman hasil evaluasi Transparansi Internasional tentang korupsi. (Povu Maubere, tanggal 14 Desember 2011). Menurut sumber yang sama diinformasikan bahwa, berdasarkan indeks korupsi, Timor Leste (bersama-sama dengan negara-negara seperti, Mauritania, Nigeria, Tongo, Uganda, Bielorrussia) menempati urutan ke-143 dari 183 negara yang di evaluasi—(semakin kecil angka indeks-nya semakin kecil pula tingkat korupsinya, begitupun sebaliknya). Itu artinya praktek korupsi dalam tubuh pemerintahan RDTL sangat besar. Bila dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2010, “Timor Leste mengalami kemerosotan dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, korupsi meningkat dari urutan 125 menjadi 143” (Povu Maubere, 14 Desember 2011).
Di lain pihak Uskup Baucau, Dom Basilio do Nascimento, juga menyampaikan hal yang sama tentang praktek korupsi oleh aparatur pemerintah. Dikatakannya bahwa, “tidak lama lagi kekuasaan Pemerintahan Konstitusional IV RDTL akan berakhir, namun disana sini masih ditemukan adanya jalan-jalan yang rusak, terutama di sektor Timur” (Povu Maubere, 16 Desember 2011)—alokasi dana pembangunan yang cukup besar tidak serta merta dapat menyelesaikan permasalahan hakiki masyarakat, seperti kemiskinan, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan lain-lain.
Kondisi di atas, “barangkali” juga merupakan akumulasi dari berbagai bentuk implementasi program dan kegiatan pembangunan yang terselenggara selama ini, termasuk LDP. Menurut pengamatan kami terhadap pelaksanaan LDP di 13 District yang ada, diperoleh informasi (hingga tahun anggaran 2010) bahwa, Pemerintahan District belum dapat mencapai/memenuhi minimum condition yang dipersyaratkan dalam pembangunan lokal dan terkesan cenderung menyimpang dari arah kebijakan yang telah ditetapkan. Hal ini dapat dilihat pada hasil penelitian--join research--antara Local NGO (Non Government Organisaton) LUTA HAMUTUK bekerjasama dengan World Bank melalui Justice for the Poor (J4P) terhadap implementasi LDP di Timor-Leste. Berdasarkan pada hasil penelitian tersebut, dapat disarikan beberapa indikasi pokok permasalahan sebagai berikut:
1.   Proses perencanaan pembangunan lokal di tingkat District lebih bersifat top down dan cenderung memberikan prioritas yang rendah bagi usulan proyek/kegiatan yang bersumber dari masyarakat di tingkat Suco/Desa.
2.   Penentuan usulan proyek/kegiatan cenderung didominasi oleh eksekutif dalam hal ini District Administrator dan pejabat teras lainnya di tingkat District;
3.   Implementasi proyek fisik tertentu, terutama proyek yang termasuk dalam paket LDP, lebih banyak dilaksanakan oleh sanak famili/kerabat dari para pejabat, baik di jajaran Cental Government maupun di District Administration itu sendiri;
4.   Akuntabilitas kinerja pemerintah lokal cenderung bersifat button up (akuntabilitas internal);
5.   Publik (masyarakat) kurang mendapatkan informasi tentang adanya suatu proyek/kegiatan serta besarnya anggaran yang dialokasikan, sehingga mereka cenderung lebih bersikap pasif (apatis) dalam implementasinya;
Memperhatikan sebagian indikasi yang disebutkan di atas, lalu kemudian disandingkan dengan etika pemerintahan dalam perspektif good governance, maka yang hendak dipersoalkan adalah integritas pejabat publik pada tataran bureaucracy. Integritas pejabat publik sesungguhnya adalah pejabat birokrasi yang seharusnya--meminjam pernyataan Denhart & Denhart (2002:141)--“not just about doing things right, it’s about doing the right things”. Pejabat birokrasi pada tataran pemerintahan lokal, seharusnya, tidak saja melakukan sesuatu program dengan benar, sesuai arah kebijakan yang telah ditetapkan, tetapi juga diharapkan dapat melakukan sesuatu yang benar; benar-benar sesuai dengan kondisi lingkungan, dan yang terpenting adalah dapat menjawab persoalan dan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang dari masa ke masa.
Atas dasar pemikiran demikian maka paper ini akan mengkaji penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat sebagai landasan ethics management dalam implementasi local development program.
KAJIAN TEORI DAN UNIT ANALISIS
Ethics Management
Pentingnya ethics management (manajemen etika) dalam pemerintahan menurut Menzel (2007:10) adalah “... focused heavily, if not exclusively, on the core values of efficiency, economy, and effectiveness [3e].” Dengan berfokus pada trilogi administrasi “3e” tersebut ,dan agar pemerintah bisa bebas dari tindakan KKN, para administrator publik pada tataran administrasi lokal harus memiliki karakter moral dan integritas yang tinggi; lalu kemudian atas dasar peryataan yang terakhir ini, oleh Woodrow Wilson menambahkan satu (1) huruf “e” lagi menjadi “e” yang keempat yaitu ethics atau etika (Menzel, 2007).
Ethics atau etika seringkali dipakai sebagai sistem nilai (Surajiwo, 2009), kebiasaan, adat atau akhlak dan watak (Bertans dalam Keban, 2008) tentang baik buruk, atau suatu perbuatan yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Pemahaman ini selaras dengan pendapat Menzel (2007:6) yang merumuskan etika sebagai “values and principles that guide right and wrong behaviour. Penjelmaan dari etika adalah moral. Moral dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai (Surajiwo, 2009)—kualitas suatu sifat, yang dihubungkan dengan norma, sebagai cara bertindak dalam kerangka baik/buruk, benar/salah yang dianggap sebagai nilai mutlak atau transenden (Keban, 2008).
Etika dalam manajemen pemerintahan berkaitan dengan produksi barang dan jasa publik (public goods and services), sehingga disebut etika publik. Etika publik didefinisikan oleh Haryatmoko (2011:5) dalam tiga dimensi yaitu:
(i) tujuan: “upaya hidup baik” diterjemahkan menjadi “mengusahakan kesejahteraan umum melalui pelayanan yang berkualitas dan relevan”; (ii) sarana: “membangun institusi-institusi yang lebih adil” dirumuskan sebagai “membangun infreastruktur etika dengan menciptakan regulasi, hukum, aturan agar dijamin akuntabilitas, transparansi, dan netralitas pelayanan publik”; (iii) aksi/tindakan dipahami sebagai “integritas publik” untuk menjamin pelayanan publik yang berkualitas dan relevan.
Dari ketiga dimensi definisi etika publik sebagaimana disebutkan di atas, meskipun sama-sama penting, namun menurut kami, yang lebih penting adalah integritas publik. Integritas publik adalah unsur pokok etika publik dan integritas pribadi menjadi landasan utamanya. Integritas (dalam bahasa Latin, integer) yang berarti, “tidak rusak, murni, utuh, jujur, lurus, dan dapat dipercaya atau diandalkan” (D.P. Simpson, Cassell New Latin Dictionary,1960). Konsep etika publik terutama, menurut Haryatmoko (2011:72), mengacu pada “tuntutan integritas dan perilaku etis”—sebagai kualitas utama yang diharapkan dari pejabat publik. Dengan demikian, integritas publik merupakan kualitas perilaku seseorang atau organisasi yang sesuai dengan nilai-nilai, standar, dan aturan moral yang diterima oleh anggota organisasi atau masyarakat.
Terdapat tiga kriteria untuk mengukur integritas publik pejabat (Kolthoff, 2007) dalam Haryatmoko (2011:72) yakni:
a) mandiri karena hidupnya mendasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma yang stabil dan mempunyai visi karena mau memperjuangkan sesuatu yang khas; b) jujur terhadap ideal yang mau dicapainya yang terungkap dalam satunya kata dan perbuatan; c) perhatian dan tanggung jawab terhadap masalah-masalah kepentingan publik.
Tiga hal ini, menurut A.J. Brown (2008) dalam Haryatmoko (2011:73), menjadi pilar good governance, yang melihat integritas publik sebagai tindakan seseorang/lembaga pemegang kekuasaan yang sesuai dengan nilai, tujuan dan kewajiban yang dipercayakan kepadanya atau dengan norma jabatan kekuasaan yang dipegangnya.
Pengertian dan Prinsip Good Governance (GG)
Mengawali pembahasan tentang penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masarakat dalam LDP, terlebih dahulu akan ditelusuri sesungguhnya apa itu Good Governance (GG) serta prinsip-prinsip apa saja yang terkandung didalamnya.
Sejak awal 1990-an, GG telah menjadi kredo baru dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kendati demikian, masih terdapat beberapa perbedaan penekanan, walaupun terdapat persamaan fokus dan ide utamanya. Dari sudut pandang administrasi pembangunan, dalam (Tjokrowinoto, et al, 2011:3), didefinisikan bahwa:
... an overall institutional framework within which its citizens are allowed to interact and transact freely, at different levels, to fulfill its political, economic and social aspirations. Basically, governance has tree aspects: (i) the ability of citizens to express views and access decision making freely; (ii) the capacity of the government agencies (both political and bureaucratic) to translate these views into realistic plans and to implement them cost effectively; and (iii) the ability of citizens and institutions to compare what has been asked for with what has been planned, and to compare what has been planned with what has been implemented.
Definisi tersebut lebih ditekankan pada aspek kemampuan pemerintah dan masyarakat/warga negara maupun civil society dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang intinya adalah adanya kebebasan/keterbukaan informasi, efektivitas [dan efisiensi], dan adanya kontrol/pengawasan secara efektif. Dengan demikian maka dalam GG diperlukan hubungan harmonis antara state, civil society and market. Hubungan tersebut, dalam ilustrasi kami, terurai dalam pernyataan-pernyatan seperti, adanya keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan/keputusan publik, adanya kontrol dari publik (dalam artian masyarakat dan civil society). Agar kontrol publik menjadi lebih efektif, keterbukaan informasi (transparancy) merupakan suatu conditio sine qua non.
Untuk memahami lebih jauh tentang konsep GG ini, mungkin sebaikanya, kita memfokuskan perhatian pada prinsip-prinsip yang terkandung didalamnya. Menurut Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) dalam Hardjasoemantri (2003), mengatakan bahwa, “kunci utama memahami good governance, adalah pemahaman atas prinsip-prinsip yang mendasarinya.” Bertolak dari prinsip-prinsip ini didapat tolok ukur kinerja suatu pemerintah.
Komponen ataupun prinsip yang melandasi GG, jelas sangat bervariasi dari satu institusi ke institusi lain, dari satu pakar ke pakar lainnya. Namun paling tidak, menurut Krina P. (2003), disebutkan adanya sejumlah indikator yang dianggap sebagai prinsip-prinsip utama yang melandasi GG, yaitu “(1) Transparansi; (2) Akuntabilitas; dan (3) Partisipasi Masyarakat.”
1)   Transparansi
Aturan dan prosedur transparan biasanya diberlakukan untuk membuat pejabat pemerintah bertanggung-jawab dan untuk memerangi korupsi. Bila rapat pemerintah dibuka kepada umum dan media massa, bila anggaran dan laporan keuangan bisa diperiksa oleh siapa saja, bila undang-undang, aturan, dan keputusan terbuka untuk didiskusikan, semuanya akan terlihat transparan dan akan lebih kecil kemungkinan pemerintah untuk menyalahgunakannya untuk kepentingan sendiri. Pemikiran yang gamblang ini, barangkali relevan untuk mendefinikan konsep transparansi.
Konsep transparansi didefinisikan oleh Hardjasoemantri (2003) bahwa, “seluruh proses pemerintah, lembaga-lembaga, dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.” Demikian juga oleh Krina P. (2003) yang mendefinisikan transparansi sebagai, “prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai.”
Dari pengertian transparansi yang dikemukakan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan pengertian bahwa, prinsip transparasi itu sesungguhnya dibangun atas informasi yang bebas. Bebas diakses oleh siapa saja yang membutuhkan, dan pemerintah berkewajiban untuk membeberkan informasi tersebut, terutama yang berkaitan dengan segala sesuatu yang diputuskan untuk dan/atau telah dilakukan dan tidak dilakukan untuk urusan publik. Kendati demikian, perlu diketengahkan bahwa, pemerintah yang transparan tidak saja berarti adanya keterbukaan informasi dan akses masyarakat, karena boleh jadi ada informasi yang asimetris, tetapi penekanannya lebih pada makna “tanggung jawab”. Tanggung jawab untuk memberikan informasi yang benar dan relevan kepada yang siapa saja yang membutuhkan atau kepada publik. Hal ini sejalan dengan pendapat Haryatmoko (2011:112) yang memberikan pemahamannya terhadap konsep transparasi bahwa, “organisasi pemerintah bisa mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan dengan memberi informasi yang relevan atau laporan yang terbuka terhadap pihak luar atau organisasi mandiri (legislator, auditor, publik) dan dipublikasikan.”
Dengan pemahaman demikian maka, sesungguhnya transparansi merupakan bentuk akuntabilitas pemerintah yang sangat rasional untuk menghadapi sistem ekonomi dan administrasi.
2)   Akuntabilitas
Di kebanyakan negara berkembang, perhatian utama terhadap GG dalam kaitan dengan penggunaan otoritas dan manajemen sektor publik adalah pervasifnya korupsi yang cenderung menjadi karakter tipikal yang melekat. Bahkan di beberapa negara terbukti bahwa budaya korupsi telah begitu melekat di dalam birokrasi pemerintah yang justru ditandai oleh kelangkaan sumber daya. Dalam konteks itu, absennya akuntabilitas sangat menonjol dan menjadi satu karakter dominan budaya administrasi selama periode tertentu.
Akuntabilitas (accountability) berarti “pemerintah harus bertanggung jawab secara moral, hukum dan politik atas kebijakan dan tindakan-tindakannya kepada rakyat” (Haryatmoko, 2011:106). Ini berarti akuntabilitas dipakai untuk mengukur atau menilai apakah “mandat rakyat” dijalankan dengan baik. Setidaknya ada tiga aspek penting yang ditekankan dalam pengertian akuntabilitas, yakni: (i) tekanan akuntabilitas pada pertanggungjawaban kekuasaan melalui keterbukaan pemerintah atau adanya akses informasi bagi pihak luar organisasi pemerintah (G.E. Caiden, 1988); (ii) memahami akuntabilitas sekaligus sebagai tanggung jawab dan liabilitas sehingga tekanan lebih pada sisi hukum, ganti rugi, dan organisasi” (J.G. Jobra, 1989); (iii) tekanan lebih pada hak warga negara untuk bisa mengoreksi dan ambil bagian dalam kebijakan publik sehingga akuntabilitas disamakan dengan transparansi (B. Guy Peters, 1989).
Dari tiga aspek tersebut di atas dapat dipahami bahwa akuntabilitas berarti kewajiban untuk memberikan pertanggung-jawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan pemerintah kepada pihak yang memiliki hak atau wewenang untuk meminta pertanggungjawaban atau keterangan. Melalui penerapan prinsip ini, suatu proses pengambilan keputusan atau kinerja dapat dimonitor, dinilai dan dikritisi oleh warga negara—karena pada prinsipnya kekuasaan bersumber dari rakyat. Akuntabilitas juga menunjukkan adanya traceableness yang berarti dapat ditelusuri sampai ke bukti dasarnya serta reasonableness yang berarti dapat diterima secara logis.
Ada tiga bentuk akuntabilitas menurut Guy Peters (1989) dalam Haryatmoko (2011:109), yakni:
(i) lucky.praja@gmail.comAkuntabilitas disamakan dengan transparansi: tuntutan terhadap organisasi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan;
(ii) Akuntabilitas dipahami dalam kerangka tanggung jawab, yaitu menjamin perilaku pejabat agar sesuai dengan deontologi yang mengatur pelayanan publik;
(iii) Akuntabilitas dipahami sebagai kemampuan merespon kebutuhan publik atau kemampuan pelayan publik bertanggungjawab terhadap pemimpin politiknya;
Dari tiga bentuk akuntabilitas ini, menurut penulis, lebih ditekankan pada bentuk pertama dan kedua. Sedangkan pada bentuk ketiga, meskipun penting karena sering bisa bertentangan mengenai kepentingan publik, hanyalah merupakan konsekuensi dari definisi pertama. Gagasan dasar akuntabilitas bertolak dari upaya memperluas lingkup partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan kebijakan publik.
3)   Partisipasi Masyarakat
Pemerintahan yang demokratis menekankan interaksi antara warga negara, wakil rakyat, dan mesin administrasi dengan memberi kesempatan kepada gagasan-gagasan khas warga negara untuk ikut mempengaruhi dan ambil bagian di dalam proses pengambilan kebijakan, pembangunan, dan pelayanan. Alasan perlunya keterlibatan masyarakat di dalam proses-proses tersebut berkenaan dengan distribusi public goods and services, dan sering terjadi penyalahgunaan seperti korupsi.
Korupsi disebabkan selain karena lemahnya integritas pejabat publik, juga disebabkan oleh sistem yang mengabaikan partisipasi dan pengawasan. Partisipasi dalam prinsip GG menurut i UNDP, yang dikutip oleh Batubara (2006), didefinisikan sebagai:
keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruksif.
Pengertian serupa juga diungkapkan oleh Krina P. (2003) yang menekankan pada “prinsip setiap orang memiliki hak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan di setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Keterlibatan dalam pengambilan keputusan dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung.”
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat dipahami bahwa, sesungguhnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, karena memang tujuan dari pembangunan itu berorientasi pada masyarakat itu sendiri, sebaiknya memang masyarakat sudah harus terlibat sejak awal yakni pada tahap pengambilan keputusan. Artinya bahwa ide dan gagasan mereka harus dapat diakomodir, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui perwakiannya. Sehingga dengan demikian masyarakat dapat bertanggungjawab untuk mengontrol segala tindakan yang diambil untuk implementasi keputusan; karena pada prinsipnya, menurut Sjamsuddin (2007:87) bahwa, “tanggung jawab masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap lembaga pemerintah merupakan wujud dari partisipasi masyarakat.”
Jadi partisipasi disini tidak saja berarti adanya keterlibatan masyarakat melalui suatu pemilihan umum, kontribusinya terhadap proses implementasi kegiatan pemerintahan dan pembangunan (baik fisik maupun non fisik), namun yang juga penting (bahkan lebih penting) adalah tanggungjawabnya untuk kontrol masyarakat itu sendiri terhadap pembangunan itu sendiri. Prinsipnya adalah seluruh lapisan masyarakat akan memperoleh hak dan kekuatan yang sama untuk menuntut atau mendapatkan bagian yang adil dari manfaat pembangunan. Hanya dengan demikian maka adigium demokrasi yang mengatakan pemerintah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dapat terwujud.
Pentingnya Penerapan Prinsip GG dan Indikator yang dipersyaratkan dalam LDP
Timor Leste sebagai negara baru yang berideologi demokrasi dalam era globalisasi, tentu saja akan berhadapan dengan tuntutan dunia (negara donor) yang cukup getol terhadap penyelenggaraan Good Governance (GG). GG selain merupakan tuntutan dari negara donor, juga dikarenakan prinsip demokrasi yang menghendaki adanya kekuasaan yang bersumber dari rakyat. Rakyat memiliki kebebasan untuk mengontrol pemerintah dan pemerintah bertanggungjawab untuk memberikan informasi yang benar dan relevan tentang performanya kepada masyarakat/raktyat, baik secara langsung maupun melalui representasinya.
Penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas dan partispasi masyarakat bertujuan untuk menghindari adanya penyalahgunaan kekuasaan/wewenang, seperti KKN yang selalu identik dengan kinerja struktur birokrasi pemerintah. Sjamsuddin (2007:94) mengatakan bahwa, “praktik korupsi yang merambah seluruh birokrasi pemerintah ini akarnya berada di departemen pemerintah yang mempunyai kekuasaan mengalokasikan keuangan negara, termasuk di perbankan.”
Tujuan diterapkannya prinsip-prinsip GG dalam LDP adalah untuk menciptakan struktur pemerintahan lokal yang amanah dan demokratis (good local governance) seperti yang disebutkan dalam Peraturan Menteri MAEOT No. 1/2010, tanggal 4 Pebruari 2010. Dalam lampiran 3 huruf E, disebutkan 11 indikator untuk mengukur kinerja pemerintahan District dalam implementasi LDP. Adapun 11 indikator (masih sederhana karena masih merupakan pilot program) tersebut merupakan syarat minimum condition yang harus dipenuhi dalam implementasi LDP adalah sebagai berikut:
a)   Akontabilidade (Akuntabilitas):
1.   Assembleia mantein tuir regulamentu nebe’e defini husi MAEOT (Dewan District yang dibentuk disesuaikan dengan Peraturan Menteri);
2.   Assembleia halo enkontru minimu dala haat iha tinan kotuk (Dewan District menyelenggarakan pertemuan rutin minimal 4 kali);
3.   Assembleia aprova planu investimentu no orsamentu anual iha tinan kotuk (Dewan District mengesahkan rencana belanja dan anggaran tahunan sebelum implementasi);
4.   Hala’o tuir Regulamentu Finansa FDL nian iha Tinan Fiskál agora (Rencana anggaran dan belanja disesuaikan dengan peraturan menteri tentang Local Development Fund atau LDF untuk tahun berjalan);
5.   Implementasaun orsamentu tinan kotuk nian hato’o ba Assembleia (Implementasi anggaran tahun lalu disampikan pada Dewan District);
6.   Relatorio auditorial tinan kotuk nian hato’o ba Assembleia (Laporan audit tahun lalu disampaikan pada Dewan District);
b)  Transparánsia (Transparansi):
7.  Planu investimentu no orsamentu anual ba Tinan Fiskál agora  nian taka iha kuadru aviso publiku (Rencana belanja dan anggaran tahun ini dismapaikan kepada publik melalui media atau ditempel di papan pengumuman);
8.   Minutas husi enkontru Assembleia nian tinan liu ba taka iha kuadru aviso publiku (Notolen rapat Dewan District tahun dipublikasikan);
9.  Tenderizasaun ba Tinan Fiskál agora nian fo-sai tuir regulamentu aprovizonamentu (Proses tenderisasi proyek dilakukan secara terbuka sesuai dengan peraturan procurament);
c)   Kontribuisaun Lokál (Partisipasi Masyarakat):
10. Kontribuisaun lokál ba atividade ne’ebé finansia ho FDL Tinan Fiskál agora apresia (Masyarakat memberikan apresiasi atau berkolaborasi terhadap kegiatan yang dibiayai dari LDF); 
11. Operasaun no Manutensaun ba investimentu hirak ne’ebé finansia ho FDL hala’o tuir (Turut menjaga kelestarian terhadap proyek yang dibiayai oleh LDF seperti operation and maintenance)
Semua indikator tersebut di atas kelihatannya masih sangat sederhana karena memang baru merupakan sebuah pilot dan juga urusannya masih belum rumit. Namun demikian, apabila indikator kinerja dalam LDP tersebut dilaksanan dengan sungguh-sungguh ditambahkan lagi dengan kemampuan dan integritas pelaksana birokrasi pada semua lini pemerintahan di Timor Leste, niscaya praktik KKN dapat eksis dalam tubuh pemerintah, serta tujuan utama dari LDP untuk mengurangi kemiskinan akan dapat benar-benar tercapai.
PEMBAHASAN
“Pemerintahan yang bersih adalah syarat kemajuan suatu bangsa. Pemerintahan yang korup menyebabkan kemiskinan,                   sumber diskriminasi, rentan konflik dan penyalahgunaan wewenang.”
(Haryatmoko, 2011:105).


Gambaran Singkat tentang LDP
Sebagai negara baru yang mencapai kemerdekaannya dalam dekade ini, dimana perkembangan dunia telah mengglobal, tentu saja dihadapkan pada tuntutan agar penyelenggaraan pemerintahan harus disesuaikan dengan perkembangan dunia tersebut. Perkembangan dunia saat ini menuntut agar penyelenggaraan pemerintahan harus dapat berperan lebih baik, demokratis, amanah (Good Governance atau GG). Peran pemerintah dalam perpektif GG adalah pemerintahan yang berasaskan pada prinsip (utama) transparansi, akuntabilibitas dan partisipasi, baik pada tataran central goverment maupun local government.
Sebagai respon terhadap amanat konstitusi RDTL, pasal 5 tentang desentralisasi dan pasal 72 tentang kewenangan [daerah], saat ini, pemerintah tengah mengupayakan untuk membentuk struktur pemerintahan lokal. Pemerintahan lokal yang diharapkan adalah bentuk pemerintahan yang dapat mencerminkan prinsip-prinsip good [local] governance. Upaya ini diusahakan melalui sebuah pilot program yang dinamakan Local Development Program (LDP). LDP dalam pelaksanaannya telah mengadopsi prinsip-prinsip utama GG tersebut, dengan tujuan selain untuk mendapatkan pelajaran yang relevan dapat berkontribusi terhadap formulasi kebijakan desentralisasi; juga untuk memacu integritas pejabat publik pada tataran birokrasi lokal sebelum desentralisasi yang akan dititikberatkan pada District sebagai Municipality benar-benar dapat diwujudkan dan dilaksanakan.
Sebagai pilot program untuk desentralisasi, desain struktur pemerintahan masih sangat sederhana, masih mengikut struktur administrasi District yang ada (sebagai eksekutif), ditambahkan dengan pembentukan District Assembly (sebagai legislatif). District Assembly (dalam LDP, sebagai cikal bakal legislatif daerah) yang sementara ini merupakan perwakilan masyarakat dari tiap-tiap suco/desa (Peraturan Menteri MAEOT No. 1/2010 pasal 2), dan lembaga ini sudah terbentuk sejak dan bahkan sebelum dilegalisasi melalui peraturan tersebut di atas.
Dengan terbentuknya struktur pemerintahan lokal (cikal bakal desentraisasi) berdasarkan Peraturan Menteri tersebut diharapkan kinerjanya akan dapat betul-betul mencerminkan prinsip-prinsip GG, dan yang terpenting adalah dapat menjawab tujuan utama dari LDP, yakni: (i) mengurangi angka kemiskinan, (ii) membuka lapangan kerja dan (iii) pengembangan kemampuan lider lokal dalam proses perencanaan dan implementasi.
Ethics Management: Tinjauan terhadap Implementasi LDP
Dengan dibentuknya struktur pemerintahan lokal dalam implementasi LDP berdasarkan Peraturan Menteri No.1/2010, baik eksekutif maupun legislatif, telah menunjukkan kinerja yang cukup relevan dengan arah kebijakan yang ditetapkan sebagai kewajiban yang harus dipatuhi. Namun demikian, kinerja LDP tidak saja dinilai dari kepatuhannya untuk melalukan sesuatu sesuai dengan standar yang telah ditetapkan melalui arah kebijakan tersebut (doing things right). Kinerja pemerintah yang diharapkan dalam LDP adalah mampu menunjukan kemampuan integritas yang tinggi dengan melakukan sesuatu sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal (doing the right things), serta dapat menunjukkan kemampuan kinerja secara transaparan, akuntabel dan dapat memacu partisipasi masyarakat lokal dalam setiap usaha pembangunan.
Usaha pemerintah dalam LDP ini sesungguhnya adalah untuk menanamkan etika instituisional yang berfokus pada modalitas dan tindakan integritas. Dalam bahasa yang lugas bahwa usaha pemerintah ini merupakan langkah positif untuk mengantisipasi akan munculnya tindakan KKN dalam institusi publik yang notabene dalam negara-negara yang telah lebih dahulu ada (eksis), baik negara maju maupun negara berkembang, praktik KKN selalu identik dengan kinerja birokrasi pemerintah—godaan untuk melakukan tindakan yang menyimpang dari prinsip administrasi (efektif, efisien dan ekonomis) ini selalu saja terjadi.
Kegagalan dalam implementasi LDP, terlepas dari setiap permasalahan yang disebutkan dalam BAB I, penulis lehih melihatnya dari segi etika birokrasi implemetor, yakni pada MAEOT sebagai owner dan District sebagai target.
Akuntabilitas dan Transparansi Dalam Pelaksanaan LDP
Salah satu sebab kurangnya akuntabilitas dan transparansi dalam birokrasi adalah karena adanya perbuatan KKN. Fenemena ini bukan tidak mungkin terjadi dalam implementasi LDP. Hal ini dikarenakan kurang memadainya infrastruktur etika untuk menjamin sistem akuntabilitas dan transparansi.
Ketidak-berhasilan implementasi LDP ini diukur, diantaranya melalui aspek tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh NGO Luta Hamutuk dan J4P (World Bank) sebagaimna dikemukakan dalam BAB I, merupakan sebuah bukti bahwa akuntabilitas dan transparansi yang merupakan landasan pelaksanaan LDP itu hanya merupakan sebuah retorika. Dikatakan retorika karena masih adanya pihak lebih dominan dalam pengambilan keputusan serta belum adanya mekanisme kontrol yang baik.
Adanya dominasi kekuasaan atas pihak lain, percisnya eksekutif terhadap legislatif ala LDP, adalah merupakan tindakan yang telah menyimpang dari tujuan LDP yang berlandaskan pada prinsip transparansi dan akuntabilitas. Tindakan ini yang disebut penyalahgunaan kekuasaan, dan yang terakhir ini biasanya dijadikan modus operandi KKN.
KKN dapat terjadi, selain karena kurangnya integritas pejabat publik juga dikarenakan tidak berimbangnya pengawasan yang tegas oleh District Assembly (DA)--sebagai cikal bakal legislatif di era desentralisasi nanti--terhadap pihak eksekutif. Dalam sistem LDP, yang merupakan pilot program untuk desentralisasi, representasi masyarakat dalam legislatif dipilih berdasarkan quota dari seluruh Suco [Desa] yang ada di tiap-tiap Sub District [Kecamatan] untuk kemudian ditetap menjadi anggota DA. Representasi masyarakat desa yang duduk sebagai anggota DA ini ternyata adalah para Kepada Desa dan Dewan Desa yang notabene berada dibawah kendali Bupati (eksekutif). Kalau ternyata anggota DA itu adalah para Kepala Desa dan Dewan Desa yang dapat dikendalikan oleh pihak eksekutif, bukan tidak mungkin untuk tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini dapat dibenarkan karena kekuasaan dalam birokrasi masih bersifat sentralistis dan sangat eksesif. Kalau kondisinya sudah demikian maka berlakulah kekuasaan yang absolut, dan jika kekuasaan absolut telah terjadi maka berlaku pula adigium politik “power tends to corrupt, absolute power tends to absolute corrupt.”
Korupsi dalam paper ini dapat dipahami sebagai ancaman yang membusukkan masyarakat melalui penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan (Haryatmoko, 2011:72). Merefer pada pengertian ini dan dengan merefleksikan pendapat Kolthoff (2007) tentang kriteria untuk mengukur integritas publik pejabat, mengafirmasi bahwa pejabat birokrasi pada pemerintahan lokal telah mempraktekkan perilaku yang tidak etis, kurang memiliki rasa kepedulian (responsiveness) sebagai bentuk solidaritas sosial yang seharusnya menjadi salah satu nilai penting, dan memang sudah harus menjadi tanggungjawabnya (responsibility) dalam pelayanan publik. Adapun yang amat menonjol adalah kewajiban untuk menyampaikan laporan ke hirarki pemerintah diatasnya sebagai bentuk responsibilitas dengan menafikan andil masyarakat yang amat besar terhadap eksistensi pemerintah RDTL.
Konstelasi demikian ini yang membuat aparat birokrasi di District dalam implementasi LDP menjadi tidak transparan, terutama kepada rakyat dan masyarakat pada umumnya. Aturan dan prosedur transparan sebenarnya telah disebutkan dalam lampiran Diploma Ministerial do MAEOT no.1/2010, bahwa semua keputusan yang telah terkait dengan anggaran dan laporan keuangan harus dipublikasikan baik melalui media massa maupun melalui sarana seperti papan pengumuman. Upaya ini dilakukan agar masyarakat dapat mengakses informasi secara bebas. Namun demikian hal ini, sebagian besar Distrik, melakukannya sehingga masyarakat cenderung terlihat lebih pasif terhadap implementasi LDP.
Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan LDP
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kontrol pemerintah yang dilakukan oleh masyarakat adalah wujud dari partisipasi itu sendiri. Masyarakat akan berpartisipasi secara memadai bila ada mekanisme kontrol yang baik. Kontrol pemerintah akan lebih efektif bila pemerintah mau menunjukkan tanggungjawabnya secara transparan.
Terdapat dua bentuk partisipasi masyarakat dalam LDP, yakni partisipasi perwakilan dan partisipasi langsung. Partisipasi perwakilan adalah bentuk partisipasi yang dilakukan melalui perwakilannya di DA yang berfungsi selain mengawasi pelaksanaan program dan proyek, juga ikut merencanakan, memutuskan dan mengesahkan usulan program dan kegiatan tahunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Partisipasi demikian yang juga disebut partisipasi tidak langsung. Sedangkan partisipasi langsung adalah keterlibatan masyarakat dalam LDP berupa tanggungjawab untuk menjaga dan memelihara kelestarian proyek pembangunan yang dibiayai dengan local development fund yang masih berbentuk block grant.
Dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Luta Hamutuk dan J4P disebutkan bahwa, ketidakberhasilan LDP juga disebabkan oleh kurangnya partisipasi masyarakat, baik melalui perencanaan maupun dalam bentuk kontrol. Disebutkan dalam laporannya bahwa, masyarakat kurang berpartisipasi secara efektif karena tidak melibatkan mereka dalam implementasi proyek fisik. Alasan ini menjustifikasi mengapa masyarakat tidak mau melakukan kontrol terhadap pelaksanaan LDP. Disebutkan juga bahwa, salah satu tujuan dari LDP adalah mengakses lapangan kerja justru dikerjakan oleh para kontraktor dan tenaga kerja yang telah disediakan oleh pemerintah pusat dan sanak famili dari pejabat pemerintahan District. Konstelasi demikian ini yang telah menjauhkan tujuan sesungguhnya dari pelaksanaan LDP menjadi obyek pembelajaran bagi desentralisasi KKN.
Dalam kondisi seperti ini, integritas pejabat publik dipertaruhkan, tidak saja pejabat dari pemerintahan District, namun pejabat birokrasi pada jajaran pemerintahan pusat (MAEOT). Kurangnya keseriusan untuk mendampingi proses pelaksanaan LDP turut berkontribusi terhadap kegagalan pelaksanaan LDP. Kegagalan tersebut telah berakibat pada adanya rasa sikap apatisme dari masyarakat dan cenderung merasa tidak memiliki setiap usaha pembangunan, utamanya yang tergolong dalam LDP.
PENUTUP
Demikian pokok-pokok bahasan tentang penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan LDP di Timor Leste. Dalam bahasan ini disimpulkan bahwa, keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan LDP akan sangat tergantung dari integritas pejabat publik pada tataran pemerintahan District. Kurangnya integritas pejabat publik akan melahirkan ajang baru bagi korupsi, kolusi dan nepotisme.
Oleh karena itu disarankan agar pemerintah lebih meningkatkan pengawasan dan proses pendampingan yang intensif terhadap pelaksanaan LDP, terutama pemerintah pusat dalam hal ini MAEOT sebagai owner. Upaya lain yang harus dilakukan adalah penyebarluasan informasi melalui sosialisasi dan pelatihan-pelatihan tentang etika untuk menanamkan responsivitas dan responsibilitas bagi aparat birokrasi pemerintah terkait dengan distribusi barang dan jasa publik.
DAFTAR PUSTAKA
Acara, Maurico, 2010, Laporan penelitian: Impementação Programa Desenvolvimento Local, Joint Research LUTA HAMUTUK with Justice for the Poor (J4P) World Bank
Batubara, Alwi Hasyim, 2006, Konsep Good Governance dalam Konsep Otonomi Daerah, Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3 Nomor 1, Januari-April
Denhart, Jenet V. and Robert B. Denhart, 2002, The New Public Service: Serving, not Steering, M.E. Sharpe, Armonk, New York, London, England
Diploma Ministerial No. 1/2010 konaba Assembleia Distrito
Hardjasoemantri, Koesnadi, 2003, Good Governance Dalam Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia, Makalah Untuk Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII di Bali, tanggal 15 Juli
Haryatmoko, 2011, Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi, PT Gramedia Pustaka Utama, Kompas Gramedia Building, Jakarta
Keban, Yerimias T., 2008, Enam Dimensi Administrasi Publik: Konsep, Teori dan Isu, Gava Gramedia, Yogyakarta
Krina P., Loila Lalolo, 2003, Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi & Partisipasi, Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta
Menzel, Donald C., 2007, Ethics Management for Public Administrators, M.E. Sharpe, Armonk, New York
Povo Maubere, 2011, Resultadu Peskiza Transparensia Internasional: Timor-Leste Nakonu ho Korupsaun neebe Sae A'at ba Bebeik, tanggal 14 dan 16 Desember. www.povumaubere.com. downloaded 27 Desember 2011
Sjamsuddin, Sjamsiar, 2007, Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Sektor Publik, Yayasan Pembangunan Nasional bekerjasama dengan CV. SOFA Mandiri dan Indonesia Print, Malang
Surajiwo, 2009, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Bumi Aksara, Jakarta
Tjokrowinoto, Moeljarto. et al. 2011, Birokrasi dalam Polemik, Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Universitas Muhammadiah Malang, Malang