Rabu, 21 Agustus 2013

APDN, IIP, STPDN, IPDN IKAPTK Kab Subang

Pengukuhan STPDN 012 part 1

Profil IPDN

STPDN/IPDN - Hymne Abdi Praja

Memori AKhir Pendidikan STPDN Angkatan 17

Video Prosesi Pernikahan Pamong Praja Muda Dharma Asthabrata IPDN

Pro-Kontra Keberadaan #Ahok Centre

APLIKASI PRINCIPLE-AGENT THEORY DALAM PENGANGGARAN KEUANGAN PUBLIK
(Kajian tentang Hubungan dan Masalah Keagenan Antara Legislatif dan Eksekutif di Timor-Leste)
Oleh:
Lucio Borromeo de Araujo
(Mahasiswa Program Magister Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Brawijaya, Malang)
Abstrak
Tulisan ini akan menyajikan hubungan dan masalah keagenan, antara eksekutif dan legislatif, yang dideskripsikan dengan teori keagenan. Dengan memandang dari konsep ini, diperoleh gambaran bahwa, konsep perwakilan (representativeness) dalam penganggaran tidak sepenuhnya berjalan ketika kepentingan publik tidak terbela seluruhnya oleh karena adanya perilaku oportunistik (moral hazard) dan/atau adanya perilaku budget maximizer (adverse selection).

Kata Kunci: Keagenan, Eksekutif, Legislatif, Anggaran Publik
A.      Pendahuluan
Semenjak Timor-Leste memperoleh kemerdekaannya pasca referendum yang diselenggarakan oleh PBB, sejak itu pula Timor-Leste telah menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) yang dikenal dengan Constituição da RDTL, sebagai landasan konstitusional. Konstitusi (UUD) RDTL yang ditetapkan pada tanggal 22 Maret 2002 tersebut, secara eksplisit telah mengatur lembaga kekuasaan negara yang secara tersurat disebutkan dalam pasal 67. Adapun menurut pasal tersebut  disebutkan adanya empat (4) lembaga kekuasaan negara yang meliputi: Prezidente da Repúblika (Presiden Republik), Parlamentu Nasionál (Parlemen Nasional), Governu (Pemerintah) dan Tribunal sira (Kehakiman).
Presiden Republik (PR) merupakan lembaga tertinggi negara yang juga sebagai simbol kesatuan dan kedaulatan bangsa. Dalam pasal 74 disebutkan bahwa PR adalah merupakan kepala negara (74 ayat 1) dan Kepala tertinggi Agkatan Bersenjata (pasal 74 ayat 2). Sementara Parlemen Nasional yang juga sebagai lembaga tinggi negara ini adalah merupakan organ legislatif (pasal 92); dan organ pemerintah yang dikepalai oleh seorang Perdana Menteri (PM) atau Kepala Pemerintahan, dalam pasal 103 merupakan lembaga eksekutif. Sedangkan Kehakiman adalah lembaga tinggi negara yang mengurus tentang tentang hal-hal yang menyangkut judicial (pasal 118).
Berdasarkan pada pasal-pasal tersebut, peluang untuk melakukan kajian dengan menggunakan perspektif keagenan (agency theory) terbuka lebar. Hubungan keagenan yang dikaji dalam peper ini lebih difokuskan pada masalah dan hubungan antara legislatif dan eksekutif, karena pada prinsipnya kedua institusi/lembaga negara ini memiliki tanggungjawab kinerja yang berdampak secara luas terhadap kinerja pelayanan publik.
Sehubungan dengan itu, dalam UUD tersebut telah memisahkan dengan tegas antara kewenangan pemerintah (eksekutif) dalam pasal 107 dengan kewengan parlemen nasional (legislatif) dalam pasal 95. Berdasarkan pembedaan kewenangan ini, eksekutif melakukan fungsi perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan atas anggaran pemerintah, yang merupakan manifestasi dari pelayanan kepada publik (pasal 115 huruf d, dan pasal 116 huruf f); sedangkan legislatif berperan aktif dalam melaksanakan legislasi (pasal 95 ayat 1 dan 2), penganggaran serta pengawasan (pasal 95 ayat 3 huruf b dan d).
Berdasarkan UUD itu pula legislatif-- melalui partai pemenang pemilu atau partai pemerintah dan/atau koalisi partai yang mengusung Pemerintahan--memiliki kewenangan untuk mengusulkan calon Perdan Menteri kepada Presiden untuk diangkat (pasal 85 huruf d), dan secara tidak langsung dapat membubarkan pemerintah—apabila program yang diusulkan oleh pemerintah secara berturut-turut (dua kali) ditolak (pasal 86 huruf g). Memperhatikan penjelasan menurut pasal-pasal tersebut, meskipun dalam pasal sebelumnya (pasal 67) bahwa mereka sama-sama merupakan lembaga tinggi negara, namun menurut kajian ini terlihat adanya posisi yang tidak seimbang antara eksekutif dan legislatif, di mana legislatif memiliki kekuasaan yang lebih tinggi.
Dalam hal demikian juga dapat berarti, legislatif mendelegasikan suatu kewenangan kepada pemerintah yang dipilihnya dengan konsekuensi dapat diberhentikan apabila pemerintah (PM) tidak mampu melaksanakan kewenangan tersebut seperti yang diinginkan oleh legislatif. Dengan demikian, kemitraan yang dimaksud dalam UUD tersebut bukanlah kemitraan yang sepenuhnya sejajar. Dalam literatur ilmiah, baik dalam disiplin ilmu ekonomi (termasuk akuntansi), politik, maupun keuangan, hubungan seperti ini disebut hubungan keagenan. Dalam hubungan keagenan, terdapat dua pihak yang melakukan kesepakatan atau kontrak, yakni yang memberikan kewenangan atau kekuasaan (disebut principal) dan yang menerima kewenangan (disebut agent). Dalam suatu organisasi hubungan ini berbentuk vertikal, yakni antara pihak atasan (sebagai principal) dan pihak bawahan (sebagai agent). Teori tentang hubungan kedua pihak tersebut populer dikenal sebagai teori keagenan.
Tulisan ini menganalisis pengaplikasian teori keagenan, yang menjadi mainstream dalam ilmu ekonomi (termasuk ilmu akuntansi) dan ilmu politik di pemerintahan Timor Leste.
B.       Pengertian Teori Keagenan
Teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori prinsipal-agen menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit dengan pihak lain (agent), dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang dinginkan oleh prinsipal (dalam hal ini terjadi pendelegasian wewenang). Lupia & McCubbins (2000) menyatakan pendelegasian terjadi ketika seseorang atau satu kelompok orang (principal) memilih orang atau kelompok lain (agent) untuk bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal.
Hubungan prinsipal-agen terjadi apabila tindakan yang dilakukan seseorang memiliki dampak pada orang lain atau ketika seseorang sangat tergantung pada tindakan orang lain (Stiglitz, 1987 dan Pratt & Zeckhauser, 1985 dalam Gilardi, 2001). Pengaruh atau ketergantungan ini diwujudkan dalam kesepakatan-kesepakatan dalam struktur institusional pada berbagai tingkatan, seperti norma perilaku dan konsep kontrak.
Menurut Lane (2003a) teori keagenan dapat diterapkan dalam organisasi publik. Ia menyatakan bahwa negara demokrasi modern didasarkan pada serangkaian hubungan prinsipal-agen (Lane, 2000:12-13). Hal senada dikemukakan oleh Moe (1984) yang menjelaskan konsep ekonomika organisasi sektor publik dengan menggunakan teori keagenan. Bergman & Lane (1990) menyatakan bahwa rerangka hubungan prinsipal-agen merupakan suatu pendekatan yang sangat penting untuk menganalisis komitmen-komitmen kebijakan publik. Pembuatan dan penerapan kebijakan publik berkaitan dengan masalah-masalah kontraktual, yakni informasi yang tidak seimbang (asymmetric information), moral hazard, dan adverse selection.
Petrie (2002) mendefinisikan moral hazard dan adverse selection sebagai berikut:
Moral hazard refers to the tendency of an agent, after the contract is entered into, to shirk or otherwise not fully seek to promote the principal’s interests. Adverse selection refers to the inability of a principal to determine, before the contract is entered into, which among several possible agents is most likely to promote the principal’s interests; and, given this imperfect information, the tendency for candidates with less than average motivation or qualifications to apply.
Selanjutnya Gilardi (2001) menyatakan, bahwa:
Adverse selection (or ex-ante opportunism, or hidden information) occurs whenever the principal cannot be sure that he is selecting the agent that has the most appropriate skills or preferences and moral hazard (or ex-post opportunism, or hidden action) occurs whenever the agent’s actions cannot be perfectly monitored by the principal.
Sementara itu menurut Lane (2003b): Adverse selection meaning opportunism before the making of the contract between principal and agent, moral hazard meaning opportunism after the making of the contract between principal and agent.
Menurut Carr & Brower (2000), model keagenan yang sederhana mengasumsikan dua pilihan dalam kontrak: (1) behavior-based, yakni prinsipal harus memonitor perilaku agen dan (2) outcome-based, yakni adanya insentif untuk memotivasi agen untuk mencapai kepentingan prinsipal. Para teoretisi berpegang pada proposisi bahwa, agents behave opportunistically toward principals. Oportunisme bermakna bahwa ketika terjalin kerjasama antara prinsipal dan agen, kerugian prinsipal karena agen mengutamakan kepentingannya (agent self-interest) kemungkinan besar akan terjadi.
Menurut Andvig et al. (2001) principal-agent model merupakan rerangka analitik yang sangat berguna dalam menjelaskan masalah insentif dalam institusi publik dengan dua kemungkinan kondisi, yakni (1) terdapat beberapa prinsipal dengan masing-masing tujuan dan kepentingan yang tidak koheren dan (2) prinsipal juga bisa bertindak tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat, tetapi mengutamakan kepentingannya yang sifatnya lebih sempit. Lebih jauh, Christensen (1992) menyatakan teori prinsipal-agen dapat menjadi alat analitis untuk penyusunan dan pengimplementasian anggaran publik.
Sejalan dengan pendapat Christensen (1992), Smith & Bertozzi (1998) berpandangan bahwa
Because implicit and explicit contractual relationship pervade the entire budget making process, principal-agent theory can make a major contribution toward developing more inclusive and accurate models of most stages of public budgeting… The application of principal-agent models by practitioners offers a more powerful analytic tool for both preparing and implementing public budget.”
Menurut Moe (1984), di pemerintahan terdapat suatu keterkaitan dalam kesepakatan-kesepakatan principal-agent yang dapat ditelusuri melalui proses anggaran: pemilih-legislatur, legislatur-pemerintah, menteri keuangan-pengguna anggaran, perdana menteri-birokrat, dan pejabat-pemberi pelayanan. Hal yang sama dikemukakan juga oleh Gilardi (2001) dan Strom (2000), yang melihat hubungan keagenan sebagai hubungan pendelegasian (chains of delegation), yakni pendelegasian dari masyarakat kepada wakilnya di parlemen, dari parlemen kepada pemerintah, dari pemerintah sebagai satu kesatuan kepada seorang menteri, dan dari pemerintah kepada birokrasi. Hubungan tersebut tidaklah selalu mencerminkan hirarki, tetapi dapat saja berupa hubungan pendelegasian, seperti yang dinyatakan oleh Andvig et al. (2001) berikut:
Principal-agent models are sometimes constructed for situations where the P-A relationship is not established within a given hierarchy, but where A may be a head of one and P represents another that in some sense has a superior role. For example, a parliament is often considered as the principal of the public bureaucracy, and the voters the principal of the parliament, and so on.”
Secara umum dapat dikatakan bahwa delegation is certainly problematic and entails danger (Lupia & McCubbins, 2000). Dalam demokrasi modern, setidaknya terdapat empat ciri pendelegasian (Lupia & McCubbins, 2000), yakni: (1) adanya prinsipal dan agen, (2) kemungkinan terjadinya konflik kepentingan, (3) adanya asimetri informasi, dan (4) prinsipal kemungkinan dapat mengurangi masalah keagenan. Prinsipal sendiri harus mengeluarkan biaya (costs) untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam memonitor kinerja agents dan untuk menentukan struktur insentif dan monitoring yang efisien (Petrie, 2002).
Asumsi-asumsi keperilakuan (behavioural assumptions) dalam teori public choice menyatakan bahwa politisi terutama berkepentingan dengan memaksimalkan prospek untuk dipilih kembali dan birokrat terutama berkepentingan dengan memaksimalkan kenikmatan (enjoyment), yang berasal dari pemanfaatan fasilitas tempat kerja (misalnya: prestise dan pengaruh). (Von Hagen, 2002).
C.      Hubungan Keagenan antara Eksekutif dan Legislatif
Dalam hubungan keagenan di pemerintahan antara eksekutif dan legislatif; eksekutif adalah agen dan legislatif adalah prinsipal (Halim, 2002a; Fozzard, 2001; Moe, 1984). Seperti dikemukakan sebelumnya, di antara prinsipal dan agen senantiasa terjadi masalah keagenan. Oleh karena itu, persoalan yang sering timbul di antara eksekutif dan legislatif juga merupakan persoalan keagenan.
Lupia & McCubbins (1994) menyatakan bahwa masalah yang dihadapi legislatur dapat diartikan sebagai fenomena yang disebut agency problems. Agency problems atau masalah keagenan paling tidak melibatkan dua pihak, yakni prinsipal, yang memiliki otoritas untuk melakukan tindakan-tindakan; dan agen, yang menerima pendelegasian otoritas dari prinsipal. Dalam konteks pembuatan kebijakan oleh legislatif, legislatur adalah prinsipal yang mendelegasikan kewenangan kepada agen seperti pemerintah atau panitia di legislatif untuk membuat kebijakan baru. Hubungan keagenan di sini terjadi setelah agen membuat usulan kebijakan dan berakhir setelah usulan tersebut diterima atau ditolak.
Johnson (1994:5) menyebut hubungan eksekutif atau birokrasi dengan legislatif atau kongres dengan nama self-interest model. Dalam hal ini, legislators ingin dipilih kembali, birokrat ingin memaksimumkan anggarannya, dan konstituen ingin memaksimumkan utilitasnya. Agar terpilih kembali, legislators mencari program dan projects yang membuatnya populer di mata konstituen. Birokrat mengusulkan program-program baru karena ingin agency-nya berkembang dan konstituen percaya bahwa mereka menerima benefits dari pemerintah tanpa harus membayar biayanya secara penuh.
Hubungan keagenan eksekutif-legislatif juga dikemukakan oleh Andvig et al. (2001) dan Lupia & McCubbins (2000). Sebagai Prinsipal, legislatif dapat juga berperilaku moral hazard atau dalam merealisasikan self-interest-nya (Elgie & Jones, 2001) seperti berlaku korup (corrupt principals) (Andvig et al., 2001). Menurut Colombatto (2001), adanya discretionary power di salah satu pihak akan menimbulkan pelanggaran atas kontrak keagenan, seperti terjadinya perilaku rent-seeking dan korupsi.
Dalam konteks penyusunan anggaran, usulan yang diajukan oleh eksekutif memiliki muatan mengutamakan kepentingan eksekutif (Smith & Bertozzi, 1998). Eksekutif mengajukan anggaran yang dapat memperbesar agency-nya, baik dari segi finansial maupun nonfinansial. Sementara Keefer & Khemani (2003), Mauro (1998), dan Von Hagen (2002) secara implisit menyatakan bahwa anggaran juga dipergunakan oleh legislatif (politisi) untuk memenuhi self-interest-nya. Pada akhirnya keunggulan informasi yang dimiliki oleh eksekutif yang dipergunakan untuk menyusun rancangan anggaran akan berhadapan dengan keunggulan kekuasaan (discretionary power) yang dimiliki oleh legislatif.
D.      Hubungan Keagenan antara Legislatif dan Publik
Dalam hubungan keagenan antara legislatif dan publik (voters), legislatif adalah agen dan publik adalah prinsipal (Fozzard, 2001; Lane, 2000:13; Moe, 1984). Lupia & McCubbins (2000) menyatakan: citizens are principals who elect representatives to serve as their agents in parliament, sementara Andvig et. al. (2001) menyatakan “the voters are the principal of the parliament.
Dalam hal pembuatan kebijakan, Von Hagen (2003) berpendapat bahwa hubungan prinsipal-agen yang terjadi antara pemilih (voters) dan legislatif pada dasarnya menunjukkan bagaimana voters memilih politisi untuk membuat keputusan-keputusan tentang belanja publik untuk mereka dan mereka memberikan dana dengan membayar pajak. Ketika legislatif kemudian terlibat dalam pembuatan keputusan atas pengalokasian belanja dalam anggaran, maka mereka diharapkan mewakili kepentingan atau preferensi prinsipal atau pemilihnya.
Pada kenyataannya legislatif sebagai agen bagi publik tidak selalu memiliki kepentingan yang sama dengan publik, seperti dinyatakan oleh Groehendijk (1997) berikut ini:
Without doubt, the relationship between voters and politicians in a representative democracy can be considered to be a principal-agent relationship. Voters want politicians to look after their interests, and in exchange provide these politicians with their votes and thus with positions. Of course, politicians have their own interests, which may diverge from the voters’ interests.
Lupia & McCubbins (2000) mengingatkan bahwa pendelegasian memiliki konsekuensi tidak terkontrolnya keputusan agen oleh prinsipal dalam hubungan legislatif-publik. Mereka menyebutnya abdikasi (abdication), yakni adanya kondisi di mana agen tidak dipagari dengan aturan bagaimana tindakan mereka berpengaruh terhadap kepentingan prinsipal. Dalam hal ini pemilih (voters) dicirikan sebagai pihak yang tidak perduli atau tidak berkeinginan untuk mempengaruhi perwakilan (anggota legislatif) yang mereka pilih. Di sisi lain, legislatur dicirikan sebagai pihak yang tidak memiliki waktu, inklinasi (inclination), dan pengetahuan untuk mengetahui seluruh kebutuhan publik. Stereotypes inilah yang menyebabkan terjadinya abdikasi, yakni keterwakilan yang tidak memberikan manfaat apa-apa bagi pemilih (prinsipal) atau pihak yang diwakili.
Kedudukan legislatif atau parlemen sebagai agen dalam hubungannya dengan publik menunjukkan bahwa legislatif memiliki masalah keagenan karena akan berusaha untuk memaksimalkan utilitasnya (self-interest) dalam pembuatan keputusan yang terkait dengan publik. Persoalan abdication menjadi semakin nyata ketika publik tidak memiliki sarana atau institusi formal untuk mengawasi kinerja legislatif, sehingga perilaku moral hazard legislatif dapat terjadi dengan mudah.
Menurut Von Hagen (2003), politisi yang terpilih bisa saja berlaku oportunistik dan karenanya voters berkeinginan menghilangkan peluang untuk mendapat rents dengan membuat politisi terikat pada suatu aturan yang menentukan apa yang dapat atau harus mereka lakukan pada kondisi tertentu. Akan tetapi, membuat aturan untuk sesuatu yang tidak jelas (unforeseen development) dan kompleskitas situasi yang dihadapi menyebabkan kontrak yang sempurna tidak mungkin dibuat. Politisi juga tidak akan dapat memenuhi semua janji yang dibuatnya selama kampanye pemilihan. Oleh karena itu, seperti halnya dalam bentuk hubungan keagenan yang lain, hubungan keagenan antara pemilih (voters) dengan politisi dapat dipandang sebagai incomplete contract (Seabright, 1996).
E.       Hubungan Keagenan dalam Penyusunan Anggaran Publik di Timor-Leste
Pada pemerintahan, peraturan perundang-undangan secara implisit merupakan bentuk kontrak antara eksekutif, legislatif, dan publik. Dalam peraturan tersebut dinyatakan semua kewajiban dan hak pihak-pihak yang terlibat dalam pemerintahan. Beberapa aturan yang secara eksplisit merupakan manifestasi dari teori keagenan adalah:
1. Konstitusi RDTL yang mengatur diantaranya hubungan kewenangan pemerintah (eksekutif) dan kewenangan parlemen nasional (legislatif). Eksekutif (Perdana Menteri) diusulkan oleh legislatif (parlemen) untuk kemudian diangkat oleh Presiden Republik, dan secara tidak langsung dapat memberhentikan atau membubarkan pemerintah bila dalam usulan program tahunan, secara berturut-turut (dua kali) tidak mendapatkan apresiasi dari parlemen (mosi tidak percaya).
2.   Lei (Undang-Undang) No. 1/II de 14 de Fevereiro, Aprova o Orçamento Geral do Estado da República Democrática de Timor-Leste para 2011 (pengesahan keuangan negara RDTL untuk tahun 2011). Undang-undang ini mengatur lebih jauh tentang manajemen keuangan publik oleh pemerintah serta penggunaannya (anggaran pendapatan belanja negara). Dalam UU ini pula disebutkan beberapa item penting yang menjadi pendapatan negara dan itu harus dilaporkan kepada parlemen bersamaan dengan usulan progran yang hendak dibelanjakan dengan anggaran pendapatan tersebut untuk dibahas. Artinya parlemen (legislatif) memiliki kewenagan penuh untuk mengontrol setiap aktivitas pemerintah.
3.  Lei (Undang-Undang) No. 13/2009 de 21 de Outubro sobre Orçamento e Gestão Financeira (Anggaran dan Manajemen Keuangan). Undang-undang ini mengatur tentang beberapa poin berikut:
  •               The general and common framework for the State Budget;
  •        The rules and procedures concerning the organization, drafting, presentation, discussion,  voting, alteration and execution of the State Budget and the corresponding budget verification  and accountability;
  •        The rules and procedures concerning guarantees and loans granted to the State or granted by    the State;
  •        The rules concerning the organization, drafting and presentation of the annual report on State  accounts;
  •       The rules and procedures to be applied in the financial management of the State;

Anggaran negara/publik merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Timor-Leste dokumen anggaran publik yang disebut Orcamento Geral do Estado (OGE) atau anggaran umum negara ini memuat tentang manajemen anggaran pendapatan dan belanja negara. Proses penyusunan anggaran pendapatan dan belanja tersebut dilakukan oleh pemerintah (eksekutif) dalam bentuk proposal (pasal 29 UU No. 13/2009) untuk diajukan kepada kepada parlemen nasional (legislatif) untuk kemudian dipelajari, dibahas dan disetujui (pasal 30 ayat 1 UU No. 13/2009) sebelum diajukan kepada Presiden Republik untuk disahkan.
Dalam perspektif keagenan, hal ini merupakan bentuk kontrak (incomplete contract), yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif.
F.       Masalah Keagenan di Eksekutif
Eksekutif memiliki keunggulan dalam hal penguasaan informasi dibanding legislatif (asimetri informasi). Keunggulan ini bersumber dari kondisi faktual bahwa eksekutif adalah pelaksana semua fungsi pemerintahan dan berhubungan langsung dengan masyarakat dalam waktu sangat lama. Eksekutif memiliki pemahaman yang lebih baik tentang birokrasi dan administrasi serta peraturan perundang-undangan yang mendasari seluruh aspek pemerintahan. Oleh karena itu, anggaran untuk pelaksanaan pelayanan publik diusulkan untuk dialokasikan dengan didasarkan pada asumsi-asumsi sehingga memudahkan eksekutif memberikan pelayanan dengan baik. Eksekutif akan memiliki kecenderungan mengusulkan anggaran belanja yang lebih besar dari yang aktual terjadi saat ini (asas maksimal). Sebaliknya untuk anggaran pendapatan, eksekutif cenderung mengusulkan target yang lebih rendah (asas minimal) agar ketika realisasi dilaksanakan, target tersebut lebih mudah dicapai. Usulan anggaran yang mengandung slack seperti ini merupakan gambaran adanya asimetri informasi antara eksekutif dan legislatif. Slack tersebut terjadi karena agen (eksekutif) menginginkan posisi yang relatif aman dan nyaman dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Proses penyusunan anggaran negara diawali dari rencana pelayanan yang akan diberikan oleh pemerintah. Pemilihan pelayanan (dalam bentuk kegiatan) direncanakan secara keseluruhan inisiatif terbesar ada di pihak eksekutif. Eksekutif kemudian mengalokasikan anggaran untuk setiap kegiatan, program, dan prioritas anggaran. Rangkuman usulan kegiatan dan anggarannya ini kemudian disampaikan kepada legislatif untuk dibahas dan disetujui untuk kemudian disahkan menjadi undang-undang.
Realisasi perilaku oportunistik eksekutif dalam mengusulkan anggaran belanja ini, diantaranya adalah:
·         Mengusulkan kegiatan yang sesungguhnya tidak menjadi prioritas.
·      Mengusulkan kegiatan yang memiliki lucrative opportunities (peluang untuk mendapatkan keuntungan  pribadi) yang besar.
·         Mengalokasikan komponen belanja yang tidak penting dalam suatu kegiatan.
·         Mengusulkan jumlah belanja yang terlalu besar untuk komponen belanja dan anggaran setiap kegiatan.
·         Memperbesar anggaran untuk kegiatan yang sulit diukur hasilnya.
G.      Masalah Keagenan di Legislatif
Perilaku oportunistik legislatif dapat terjadi pada dua posisi, yakni sebagai prinsipal dan juga sebagai agen. Sebagai prinsipal bagi eksekutif, legislatif dapat meralisasikan kepentingannya dengan membuat kebijakan yang seolah-olah merupakan kesepakatan di antara kedua belah pihak, tetapi menguntungkan legislatif dalam jangka panjang, baik secara individual maupun institusional. Melalui discretionary power yang dimilikinya, legislatif dapat mengusulkan kebijakan yang sulit untuk ditolak oleh eksekutif, meskipun usulan tersebut tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik dan fungsi legislatif.
Sebagai agen bagi publik (pemilih), perilaku oportunistik legislatif lebih kelihatan jelas. Dalam penganggaran, legislatif semestinya membela kepentingan pemilihnya dengan mengakomodasi kebutuhan publik dalam anggaran. Usulan kegiatan yang akan dibiayai dengan anggaran publik seharusnya didasarkan pada permasalahan dan kebutuhan masyarakat yang terindetifikasi ketika legislatif turun ke lapangan melakukan penjaringan aspirasi masyarakat.
Ada dua kondisi yang dimanfaatkan oleh legislatif untuk merealisasi perilaku oportunistiknya dalam proses penyusunan anggaran. Pertama, secara eksplisit berhubungan dengan anggaran legislatif dan kedua, melalui anggaran untuk pelayanan publik dalam bentuk “titipan”. Pada kondisi pertama, legislatif mengusulkan anggaran yang meningkatkan pengahasilannya sehingga dapat memenuhi self-interest-nya dalam jangka pendek. Hal ini memunculkan political corruption atas anggaran (Garamfalvi, 1997). Sementara pada kondisi kedua, self-interest dalam jangka panjang ingin dicapai. Usulan anggaran yang diperjuangkan adalah yang megharumkan nama politisi di wilayah tertentu, sehingga cenderung pada usulan yang targetable atau hasilnya kelihatan jelas oleh masyarakat. Akibatnya, pembangunan cenderung tersentralisasi pada daerah tertentu yang merupakan wilayah pemilihan politisi yang powerful di legislatif. Masyarakat sulit melihat dan memahami kecenderungan ini.
H.      Kesimpulan
Hubungan dan masalah keagenan dalam penganggaran antara eksekutif dan legislatif merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kajian tentang keuangan (termasuk akuntansi) publik, politik penganggaran, dan ekonomika publik. Eksekutif merupakan agen bagi legislatif dan publik (dual accountability) dan legislatif merupakan agen bagi publik. Konsep perwakilan (representativeness) dalam penganggaran tidak sepenuhnya berjalan ketika kepentingan publik tidak terbela seluruhnya oleh karena adanya perilaku oportunistik (moral hazard) oleh legislatif. Di sisi lain, eksekutif sebagai agen cenderung menjadi budget maximizer karena berperilaku oportunistik (adverse selecation dan moral hazard sekaligus).
Daftar Bacaan
Abdullah, Syukriy. 2004. Perilaku oportunistik legislatif dalam penganggaran daerah: Pendekatan principal-agent theory. Makalah disajikan pada Seminar Antarbangsa di Universitas Bengkulu, Bengkulu, 4-5 Oktober 2004
Andvig, Jens Chr., Odd-Helge Fjeldstad, Inge Amundsen, Tone Sissener & Tina Soreide. 2001. Corruption A Review of Contemporary Research. Chr. Michelsen Institute Development Studies and Human Rights Report. 2001: 7
Carr, Jered B. & Ralph S. Brower. 2000. Principled opportunism: Evidence from the organizational middle. Public Administration Quarterly (Spring): 109-138
Christensen, Jorgen Gronnegard. 1992. Hierarchical and contractual approaches to budgetary reform. Journal of Theoretical Politics 4(1): 67-91
Colombatto, Enrico. 2001. Discretionary power, rent-seeking and corruption. University di Torino & ICER, working paper
Douglas, P.C. & B. Wei. 2000. Integrating ethical dimension into a model of budgeting slack creation. Journal of Business Ethics 28: 267-278
Elgie, Robert & Erik Jones. 2000. Agents, Principals and the Study of Institutions: Constructing a Principal-Centered Account of Delegation. Working documents in the Study of European Governance Number: 5. Center for the Study of European Governance (CSEG)
Fozzard, Adrian. 2001. The basic budgeting problem: Approaches to resource allocation in the public sector and their implications for pro-poor budgeting. Center for Aid and Public Expenditure, Overseas Development Institute (ODI). Working paper 147
Garamfalvi, L. 1997. Corruption in the public expenditures management process. Paper presented at 8th International Anti-Corruption Conference, Lima, Peru, 7-11 September
Gilardi, Fabrizio. 2001. Principal-agent models go to Europe: Independent regulatory agencies as ultimate step of delegation. Paper presented at the ECPR General Conference, Canterbury (UK), 6-8 September 2001
Groehendijk, Nico. 1997. A principal-agent model of corruption. Crime, Law & Social Change 27: 207-229
Halim, Abdul. 2002. Analisis varian pendapatan asli daerah dalam laporan perhitungan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota di Indonesia. Universitas Gadjah Mada. Disertasi
Johnson, Cathy Marie. 1994. The Dynamics of Conflict between Bureaucrats and Legislators. Armonk, New York: M.E. Sharpe
Keefer, Philip & Stuti Khemani. 2003. The political economy of public expenditures. Background paper for WDR 2004: Making Service Work for Poor People. The World Bank
Lane, Jan-Erik. 2000. The Public Sector – Concepts, Models and Approaches. London: SAGE Publications
---------------. 2003a. Management and public organization: The principal-agent framework. University of Geneva and National University of Singapore. Working paper
---------------. 2003b. Relevance of the principal-agent framework to public policy and implementation. University of Geneva and National University of Singapore. Working paper
Lupia, Arthur & Mathew McCubbins. 1994. Who controls? Information and the structure of legislative decision making. Legislative Studies Quarterly 19(3):361-384
Lupia, Arthur & Mathew McCubbins. 2000. Representation or abdication? How citizens use institutions to help delegation succeed. European Journal of Political Research 37: 291-307
Mauro, Paolo. 1998. Corruption: Causes, consequences, and agenda for further research. Finance & Development (March): 11-14
Moe, T. M. 1984. The new economics of organization. American Journal of Political Science 28(5): 739-777.
Petrie, Murray. 2002. A framework for public sector performance contracting. OECD Journal on Budgeting 2: 117-153
Ross, Stephen A. 1973. The economic theory of agency: The principal’s problem. American Economic Review 63(2): 134-139
Rubin, Irene S. 1993. The Politics of Public Budgeting: Getting and Spending, Borrowing and Balancing. Second edition. Chatam, NJ: Chatham House Publishers, Inc.
Seabright, Paul. 1996. Accountability and decentralisation in government: An incomplete contracts models. European Economic Review 40: 61-89
Smith, Robert W. 2003. Ethical norms in public budgeting: Evolution or devolution? Journal of Public Budgeting, Accounting & Financial Management 5(2): 205-227
Smith, Robert W. & Mark Bertozzi. 1998. Principals and agents: An explanatory model of public budgeting. Journal of Public Budgeting, Accounting and Financial Management (Fall): 325-353.
Strom, K. 2000. Delegation and accountability in parliamentary democracies. European Journal of Political Research 37: 261-289
Von Hagen, Jurgen. 2002. Fiscal rules, fiscal institutions, and fiscal performance. The Economic and Social Review 33(3): 263-284
Von Hagen, Jurgen. 2003. Budgeting institutions and public spending, in Shah, Anwar (ed.). 2003. Handbook on Public Sector Performance Reviews. Volume 1: Ensuring Accountability When There Is No Bottom Line. Washington, D.C.: The World Bank

Wildavsky, Aaron. 1991. The New Politics of the Budgetary Process. Second edition. New York, NY: HarperCollins Publishers Inc.

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK