Rabu, 21 Agustus 2013

APDN, IIP, STPDN, IPDN IKAPTK Kab Subang

Pengukuhan STPDN 012 part 1

Profil IPDN

STPDN/IPDN - Hymne Abdi Praja

Memori AKhir Pendidikan STPDN Angkatan 17

Video Prosesi Pernikahan Pamong Praja Muda Dharma Asthabrata IPDN

Pro-Kontra Keberadaan #Ahok Centre

APLIKASI PRINCIPLE-AGENT THEORY DALAM PENGANGGARAN KEUANGAN PUBLIK
(Kajian tentang Hubungan dan Masalah Keagenan Antara Legislatif dan Eksekutif di Timor-Leste)
Oleh:
Lucio Borromeo de Araujo
(Mahasiswa Program Magister Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Brawijaya, Malang)
Abstrak
Tulisan ini akan menyajikan hubungan dan masalah keagenan, antara eksekutif dan legislatif, yang dideskripsikan dengan teori keagenan. Dengan memandang dari konsep ini, diperoleh gambaran bahwa, konsep perwakilan (representativeness) dalam penganggaran tidak sepenuhnya berjalan ketika kepentingan publik tidak terbela seluruhnya oleh karena adanya perilaku oportunistik (moral hazard) dan/atau adanya perilaku budget maximizer (adverse selection).

Kata Kunci: Keagenan, Eksekutif, Legislatif, Anggaran Publik
A.      Pendahuluan
Semenjak Timor-Leste memperoleh kemerdekaannya pasca referendum yang diselenggarakan oleh PBB, sejak itu pula Timor-Leste telah menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) yang dikenal dengan Constituição da RDTL, sebagai landasan konstitusional. Konstitusi (UUD) RDTL yang ditetapkan pada tanggal 22 Maret 2002 tersebut, secara eksplisit telah mengatur lembaga kekuasaan negara yang secara tersurat disebutkan dalam pasal 67. Adapun menurut pasal tersebut  disebutkan adanya empat (4) lembaga kekuasaan negara yang meliputi: Prezidente da Repúblika (Presiden Republik), Parlamentu Nasionál (Parlemen Nasional), Governu (Pemerintah) dan Tribunal sira (Kehakiman).
Presiden Republik (PR) merupakan lembaga tertinggi negara yang juga sebagai simbol kesatuan dan kedaulatan bangsa. Dalam pasal 74 disebutkan bahwa PR adalah merupakan kepala negara (74 ayat 1) dan Kepala tertinggi Agkatan Bersenjata (pasal 74 ayat 2). Sementara Parlemen Nasional yang juga sebagai lembaga tinggi negara ini adalah merupakan organ legislatif (pasal 92); dan organ pemerintah yang dikepalai oleh seorang Perdana Menteri (PM) atau Kepala Pemerintahan, dalam pasal 103 merupakan lembaga eksekutif. Sedangkan Kehakiman adalah lembaga tinggi negara yang mengurus tentang tentang hal-hal yang menyangkut judicial (pasal 118).
Berdasarkan pada pasal-pasal tersebut, peluang untuk melakukan kajian dengan menggunakan perspektif keagenan (agency theory) terbuka lebar. Hubungan keagenan yang dikaji dalam peper ini lebih difokuskan pada masalah dan hubungan antara legislatif dan eksekutif, karena pada prinsipnya kedua institusi/lembaga negara ini memiliki tanggungjawab kinerja yang berdampak secara luas terhadap kinerja pelayanan publik.
Sehubungan dengan itu, dalam UUD tersebut telah memisahkan dengan tegas antara kewenangan pemerintah (eksekutif) dalam pasal 107 dengan kewengan parlemen nasional (legislatif) dalam pasal 95. Berdasarkan pembedaan kewenangan ini, eksekutif melakukan fungsi perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan atas anggaran pemerintah, yang merupakan manifestasi dari pelayanan kepada publik (pasal 115 huruf d, dan pasal 116 huruf f); sedangkan legislatif berperan aktif dalam melaksanakan legislasi (pasal 95 ayat 1 dan 2), penganggaran serta pengawasan (pasal 95 ayat 3 huruf b dan d).
Berdasarkan UUD itu pula legislatif-- melalui partai pemenang pemilu atau partai pemerintah dan/atau koalisi partai yang mengusung Pemerintahan--memiliki kewenangan untuk mengusulkan calon Perdan Menteri kepada Presiden untuk diangkat (pasal 85 huruf d), dan secara tidak langsung dapat membubarkan pemerintah—apabila program yang diusulkan oleh pemerintah secara berturut-turut (dua kali) ditolak (pasal 86 huruf g). Memperhatikan penjelasan menurut pasal-pasal tersebut, meskipun dalam pasal sebelumnya (pasal 67) bahwa mereka sama-sama merupakan lembaga tinggi negara, namun menurut kajian ini terlihat adanya posisi yang tidak seimbang antara eksekutif dan legislatif, di mana legislatif memiliki kekuasaan yang lebih tinggi.
Dalam hal demikian juga dapat berarti, legislatif mendelegasikan suatu kewenangan kepada pemerintah yang dipilihnya dengan konsekuensi dapat diberhentikan apabila pemerintah (PM) tidak mampu melaksanakan kewenangan tersebut seperti yang diinginkan oleh legislatif. Dengan demikian, kemitraan yang dimaksud dalam UUD tersebut bukanlah kemitraan yang sepenuhnya sejajar. Dalam literatur ilmiah, baik dalam disiplin ilmu ekonomi (termasuk akuntansi), politik, maupun keuangan, hubungan seperti ini disebut hubungan keagenan. Dalam hubungan keagenan, terdapat dua pihak yang melakukan kesepakatan atau kontrak, yakni yang memberikan kewenangan atau kekuasaan (disebut principal) dan yang menerima kewenangan (disebut agent). Dalam suatu organisasi hubungan ini berbentuk vertikal, yakni antara pihak atasan (sebagai principal) dan pihak bawahan (sebagai agent). Teori tentang hubungan kedua pihak tersebut populer dikenal sebagai teori keagenan.
Tulisan ini menganalisis pengaplikasian teori keagenan, yang menjadi mainstream dalam ilmu ekonomi (termasuk ilmu akuntansi) dan ilmu politik di pemerintahan Timor Leste.
B.       Pengertian Teori Keagenan
Teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori prinsipal-agen menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit dengan pihak lain (agent), dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang dinginkan oleh prinsipal (dalam hal ini terjadi pendelegasian wewenang). Lupia & McCubbins (2000) menyatakan pendelegasian terjadi ketika seseorang atau satu kelompok orang (principal) memilih orang atau kelompok lain (agent) untuk bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal.
Hubungan prinsipal-agen terjadi apabila tindakan yang dilakukan seseorang memiliki dampak pada orang lain atau ketika seseorang sangat tergantung pada tindakan orang lain (Stiglitz, 1987 dan Pratt & Zeckhauser, 1985 dalam Gilardi, 2001). Pengaruh atau ketergantungan ini diwujudkan dalam kesepakatan-kesepakatan dalam struktur institusional pada berbagai tingkatan, seperti norma perilaku dan konsep kontrak.
Menurut Lane (2003a) teori keagenan dapat diterapkan dalam organisasi publik. Ia menyatakan bahwa negara demokrasi modern didasarkan pada serangkaian hubungan prinsipal-agen (Lane, 2000:12-13). Hal senada dikemukakan oleh Moe (1984) yang menjelaskan konsep ekonomika organisasi sektor publik dengan menggunakan teori keagenan. Bergman & Lane (1990) menyatakan bahwa rerangka hubungan prinsipal-agen merupakan suatu pendekatan yang sangat penting untuk menganalisis komitmen-komitmen kebijakan publik. Pembuatan dan penerapan kebijakan publik berkaitan dengan masalah-masalah kontraktual, yakni informasi yang tidak seimbang (asymmetric information), moral hazard, dan adverse selection.
Petrie (2002) mendefinisikan moral hazard dan adverse selection sebagai berikut:
Moral hazard refers to the tendency of an agent, after the contract is entered into, to shirk or otherwise not fully seek to promote the principal’s interests. Adverse selection refers to the inability of a principal to determine, before the contract is entered into, which among several possible agents is most likely to promote the principal’s interests; and, given this imperfect information, the tendency for candidates with less than average motivation or qualifications to apply.
Selanjutnya Gilardi (2001) menyatakan, bahwa:
Adverse selection (or ex-ante opportunism, or hidden information) occurs whenever the principal cannot be sure that he is selecting the agent that has the most appropriate skills or preferences and moral hazard (or ex-post opportunism, or hidden action) occurs whenever the agent’s actions cannot be perfectly monitored by the principal.
Sementara itu menurut Lane (2003b): Adverse selection meaning opportunism before the making of the contract between principal and agent, moral hazard meaning opportunism after the making of the contract between principal and agent.
Menurut Carr & Brower (2000), model keagenan yang sederhana mengasumsikan dua pilihan dalam kontrak: (1) behavior-based, yakni prinsipal harus memonitor perilaku agen dan (2) outcome-based, yakni adanya insentif untuk memotivasi agen untuk mencapai kepentingan prinsipal. Para teoretisi berpegang pada proposisi bahwa, agents behave opportunistically toward principals. Oportunisme bermakna bahwa ketika terjalin kerjasama antara prinsipal dan agen, kerugian prinsipal karena agen mengutamakan kepentingannya (agent self-interest) kemungkinan besar akan terjadi.
Menurut Andvig et al. (2001) principal-agent model merupakan rerangka analitik yang sangat berguna dalam menjelaskan masalah insentif dalam institusi publik dengan dua kemungkinan kondisi, yakni (1) terdapat beberapa prinsipal dengan masing-masing tujuan dan kepentingan yang tidak koheren dan (2) prinsipal juga bisa bertindak tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat, tetapi mengutamakan kepentingannya yang sifatnya lebih sempit. Lebih jauh, Christensen (1992) menyatakan teori prinsipal-agen dapat menjadi alat analitis untuk penyusunan dan pengimplementasian anggaran publik.
Sejalan dengan pendapat Christensen (1992), Smith & Bertozzi (1998) berpandangan bahwa
Because implicit and explicit contractual relationship pervade the entire budget making process, principal-agent theory can make a major contribution toward developing more inclusive and accurate models of most stages of public budgeting… The application of principal-agent models by practitioners offers a more powerful analytic tool for both preparing and implementing public budget.”
Menurut Moe (1984), di pemerintahan terdapat suatu keterkaitan dalam kesepakatan-kesepakatan principal-agent yang dapat ditelusuri melalui proses anggaran: pemilih-legislatur, legislatur-pemerintah, menteri keuangan-pengguna anggaran, perdana menteri-birokrat, dan pejabat-pemberi pelayanan. Hal yang sama dikemukakan juga oleh Gilardi (2001) dan Strom (2000), yang melihat hubungan keagenan sebagai hubungan pendelegasian (chains of delegation), yakni pendelegasian dari masyarakat kepada wakilnya di parlemen, dari parlemen kepada pemerintah, dari pemerintah sebagai satu kesatuan kepada seorang menteri, dan dari pemerintah kepada birokrasi. Hubungan tersebut tidaklah selalu mencerminkan hirarki, tetapi dapat saja berupa hubungan pendelegasian, seperti yang dinyatakan oleh Andvig et al. (2001) berikut:
Principal-agent models are sometimes constructed for situations where the P-A relationship is not established within a given hierarchy, but where A may be a head of one and P represents another that in some sense has a superior role. For example, a parliament is often considered as the principal of the public bureaucracy, and the voters the principal of the parliament, and so on.”
Secara umum dapat dikatakan bahwa delegation is certainly problematic and entails danger (Lupia & McCubbins, 2000). Dalam demokrasi modern, setidaknya terdapat empat ciri pendelegasian (Lupia & McCubbins, 2000), yakni: (1) adanya prinsipal dan agen, (2) kemungkinan terjadinya konflik kepentingan, (3) adanya asimetri informasi, dan (4) prinsipal kemungkinan dapat mengurangi masalah keagenan. Prinsipal sendiri harus mengeluarkan biaya (costs) untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam memonitor kinerja agents dan untuk menentukan struktur insentif dan monitoring yang efisien (Petrie, 2002).
Asumsi-asumsi keperilakuan (behavioural assumptions) dalam teori public choice menyatakan bahwa politisi terutama berkepentingan dengan memaksimalkan prospek untuk dipilih kembali dan birokrat terutama berkepentingan dengan memaksimalkan kenikmatan (enjoyment), yang berasal dari pemanfaatan fasilitas tempat kerja (misalnya: prestise dan pengaruh). (Von Hagen, 2002).
C.      Hubungan Keagenan antara Eksekutif dan Legislatif
Dalam hubungan keagenan di pemerintahan antara eksekutif dan legislatif; eksekutif adalah agen dan legislatif adalah prinsipal (Halim, 2002a; Fozzard, 2001; Moe, 1984). Seperti dikemukakan sebelumnya, di antara prinsipal dan agen senantiasa terjadi masalah keagenan. Oleh karena itu, persoalan yang sering timbul di antara eksekutif dan legislatif juga merupakan persoalan keagenan.
Lupia & McCubbins (1994) menyatakan bahwa masalah yang dihadapi legislatur dapat diartikan sebagai fenomena yang disebut agency problems. Agency problems atau masalah keagenan paling tidak melibatkan dua pihak, yakni prinsipal, yang memiliki otoritas untuk melakukan tindakan-tindakan; dan agen, yang menerima pendelegasian otoritas dari prinsipal. Dalam konteks pembuatan kebijakan oleh legislatif, legislatur adalah prinsipal yang mendelegasikan kewenangan kepada agen seperti pemerintah atau panitia di legislatif untuk membuat kebijakan baru. Hubungan keagenan di sini terjadi setelah agen membuat usulan kebijakan dan berakhir setelah usulan tersebut diterima atau ditolak.
Johnson (1994:5) menyebut hubungan eksekutif atau birokrasi dengan legislatif atau kongres dengan nama self-interest model. Dalam hal ini, legislators ingin dipilih kembali, birokrat ingin memaksimumkan anggarannya, dan konstituen ingin memaksimumkan utilitasnya. Agar terpilih kembali, legislators mencari program dan projects yang membuatnya populer di mata konstituen. Birokrat mengusulkan program-program baru karena ingin agency-nya berkembang dan konstituen percaya bahwa mereka menerima benefits dari pemerintah tanpa harus membayar biayanya secara penuh.
Hubungan keagenan eksekutif-legislatif juga dikemukakan oleh Andvig et al. (2001) dan Lupia & McCubbins (2000). Sebagai Prinsipal, legislatif dapat juga berperilaku moral hazard atau dalam merealisasikan self-interest-nya (Elgie & Jones, 2001) seperti berlaku korup (corrupt principals) (Andvig et al., 2001). Menurut Colombatto (2001), adanya discretionary power di salah satu pihak akan menimbulkan pelanggaran atas kontrak keagenan, seperti terjadinya perilaku rent-seeking dan korupsi.
Dalam konteks penyusunan anggaran, usulan yang diajukan oleh eksekutif memiliki muatan mengutamakan kepentingan eksekutif (Smith & Bertozzi, 1998). Eksekutif mengajukan anggaran yang dapat memperbesar agency-nya, baik dari segi finansial maupun nonfinansial. Sementara Keefer & Khemani (2003), Mauro (1998), dan Von Hagen (2002) secara implisit menyatakan bahwa anggaran juga dipergunakan oleh legislatif (politisi) untuk memenuhi self-interest-nya. Pada akhirnya keunggulan informasi yang dimiliki oleh eksekutif yang dipergunakan untuk menyusun rancangan anggaran akan berhadapan dengan keunggulan kekuasaan (discretionary power) yang dimiliki oleh legislatif.
D.      Hubungan Keagenan antara Legislatif dan Publik
Dalam hubungan keagenan antara legislatif dan publik (voters), legislatif adalah agen dan publik adalah prinsipal (Fozzard, 2001; Lane, 2000:13; Moe, 1984). Lupia & McCubbins (2000) menyatakan: citizens are principals who elect representatives to serve as their agents in parliament, sementara Andvig et. al. (2001) menyatakan “the voters are the principal of the parliament.
Dalam hal pembuatan kebijakan, Von Hagen (2003) berpendapat bahwa hubungan prinsipal-agen yang terjadi antara pemilih (voters) dan legislatif pada dasarnya menunjukkan bagaimana voters memilih politisi untuk membuat keputusan-keputusan tentang belanja publik untuk mereka dan mereka memberikan dana dengan membayar pajak. Ketika legislatif kemudian terlibat dalam pembuatan keputusan atas pengalokasian belanja dalam anggaran, maka mereka diharapkan mewakili kepentingan atau preferensi prinsipal atau pemilihnya.
Pada kenyataannya legislatif sebagai agen bagi publik tidak selalu memiliki kepentingan yang sama dengan publik, seperti dinyatakan oleh Groehendijk (1997) berikut ini:
Without doubt, the relationship between voters and politicians in a representative democracy can be considered to be a principal-agent relationship. Voters want politicians to look after their interests, and in exchange provide these politicians with their votes and thus with positions. Of course, politicians have their own interests, which may diverge from the voters’ interests.
Lupia & McCubbins (2000) mengingatkan bahwa pendelegasian memiliki konsekuensi tidak terkontrolnya keputusan agen oleh prinsipal dalam hubungan legislatif-publik. Mereka menyebutnya abdikasi (abdication), yakni adanya kondisi di mana agen tidak dipagari dengan aturan bagaimana tindakan mereka berpengaruh terhadap kepentingan prinsipal. Dalam hal ini pemilih (voters) dicirikan sebagai pihak yang tidak perduli atau tidak berkeinginan untuk mempengaruhi perwakilan (anggota legislatif) yang mereka pilih. Di sisi lain, legislatur dicirikan sebagai pihak yang tidak memiliki waktu, inklinasi (inclination), dan pengetahuan untuk mengetahui seluruh kebutuhan publik. Stereotypes inilah yang menyebabkan terjadinya abdikasi, yakni keterwakilan yang tidak memberikan manfaat apa-apa bagi pemilih (prinsipal) atau pihak yang diwakili.
Kedudukan legislatif atau parlemen sebagai agen dalam hubungannya dengan publik menunjukkan bahwa legislatif memiliki masalah keagenan karena akan berusaha untuk memaksimalkan utilitasnya (self-interest) dalam pembuatan keputusan yang terkait dengan publik. Persoalan abdication menjadi semakin nyata ketika publik tidak memiliki sarana atau institusi formal untuk mengawasi kinerja legislatif, sehingga perilaku moral hazard legislatif dapat terjadi dengan mudah.
Menurut Von Hagen (2003), politisi yang terpilih bisa saja berlaku oportunistik dan karenanya voters berkeinginan menghilangkan peluang untuk mendapat rents dengan membuat politisi terikat pada suatu aturan yang menentukan apa yang dapat atau harus mereka lakukan pada kondisi tertentu. Akan tetapi, membuat aturan untuk sesuatu yang tidak jelas (unforeseen development) dan kompleskitas situasi yang dihadapi menyebabkan kontrak yang sempurna tidak mungkin dibuat. Politisi juga tidak akan dapat memenuhi semua janji yang dibuatnya selama kampanye pemilihan. Oleh karena itu, seperti halnya dalam bentuk hubungan keagenan yang lain, hubungan keagenan antara pemilih (voters) dengan politisi dapat dipandang sebagai incomplete contract (Seabright, 1996).
E.       Hubungan Keagenan dalam Penyusunan Anggaran Publik di Timor-Leste
Pada pemerintahan, peraturan perundang-undangan secara implisit merupakan bentuk kontrak antara eksekutif, legislatif, dan publik. Dalam peraturan tersebut dinyatakan semua kewajiban dan hak pihak-pihak yang terlibat dalam pemerintahan. Beberapa aturan yang secara eksplisit merupakan manifestasi dari teori keagenan adalah:
1. Konstitusi RDTL yang mengatur diantaranya hubungan kewenangan pemerintah (eksekutif) dan kewenangan parlemen nasional (legislatif). Eksekutif (Perdana Menteri) diusulkan oleh legislatif (parlemen) untuk kemudian diangkat oleh Presiden Republik, dan secara tidak langsung dapat memberhentikan atau membubarkan pemerintah bila dalam usulan program tahunan, secara berturut-turut (dua kali) tidak mendapatkan apresiasi dari parlemen (mosi tidak percaya).
2.   Lei (Undang-Undang) No. 1/II de 14 de Fevereiro, Aprova o Orçamento Geral do Estado da República Democrática de Timor-Leste para 2011 (pengesahan keuangan negara RDTL untuk tahun 2011). Undang-undang ini mengatur lebih jauh tentang manajemen keuangan publik oleh pemerintah serta penggunaannya (anggaran pendapatan belanja negara). Dalam UU ini pula disebutkan beberapa item penting yang menjadi pendapatan negara dan itu harus dilaporkan kepada parlemen bersamaan dengan usulan progran yang hendak dibelanjakan dengan anggaran pendapatan tersebut untuk dibahas. Artinya parlemen (legislatif) memiliki kewenagan penuh untuk mengontrol setiap aktivitas pemerintah.
3.  Lei (Undang-Undang) No. 13/2009 de 21 de Outubro sobre Orçamento e Gestão Financeira (Anggaran dan Manajemen Keuangan). Undang-undang ini mengatur tentang beberapa poin berikut:
  •               The general and common framework for the State Budget;
  •        The rules and procedures concerning the organization, drafting, presentation, discussion,  voting, alteration and execution of the State Budget and the corresponding budget verification  and accountability;
  •        The rules and procedures concerning guarantees and loans granted to the State or granted by    the State;
  •        The rules concerning the organization, drafting and presentation of the annual report on State  accounts;
  •       The rules and procedures to be applied in the financial management of the State;

Anggaran negara/publik merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Timor-Leste dokumen anggaran publik yang disebut Orcamento Geral do Estado (OGE) atau anggaran umum negara ini memuat tentang manajemen anggaran pendapatan dan belanja negara. Proses penyusunan anggaran pendapatan dan belanja tersebut dilakukan oleh pemerintah (eksekutif) dalam bentuk proposal (pasal 29 UU No. 13/2009) untuk diajukan kepada kepada parlemen nasional (legislatif) untuk kemudian dipelajari, dibahas dan disetujui (pasal 30 ayat 1 UU No. 13/2009) sebelum diajukan kepada Presiden Republik untuk disahkan.
Dalam perspektif keagenan, hal ini merupakan bentuk kontrak (incomplete contract), yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif.
F.       Masalah Keagenan di Eksekutif
Eksekutif memiliki keunggulan dalam hal penguasaan informasi dibanding legislatif (asimetri informasi). Keunggulan ini bersumber dari kondisi faktual bahwa eksekutif adalah pelaksana semua fungsi pemerintahan dan berhubungan langsung dengan masyarakat dalam waktu sangat lama. Eksekutif memiliki pemahaman yang lebih baik tentang birokrasi dan administrasi serta peraturan perundang-undangan yang mendasari seluruh aspek pemerintahan. Oleh karena itu, anggaran untuk pelaksanaan pelayanan publik diusulkan untuk dialokasikan dengan didasarkan pada asumsi-asumsi sehingga memudahkan eksekutif memberikan pelayanan dengan baik. Eksekutif akan memiliki kecenderungan mengusulkan anggaran belanja yang lebih besar dari yang aktual terjadi saat ini (asas maksimal). Sebaliknya untuk anggaran pendapatan, eksekutif cenderung mengusulkan target yang lebih rendah (asas minimal) agar ketika realisasi dilaksanakan, target tersebut lebih mudah dicapai. Usulan anggaran yang mengandung slack seperti ini merupakan gambaran adanya asimetri informasi antara eksekutif dan legislatif. Slack tersebut terjadi karena agen (eksekutif) menginginkan posisi yang relatif aman dan nyaman dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Proses penyusunan anggaran negara diawali dari rencana pelayanan yang akan diberikan oleh pemerintah. Pemilihan pelayanan (dalam bentuk kegiatan) direncanakan secara keseluruhan inisiatif terbesar ada di pihak eksekutif. Eksekutif kemudian mengalokasikan anggaran untuk setiap kegiatan, program, dan prioritas anggaran. Rangkuman usulan kegiatan dan anggarannya ini kemudian disampaikan kepada legislatif untuk dibahas dan disetujui untuk kemudian disahkan menjadi undang-undang.
Realisasi perilaku oportunistik eksekutif dalam mengusulkan anggaran belanja ini, diantaranya adalah:
·         Mengusulkan kegiatan yang sesungguhnya tidak menjadi prioritas.
·      Mengusulkan kegiatan yang memiliki lucrative opportunities (peluang untuk mendapatkan keuntungan  pribadi) yang besar.
·         Mengalokasikan komponen belanja yang tidak penting dalam suatu kegiatan.
·         Mengusulkan jumlah belanja yang terlalu besar untuk komponen belanja dan anggaran setiap kegiatan.
·         Memperbesar anggaran untuk kegiatan yang sulit diukur hasilnya.
G.      Masalah Keagenan di Legislatif
Perilaku oportunistik legislatif dapat terjadi pada dua posisi, yakni sebagai prinsipal dan juga sebagai agen. Sebagai prinsipal bagi eksekutif, legislatif dapat meralisasikan kepentingannya dengan membuat kebijakan yang seolah-olah merupakan kesepakatan di antara kedua belah pihak, tetapi menguntungkan legislatif dalam jangka panjang, baik secara individual maupun institusional. Melalui discretionary power yang dimilikinya, legislatif dapat mengusulkan kebijakan yang sulit untuk ditolak oleh eksekutif, meskipun usulan tersebut tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik dan fungsi legislatif.
Sebagai agen bagi publik (pemilih), perilaku oportunistik legislatif lebih kelihatan jelas. Dalam penganggaran, legislatif semestinya membela kepentingan pemilihnya dengan mengakomodasi kebutuhan publik dalam anggaran. Usulan kegiatan yang akan dibiayai dengan anggaran publik seharusnya didasarkan pada permasalahan dan kebutuhan masyarakat yang terindetifikasi ketika legislatif turun ke lapangan melakukan penjaringan aspirasi masyarakat.
Ada dua kondisi yang dimanfaatkan oleh legislatif untuk merealisasi perilaku oportunistiknya dalam proses penyusunan anggaran. Pertama, secara eksplisit berhubungan dengan anggaran legislatif dan kedua, melalui anggaran untuk pelayanan publik dalam bentuk “titipan”. Pada kondisi pertama, legislatif mengusulkan anggaran yang meningkatkan pengahasilannya sehingga dapat memenuhi self-interest-nya dalam jangka pendek. Hal ini memunculkan political corruption atas anggaran (Garamfalvi, 1997). Sementara pada kondisi kedua, self-interest dalam jangka panjang ingin dicapai. Usulan anggaran yang diperjuangkan adalah yang megharumkan nama politisi di wilayah tertentu, sehingga cenderung pada usulan yang targetable atau hasilnya kelihatan jelas oleh masyarakat. Akibatnya, pembangunan cenderung tersentralisasi pada daerah tertentu yang merupakan wilayah pemilihan politisi yang powerful di legislatif. Masyarakat sulit melihat dan memahami kecenderungan ini.
H.      Kesimpulan
Hubungan dan masalah keagenan dalam penganggaran antara eksekutif dan legislatif merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kajian tentang keuangan (termasuk akuntansi) publik, politik penganggaran, dan ekonomika publik. Eksekutif merupakan agen bagi legislatif dan publik (dual accountability) dan legislatif merupakan agen bagi publik. Konsep perwakilan (representativeness) dalam penganggaran tidak sepenuhnya berjalan ketika kepentingan publik tidak terbela seluruhnya oleh karena adanya perilaku oportunistik (moral hazard) oleh legislatif. Di sisi lain, eksekutif sebagai agen cenderung menjadi budget maximizer karena berperilaku oportunistik (adverse selecation dan moral hazard sekaligus).
Daftar Bacaan
Abdullah, Syukriy. 2004. Perilaku oportunistik legislatif dalam penganggaran daerah: Pendekatan principal-agent theory. Makalah disajikan pada Seminar Antarbangsa di Universitas Bengkulu, Bengkulu, 4-5 Oktober 2004
Andvig, Jens Chr., Odd-Helge Fjeldstad, Inge Amundsen, Tone Sissener & Tina Soreide. 2001. Corruption A Review of Contemporary Research. Chr. Michelsen Institute Development Studies and Human Rights Report. 2001: 7
Carr, Jered B. & Ralph S. Brower. 2000. Principled opportunism: Evidence from the organizational middle. Public Administration Quarterly (Spring): 109-138
Christensen, Jorgen Gronnegard. 1992. Hierarchical and contractual approaches to budgetary reform. Journal of Theoretical Politics 4(1): 67-91
Colombatto, Enrico. 2001. Discretionary power, rent-seeking and corruption. University di Torino & ICER, working paper
Douglas, P.C. & B. Wei. 2000. Integrating ethical dimension into a model of budgeting slack creation. Journal of Business Ethics 28: 267-278
Elgie, Robert & Erik Jones. 2000. Agents, Principals and the Study of Institutions: Constructing a Principal-Centered Account of Delegation. Working documents in the Study of European Governance Number: 5. Center for the Study of European Governance (CSEG)
Fozzard, Adrian. 2001. The basic budgeting problem: Approaches to resource allocation in the public sector and their implications for pro-poor budgeting. Center for Aid and Public Expenditure, Overseas Development Institute (ODI). Working paper 147
Garamfalvi, L. 1997. Corruption in the public expenditures management process. Paper presented at 8th International Anti-Corruption Conference, Lima, Peru, 7-11 September
Gilardi, Fabrizio. 2001. Principal-agent models go to Europe: Independent regulatory agencies as ultimate step of delegation. Paper presented at the ECPR General Conference, Canterbury (UK), 6-8 September 2001
Groehendijk, Nico. 1997. A principal-agent model of corruption. Crime, Law & Social Change 27: 207-229
Halim, Abdul. 2002. Analisis varian pendapatan asli daerah dalam laporan perhitungan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota di Indonesia. Universitas Gadjah Mada. Disertasi
Johnson, Cathy Marie. 1994. The Dynamics of Conflict between Bureaucrats and Legislators. Armonk, New York: M.E. Sharpe
Keefer, Philip & Stuti Khemani. 2003. The political economy of public expenditures. Background paper for WDR 2004: Making Service Work for Poor People. The World Bank
Lane, Jan-Erik. 2000. The Public Sector – Concepts, Models and Approaches. London: SAGE Publications
---------------. 2003a. Management and public organization: The principal-agent framework. University of Geneva and National University of Singapore. Working paper
---------------. 2003b. Relevance of the principal-agent framework to public policy and implementation. University of Geneva and National University of Singapore. Working paper
Lupia, Arthur & Mathew McCubbins. 1994. Who controls? Information and the structure of legislative decision making. Legislative Studies Quarterly 19(3):361-384
Lupia, Arthur & Mathew McCubbins. 2000. Representation or abdication? How citizens use institutions to help delegation succeed. European Journal of Political Research 37: 291-307
Mauro, Paolo. 1998. Corruption: Causes, consequences, and agenda for further research. Finance & Development (March): 11-14
Moe, T. M. 1984. The new economics of organization. American Journal of Political Science 28(5): 739-777.
Petrie, Murray. 2002. A framework for public sector performance contracting. OECD Journal on Budgeting 2: 117-153
Ross, Stephen A. 1973. The economic theory of agency: The principal’s problem. American Economic Review 63(2): 134-139
Rubin, Irene S. 1993. The Politics of Public Budgeting: Getting and Spending, Borrowing and Balancing. Second edition. Chatam, NJ: Chatham House Publishers, Inc.
Seabright, Paul. 1996. Accountability and decentralisation in government: An incomplete contracts models. European Economic Review 40: 61-89
Smith, Robert W. 2003. Ethical norms in public budgeting: Evolution or devolution? Journal of Public Budgeting, Accounting & Financial Management 5(2): 205-227
Smith, Robert W. & Mark Bertozzi. 1998. Principals and agents: An explanatory model of public budgeting. Journal of Public Budgeting, Accounting and Financial Management (Fall): 325-353.
Strom, K. 2000. Delegation and accountability in parliamentary democracies. European Journal of Political Research 37: 261-289
Von Hagen, Jurgen. 2002. Fiscal rules, fiscal institutions, and fiscal performance. The Economic and Social Review 33(3): 263-284
Von Hagen, Jurgen. 2003. Budgeting institutions and public spending, in Shah, Anwar (ed.). 2003. Handbook on Public Sector Performance Reviews. Volume 1: Ensuring Accountability When There Is No Bottom Line. Washington, D.C.: The World Bank

Wildavsky, Aaron. 1991. The New Politics of the Budgetary Process. Second edition. New York, NY: HarperCollins Publishers Inc.

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK


Jumat, 03 Mei 2013

PRINSIP TRANSPARANSI, AKUNTABILITAS DAN PRTISIPASI MASYARAKAT


PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI, AKUNTABILITAS DAN PRTISIPASI MASYARAKAT DALAM LOCAL DEVELOPMENT PROGRAM DI TIMOR-LESTE
Oleh:
Lucio Borromeo de Araujo

PENDAHULUAN
Local Development Program (LDP) merupakan suatu proses pembangunan lokal yang didelegasikan pelaksanaannya oleh Pemerintah kepada District Administration (Pemerintahan Kabupaten) untuk merencanakan dan memutuskan sendiri jenis program dan proyek yang dibutuhkan masyarakat setempat dalam bentuk infrastruktur yang berskala kecil. Bersamaan dengan itu, pemerintah mengalokasikan sebagian dana berupa block grants untuk mendukung realisasi dari program dan proyek/kegiatan yang telah diputuskan tadi.
Adapun tujuan dari LDP ini adalah: 1) membuka lapangan kerja bagi masyarakat lokal; 2) mengurangi angka kemiskinan; dan 3) merangsang kemampuan lider lokal dalam proses perencanaan dan implementasi program dan proyek sebelum memasuki era desentralisasi. Sementara bagi pemerintah, selain merupakan upaya pilot untuk memperoleh input yang relevan bagi formulasi kebijakan “desentralisasi” yang akan dititikberatkan pada District sebagai otonomi daerah (dalam bentuk Municipality), juga dimaksudkan untuk memacu integritas aparatur pemerintahan lokal [District] agar dapat performa menurut prinsip good governance, terutama yang terkait dengan prinsip akuntabilitas, transparansi dan partisipasi masyarakat.
Ketiga prinsip utama good governance tersebut secara implisit maupun eksplisit telah disebutkan dalam kebijakan pemerintah RDTL dalam rangka untuk mewujudkan good local governance di masa depan. Dalam Diploma Ministérial do MAEOT No. 1/2010 tentang Assembleia Distrito (District Assembly), secara tersirat mengatur bahwa, [alokasi dana hibah untuk pembangunan dalam proses LDP harus dapat memenuhi minimum condition yang dikembangkan dari tiga prinsip GG tadi]. Artinya, kebijakan ini lebih menitikberatkan pada alokasi dana/anggaran yang berbasis kinerja (alocation based performance atau performance based grants), dan kinerja pemerintah District akan terus dievaluasi setiap tahunnya berdasarkan indikator minimum condition yang dipersyaratkan.
Adapun maksud dari kebijakan tersebut adalah untuk mengantisipasi praktek administrasi yang seringkali menyimpang, seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). KKN dalam tubuh pemerintahan di hampir semua negara sedang berkembang, apalagi untuk pemerintahan negara baru, bukan tidak mungkin hal ini dapat terjadi. Presiden RDTL, Dr. Jose Ramos Horta, pernah menyampaikan keprihatinannya terhadap korupsi yang merajalela dan terus meningkat dalam tubuh pemerintah di Timor-Leste. Komentar tersebut disampaikan dalam rangka menanggapi pengumuman hasil evaluasi Transparansi Internasional tentang korupsi. (Povu Maubere, tanggal 14 Desember 2011). Menurut sumber yang sama diinformasikan bahwa, berdasarkan indeks korupsi, Timor Leste (bersama-sama dengan negara-negara seperti, Mauritania, Nigeria, Tongo, Uganda, Bielorrussia) menempati urutan ke-143 dari 183 negara yang di evaluasi—(semakin kecil angka indeks-nya semakin kecil pula tingkat korupsinya, begitupun sebaliknya). Itu artinya praktek korupsi dalam tubuh pemerintahan RDTL sangat besar. Bila dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2010, “Timor Leste mengalami kemerosotan dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, korupsi meningkat dari urutan 125 menjadi 143” (Povu Maubere, 14 Desember 2011).
Di lain pihak Uskup Baucau, Dom Basilio do Nascimento, juga menyampaikan hal yang sama tentang praktek korupsi oleh aparatur pemerintah. Dikatakannya bahwa, “tidak lama lagi kekuasaan Pemerintahan Konstitusional IV RDTL akan berakhir, namun disana sini masih ditemukan adanya jalan-jalan yang rusak, terutama di sektor Timur” (Povu Maubere, 16 Desember 2011)—alokasi dana pembangunan yang cukup besar tidak serta merta dapat menyelesaikan permasalahan hakiki masyarakat, seperti kemiskinan, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan lain-lain.
Kondisi di atas, “barangkali” juga merupakan akumulasi dari berbagai bentuk implementasi program dan kegiatan pembangunan yang terselenggara selama ini, termasuk LDP. Menurut pengamatan kami terhadap pelaksanaan LDP di 13 District yang ada, diperoleh informasi (hingga tahun anggaran 2010) bahwa, Pemerintahan District belum dapat mencapai/memenuhi minimum condition yang dipersyaratkan dalam pembangunan lokal dan terkesan cenderung menyimpang dari arah kebijakan yang telah ditetapkan. Hal ini dapat dilihat pada hasil penelitian--join research--antara Local NGO (Non Government Organisaton) LUTA HAMUTUK bekerjasama dengan World Bank melalui Justice for the Poor (J4P) terhadap implementasi LDP di Timor-Leste. Berdasarkan pada hasil penelitian tersebut, dapat disarikan beberapa indikasi pokok permasalahan sebagai berikut:
1.   Proses perencanaan pembangunan lokal di tingkat District lebih bersifat top down dan cenderung memberikan prioritas yang rendah bagi usulan proyek/kegiatan yang bersumber dari masyarakat di tingkat Suco/Desa.
2.   Penentuan usulan proyek/kegiatan cenderung didominasi oleh eksekutif dalam hal ini District Administrator dan pejabat teras lainnya di tingkat District;
3.   Implementasi proyek fisik tertentu, terutama proyek yang termasuk dalam paket LDP, lebih banyak dilaksanakan oleh sanak famili/kerabat dari para pejabat, baik di jajaran Cental Government maupun di District Administration itu sendiri;
4.   Akuntabilitas kinerja pemerintah lokal cenderung bersifat button up (akuntabilitas internal);
5.   Publik (masyarakat) kurang mendapatkan informasi tentang adanya suatu proyek/kegiatan serta besarnya anggaran yang dialokasikan, sehingga mereka cenderung lebih bersikap pasif (apatis) dalam implementasinya;
Memperhatikan sebagian indikasi yang disebutkan di atas, lalu kemudian disandingkan dengan etika pemerintahan dalam perspektif good governance, maka yang hendak dipersoalkan adalah integritas pejabat publik pada tataran bureaucracy. Integritas pejabat publik sesungguhnya adalah pejabat birokrasi yang seharusnya--meminjam pernyataan Denhart & Denhart (2002:141)--“not just about doing things right, it’s about doing the right things”. Pejabat birokrasi pada tataran pemerintahan lokal, seharusnya, tidak saja melakukan sesuatu program dengan benar, sesuai arah kebijakan yang telah ditetapkan, tetapi juga diharapkan dapat melakukan sesuatu yang benar; benar-benar sesuai dengan kondisi lingkungan, dan yang terpenting adalah dapat menjawab persoalan dan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang dari masa ke masa.
Atas dasar pemikiran demikian maka paper ini akan mengkaji penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat sebagai landasan ethics management dalam implementasi local development program.
KAJIAN TEORI DAN UNIT ANALISIS
Ethics Management
Pentingnya ethics management (manajemen etika) dalam pemerintahan menurut Menzel (2007:10) adalah “... focused heavily, if not exclusively, on the core values of efficiency, economy, and effectiveness [3e].” Dengan berfokus pada trilogi administrasi “3e” tersebut ,dan agar pemerintah bisa bebas dari tindakan KKN, para administrator publik pada tataran administrasi lokal harus memiliki karakter moral dan integritas yang tinggi; lalu kemudian atas dasar peryataan yang terakhir ini, oleh Woodrow Wilson menambahkan satu (1) huruf “e” lagi menjadi “e” yang keempat yaitu ethics atau etika (Menzel, 2007).
Ethics atau etika seringkali dipakai sebagai sistem nilai (Surajiwo, 2009), kebiasaan, adat atau akhlak dan watak (Bertans dalam Keban, 2008) tentang baik buruk, atau suatu perbuatan yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Pemahaman ini selaras dengan pendapat Menzel (2007:6) yang merumuskan etika sebagai “values and principles that guide right and wrong behaviour. Penjelmaan dari etika adalah moral. Moral dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai (Surajiwo, 2009)—kualitas suatu sifat, yang dihubungkan dengan norma, sebagai cara bertindak dalam kerangka baik/buruk, benar/salah yang dianggap sebagai nilai mutlak atau transenden (Keban, 2008).
Etika dalam manajemen pemerintahan berkaitan dengan produksi barang dan jasa publik (public goods and services), sehingga disebut etika publik. Etika publik didefinisikan oleh Haryatmoko (2011:5) dalam tiga dimensi yaitu:
(i) tujuan: “upaya hidup baik” diterjemahkan menjadi “mengusahakan kesejahteraan umum melalui pelayanan yang berkualitas dan relevan”; (ii) sarana: “membangun institusi-institusi yang lebih adil” dirumuskan sebagai “membangun infreastruktur etika dengan menciptakan regulasi, hukum, aturan agar dijamin akuntabilitas, transparansi, dan netralitas pelayanan publik”; (iii) aksi/tindakan dipahami sebagai “integritas publik” untuk menjamin pelayanan publik yang berkualitas dan relevan.
Dari ketiga dimensi definisi etika publik sebagaimana disebutkan di atas, meskipun sama-sama penting, namun menurut kami, yang lebih penting adalah integritas publik. Integritas publik adalah unsur pokok etika publik dan integritas pribadi menjadi landasan utamanya. Integritas (dalam bahasa Latin, integer) yang berarti, “tidak rusak, murni, utuh, jujur, lurus, dan dapat dipercaya atau diandalkan” (D.P. Simpson, Cassell New Latin Dictionary,1960). Konsep etika publik terutama, menurut Haryatmoko (2011:72), mengacu pada “tuntutan integritas dan perilaku etis”—sebagai kualitas utama yang diharapkan dari pejabat publik. Dengan demikian, integritas publik merupakan kualitas perilaku seseorang atau organisasi yang sesuai dengan nilai-nilai, standar, dan aturan moral yang diterima oleh anggota organisasi atau masyarakat.
Terdapat tiga kriteria untuk mengukur integritas publik pejabat (Kolthoff, 2007) dalam Haryatmoko (2011:72) yakni:
a) mandiri karena hidupnya mendasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma yang stabil dan mempunyai visi karena mau memperjuangkan sesuatu yang khas; b) jujur terhadap ideal yang mau dicapainya yang terungkap dalam satunya kata dan perbuatan; c) perhatian dan tanggung jawab terhadap masalah-masalah kepentingan publik.
Tiga hal ini, menurut A.J. Brown (2008) dalam Haryatmoko (2011:73), menjadi pilar good governance, yang melihat integritas publik sebagai tindakan seseorang/lembaga pemegang kekuasaan yang sesuai dengan nilai, tujuan dan kewajiban yang dipercayakan kepadanya atau dengan norma jabatan kekuasaan yang dipegangnya.
Pengertian dan Prinsip Good Governance (GG)
Mengawali pembahasan tentang penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masarakat dalam LDP, terlebih dahulu akan ditelusuri sesungguhnya apa itu Good Governance (GG) serta prinsip-prinsip apa saja yang terkandung didalamnya.
Sejak awal 1990-an, GG telah menjadi kredo baru dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kendati demikian, masih terdapat beberapa perbedaan penekanan, walaupun terdapat persamaan fokus dan ide utamanya. Dari sudut pandang administrasi pembangunan, dalam (Tjokrowinoto, et al, 2011:3), didefinisikan bahwa:
... an overall institutional framework within which its citizens are allowed to interact and transact freely, at different levels, to fulfill its political, economic and social aspirations. Basically, governance has tree aspects: (i) the ability of citizens to express views and access decision making freely; (ii) the capacity of the government agencies (both political and bureaucratic) to translate these views into realistic plans and to implement them cost effectively; and (iii) the ability of citizens and institutions to compare what has been asked for with what has been planned, and to compare what has been planned with what has been implemented.
Definisi tersebut lebih ditekankan pada aspek kemampuan pemerintah dan masyarakat/warga negara maupun civil society dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang intinya adalah adanya kebebasan/keterbukaan informasi, efektivitas [dan efisiensi], dan adanya kontrol/pengawasan secara efektif. Dengan demikian maka dalam GG diperlukan hubungan harmonis antara state, civil society and market. Hubungan tersebut, dalam ilustrasi kami, terurai dalam pernyataan-pernyatan seperti, adanya keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan/keputusan publik, adanya kontrol dari publik (dalam artian masyarakat dan civil society). Agar kontrol publik menjadi lebih efektif, keterbukaan informasi (transparancy) merupakan suatu conditio sine qua non.
Untuk memahami lebih jauh tentang konsep GG ini, mungkin sebaikanya, kita memfokuskan perhatian pada prinsip-prinsip yang terkandung didalamnya. Menurut Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) dalam Hardjasoemantri (2003), mengatakan bahwa, “kunci utama memahami good governance, adalah pemahaman atas prinsip-prinsip yang mendasarinya.” Bertolak dari prinsip-prinsip ini didapat tolok ukur kinerja suatu pemerintah.
Komponen ataupun prinsip yang melandasi GG, jelas sangat bervariasi dari satu institusi ke institusi lain, dari satu pakar ke pakar lainnya. Namun paling tidak, menurut Krina P. (2003), disebutkan adanya sejumlah indikator yang dianggap sebagai prinsip-prinsip utama yang melandasi GG, yaitu “(1) Transparansi; (2) Akuntabilitas; dan (3) Partisipasi Masyarakat.”
1)   Transparansi
Aturan dan prosedur transparan biasanya diberlakukan untuk membuat pejabat pemerintah bertanggung-jawab dan untuk memerangi korupsi. Bila rapat pemerintah dibuka kepada umum dan media massa, bila anggaran dan laporan keuangan bisa diperiksa oleh siapa saja, bila undang-undang, aturan, dan keputusan terbuka untuk didiskusikan, semuanya akan terlihat transparan dan akan lebih kecil kemungkinan pemerintah untuk menyalahgunakannya untuk kepentingan sendiri. Pemikiran yang gamblang ini, barangkali relevan untuk mendefinikan konsep transparansi.
Konsep transparansi didefinisikan oleh Hardjasoemantri (2003) bahwa, “seluruh proses pemerintah, lembaga-lembaga, dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.” Demikian juga oleh Krina P. (2003) yang mendefinisikan transparansi sebagai, “prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai.”
Dari pengertian transparansi yang dikemukakan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan pengertian bahwa, prinsip transparasi itu sesungguhnya dibangun atas informasi yang bebas. Bebas diakses oleh siapa saja yang membutuhkan, dan pemerintah berkewajiban untuk membeberkan informasi tersebut, terutama yang berkaitan dengan segala sesuatu yang diputuskan untuk dan/atau telah dilakukan dan tidak dilakukan untuk urusan publik. Kendati demikian, perlu diketengahkan bahwa, pemerintah yang transparan tidak saja berarti adanya keterbukaan informasi dan akses masyarakat, karena boleh jadi ada informasi yang asimetris, tetapi penekanannya lebih pada makna “tanggung jawab”. Tanggung jawab untuk memberikan informasi yang benar dan relevan kepada yang siapa saja yang membutuhkan atau kepada publik. Hal ini sejalan dengan pendapat Haryatmoko (2011:112) yang memberikan pemahamannya terhadap konsep transparasi bahwa, “organisasi pemerintah bisa mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan dengan memberi informasi yang relevan atau laporan yang terbuka terhadap pihak luar atau organisasi mandiri (legislator, auditor, publik) dan dipublikasikan.”
Dengan pemahaman demikian maka, sesungguhnya transparansi merupakan bentuk akuntabilitas pemerintah yang sangat rasional untuk menghadapi sistem ekonomi dan administrasi.
2)   Akuntabilitas
Di kebanyakan negara berkembang, perhatian utama terhadap GG dalam kaitan dengan penggunaan otoritas dan manajemen sektor publik adalah pervasifnya korupsi yang cenderung menjadi karakter tipikal yang melekat. Bahkan di beberapa negara terbukti bahwa budaya korupsi telah begitu melekat di dalam birokrasi pemerintah yang justru ditandai oleh kelangkaan sumber daya. Dalam konteks itu, absennya akuntabilitas sangat menonjol dan menjadi satu karakter dominan budaya administrasi selama periode tertentu.
Akuntabilitas (accountability) berarti “pemerintah harus bertanggung jawab secara moral, hukum dan politik atas kebijakan dan tindakan-tindakannya kepada rakyat” (Haryatmoko, 2011:106). Ini berarti akuntabilitas dipakai untuk mengukur atau menilai apakah “mandat rakyat” dijalankan dengan baik. Setidaknya ada tiga aspek penting yang ditekankan dalam pengertian akuntabilitas, yakni: (i) tekanan akuntabilitas pada pertanggungjawaban kekuasaan melalui keterbukaan pemerintah atau adanya akses informasi bagi pihak luar organisasi pemerintah (G.E. Caiden, 1988); (ii) memahami akuntabilitas sekaligus sebagai tanggung jawab dan liabilitas sehingga tekanan lebih pada sisi hukum, ganti rugi, dan organisasi” (J.G. Jobra, 1989); (iii) tekanan lebih pada hak warga negara untuk bisa mengoreksi dan ambil bagian dalam kebijakan publik sehingga akuntabilitas disamakan dengan transparansi (B. Guy Peters, 1989).
Dari tiga aspek tersebut di atas dapat dipahami bahwa akuntabilitas berarti kewajiban untuk memberikan pertanggung-jawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan pemerintah kepada pihak yang memiliki hak atau wewenang untuk meminta pertanggungjawaban atau keterangan. Melalui penerapan prinsip ini, suatu proses pengambilan keputusan atau kinerja dapat dimonitor, dinilai dan dikritisi oleh warga negara—karena pada prinsipnya kekuasaan bersumber dari rakyat. Akuntabilitas juga menunjukkan adanya traceableness yang berarti dapat ditelusuri sampai ke bukti dasarnya serta reasonableness yang berarti dapat diterima secara logis.
Ada tiga bentuk akuntabilitas menurut Guy Peters (1989) dalam Haryatmoko (2011:109), yakni:
(i) lucky.praja@gmail.comAkuntabilitas disamakan dengan transparansi: tuntutan terhadap organisasi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan;
(ii) Akuntabilitas dipahami dalam kerangka tanggung jawab, yaitu menjamin perilaku pejabat agar sesuai dengan deontologi yang mengatur pelayanan publik;
(iii) Akuntabilitas dipahami sebagai kemampuan merespon kebutuhan publik atau kemampuan pelayan publik bertanggungjawab terhadap pemimpin politiknya;
Dari tiga bentuk akuntabilitas ini, menurut penulis, lebih ditekankan pada bentuk pertama dan kedua. Sedangkan pada bentuk ketiga, meskipun penting karena sering bisa bertentangan mengenai kepentingan publik, hanyalah merupakan konsekuensi dari definisi pertama. Gagasan dasar akuntabilitas bertolak dari upaya memperluas lingkup partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan kebijakan publik.
3)   Partisipasi Masyarakat
Pemerintahan yang demokratis menekankan interaksi antara warga negara, wakil rakyat, dan mesin administrasi dengan memberi kesempatan kepada gagasan-gagasan khas warga negara untuk ikut mempengaruhi dan ambil bagian di dalam proses pengambilan kebijakan, pembangunan, dan pelayanan. Alasan perlunya keterlibatan masyarakat di dalam proses-proses tersebut berkenaan dengan distribusi public goods and services, dan sering terjadi penyalahgunaan seperti korupsi.
Korupsi disebabkan selain karena lemahnya integritas pejabat publik, juga disebabkan oleh sistem yang mengabaikan partisipasi dan pengawasan. Partisipasi dalam prinsip GG menurut i UNDP, yang dikutip oleh Batubara (2006), didefinisikan sebagai:
keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruksif.
Pengertian serupa juga diungkapkan oleh Krina P. (2003) yang menekankan pada “prinsip setiap orang memiliki hak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan di setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Keterlibatan dalam pengambilan keputusan dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung.”
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat dipahami bahwa, sesungguhnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, karena memang tujuan dari pembangunan itu berorientasi pada masyarakat itu sendiri, sebaiknya memang masyarakat sudah harus terlibat sejak awal yakni pada tahap pengambilan keputusan. Artinya bahwa ide dan gagasan mereka harus dapat diakomodir, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui perwakiannya. Sehingga dengan demikian masyarakat dapat bertanggungjawab untuk mengontrol segala tindakan yang diambil untuk implementasi keputusan; karena pada prinsipnya, menurut Sjamsuddin (2007:87) bahwa, “tanggung jawab masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap lembaga pemerintah merupakan wujud dari partisipasi masyarakat.”
Jadi partisipasi disini tidak saja berarti adanya keterlibatan masyarakat melalui suatu pemilihan umum, kontribusinya terhadap proses implementasi kegiatan pemerintahan dan pembangunan (baik fisik maupun non fisik), namun yang juga penting (bahkan lebih penting) adalah tanggungjawabnya untuk kontrol masyarakat itu sendiri terhadap pembangunan itu sendiri. Prinsipnya adalah seluruh lapisan masyarakat akan memperoleh hak dan kekuatan yang sama untuk menuntut atau mendapatkan bagian yang adil dari manfaat pembangunan. Hanya dengan demikian maka adigium demokrasi yang mengatakan pemerintah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dapat terwujud.
Pentingnya Penerapan Prinsip GG dan Indikator yang dipersyaratkan dalam LDP
Timor Leste sebagai negara baru yang berideologi demokrasi dalam era globalisasi, tentu saja akan berhadapan dengan tuntutan dunia (negara donor) yang cukup getol terhadap penyelenggaraan Good Governance (GG). GG selain merupakan tuntutan dari negara donor, juga dikarenakan prinsip demokrasi yang menghendaki adanya kekuasaan yang bersumber dari rakyat. Rakyat memiliki kebebasan untuk mengontrol pemerintah dan pemerintah bertanggungjawab untuk memberikan informasi yang benar dan relevan tentang performanya kepada masyarakat/raktyat, baik secara langsung maupun melalui representasinya.
Penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas dan partispasi masyarakat bertujuan untuk menghindari adanya penyalahgunaan kekuasaan/wewenang, seperti KKN yang selalu identik dengan kinerja struktur birokrasi pemerintah. Sjamsuddin (2007:94) mengatakan bahwa, “praktik korupsi yang merambah seluruh birokrasi pemerintah ini akarnya berada di departemen pemerintah yang mempunyai kekuasaan mengalokasikan keuangan negara, termasuk di perbankan.”
Tujuan diterapkannya prinsip-prinsip GG dalam LDP adalah untuk menciptakan struktur pemerintahan lokal yang amanah dan demokratis (good local governance) seperti yang disebutkan dalam Peraturan Menteri MAEOT No. 1/2010, tanggal 4 Pebruari 2010. Dalam lampiran 3 huruf E, disebutkan 11 indikator untuk mengukur kinerja pemerintahan District dalam implementasi LDP. Adapun 11 indikator (masih sederhana karena masih merupakan pilot program) tersebut merupakan syarat minimum condition yang harus dipenuhi dalam implementasi LDP adalah sebagai berikut:
a)   Akontabilidade (Akuntabilitas):
1.   Assembleia mantein tuir regulamentu nebe’e defini husi MAEOT (Dewan District yang dibentuk disesuaikan dengan Peraturan Menteri);
2.   Assembleia halo enkontru minimu dala haat iha tinan kotuk (Dewan District menyelenggarakan pertemuan rutin minimal 4 kali);
3.   Assembleia aprova planu investimentu no orsamentu anual iha tinan kotuk (Dewan District mengesahkan rencana belanja dan anggaran tahunan sebelum implementasi);
4.   Hala’o tuir Regulamentu Finansa FDL nian iha Tinan Fiskál agora (Rencana anggaran dan belanja disesuaikan dengan peraturan menteri tentang Local Development Fund atau LDF untuk tahun berjalan);
5.   Implementasaun orsamentu tinan kotuk nian hato’o ba Assembleia (Implementasi anggaran tahun lalu disampikan pada Dewan District);
6.   Relatorio auditorial tinan kotuk nian hato’o ba Assembleia (Laporan audit tahun lalu disampaikan pada Dewan District);
b)  Transparánsia (Transparansi):
7.  Planu investimentu no orsamentu anual ba Tinan Fiskál agora  nian taka iha kuadru aviso publiku (Rencana belanja dan anggaran tahun ini dismapaikan kepada publik melalui media atau ditempel di papan pengumuman);
8.   Minutas husi enkontru Assembleia nian tinan liu ba taka iha kuadru aviso publiku (Notolen rapat Dewan District tahun dipublikasikan);
9.  Tenderizasaun ba Tinan Fiskál agora nian fo-sai tuir regulamentu aprovizonamentu (Proses tenderisasi proyek dilakukan secara terbuka sesuai dengan peraturan procurament);
c)   Kontribuisaun Lokál (Partisipasi Masyarakat):
10. Kontribuisaun lokál ba atividade ne’ebé finansia ho FDL Tinan Fiskál agora apresia (Masyarakat memberikan apresiasi atau berkolaborasi terhadap kegiatan yang dibiayai dari LDF); 
11. Operasaun no Manutensaun ba investimentu hirak ne’ebé finansia ho FDL hala’o tuir (Turut menjaga kelestarian terhadap proyek yang dibiayai oleh LDF seperti operation and maintenance)
Semua indikator tersebut di atas kelihatannya masih sangat sederhana karena memang baru merupakan sebuah pilot dan juga urusannya masih belum rumit. Namun demikian, apabila indikator kinerja dalam LDP tersebut dilaksanan dengan sungguh-sungguh ditambahkan lagi dengan kemampuan dan integritas pelaksana birokrasi pada semua lini pemerintahan di Timor Leste, niscaya praktik KKN dapat eksis dalam tubuh pemerintah, serta tujuan utama dari LDP untuk mengurangi kemiskinan akan dapat benar-benar tercapai.
PEMBAHASAN
“Pemerintahan yang bersih adalah syarat kemajuan suatu bangsa. Pemerintahan yang korup menyebabkan kemiskinan,                   sumber diskriminasi, rentan konflik dan penyalahgunaan wewenang.”
(Haryatmoko, 2011:105).


Gambaran Singkat tentang LDP
Sebagai negara baru yang mencapai kemerdekaannya dalam dekade ini, dimana perkembangan dunia telah mengglobal, tentu saja dihadapkan pada tuntutan agar penyelenggaraan pemerintahan harus disesuaikan dengan perkembangan dunia tersebut. Perkembangan dunia saat ini menuntut agar penyelenggaraan pemerintahan harus dapat berperan lebih baik, demokratis, amanah (Good Governance atau GG). Peran pemerintah dalam perpektif GG adalah pemerintahan yang berasaskan pada prinsip (utama) transparansi, akuntabilibitas dan partisipasi, baik pada tataran central goverment maupun local government.
Sebagai respon terhadap amanat konstitusi RDTL, pasal 5 tentang desentralisasi dan pasal 72 tentang kewenangan [daerah], saat ini, pemerintah tengah mengupayakan untuk membentuk struktur pemerintahan lokal. Pemerintahan lokal yang diharapkan adalah bentuk pemerintahan yang dapat mencerminkan prinsip-prinsip good [local] governance. Upaya ini diusahakan melalui sebuah pilot program yang dinamakan Local Development Program (LDP). LDP dalam pelaksanaannya telah mengadopsi prinsip-prinsip utama GG tersebut, dengan tujuan selain untuk mendapatkan pelajaran yang relevan dapat berkontribusi terhadap formulasi kebijakan desentralisasi; juga untuk memacu integritas pejabat publik pada tataran birokrasi lokal sebelum desentralisasi yang akan dititikberatkan pada District sebagai Municipality benar-benar dapat diwujudkan dan dilaksanakan.
Sebagai pilot program untuk desentralisasi, desain struktur pemerintahan masih sangat sederhana, masih mengikut struktur administrasi District yang ada (sebagai eksekutif), ditambahkan dengan pembentukan District Assembly (sebagai legislatif). District Assembly (dalam LDP, sebagai cikal bakal legislatif daerah) yang sementara ini merupakan perwakilan masyarakat dari tiap-tiap suco/desa (Peraturan Menteri MAEOT No. 1/2010 pasal 2), dan lembaga ini sudah terbentuk sejak dan bahkan sebelum dilegalisasi melalui peraturan tersebut di atas.
Dengan terbentuknya struktur pemerintahan lokal (cikal bakal desentraisasi) berdasarkan Peraturan Menteri tersebut diharapkan kinerjanya akan dapat betul-betul mencerminkan prinsip-prinsip GG, dan yang terpenting adalah dapat menjawab tujuan utama dari LDP, yakni: (i) mengurangi angka kemiskinan, (ii) membuka lapangan kerja dan (iii) pengembangan kemampuan lider lokal dalam proses perencanaan dan implementasi.
Ethics Management: Tinjauan terhadap Implementasi LDP
Dengan dibentuknya struktur pemerintahan lokal dalam implementasi LDP berdasarkan Peraturan Menteri No.1/2010, baik eksekutif maupun legislatif, telah menunjukkan kinerja yang cukup relevan dengan arah kebijakan yang ditetapkan sebagai kewajiban yang harus dipatuhi. Namun demikian, kinerja LDP tidak saja dinilai dari kepatuhannya untuk melalukan sesuatu sesuai dengan standar yang telah ditetapkan melalui arah kebijakan tersebut (doing things right). Kinerja pemerintah yang diharapkan dalam LDP adalah mampu menunjukan kemampuan integritas yang tinggi dengan melakukan sesuatu sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal (doing the right things), serta dapat menunjukkan kemampuan kinerja secara transaparan, akuntabel dan dapat memacu partisipasi masyarakat lokal dalam setiap usaha pembangunan.
Usaha pemerintah dalam LDP ini sesungguhnya adalah untuk menanamkan etika instituisional yang berfokus pada modalitas dan tindakan integritas. Dalam bahasa yang lugas bahwa usaha pemerintah ini merupakan langkah positif untuk mengantisipasi akan munculnya tindakan KKN dalam institusi publik yang notabene dalam negara-negara yang telah lebih dahulu ada (eksis), baik negara maju maupun negara berkembang, praktik KKN selalu identik dengan kinerja birokrasi pemerintah—godaan untuk melakukan tindakan yang menyimpang dari prinsip administrasi (efektif, efisien dan ekonomis) ini selalu saja terjadi.
Kegagalan dalam implementasi LDP, terlepas dari setiap permasalahan yang disebutkan dalam BAB I, penulis lehih melihatnya dari segi etika birokrasi implemetor, yakni pada MAEOT sebagai owner dan District sebagai target.
Akuntabilitas dan Transparansi Dalam Pelaksanaan LDP
Salah satu sebab kurangnya akuntabilitas dan transparansi dalam birokrasi adalah karena adanya perbuatan KKN. Fenemena ini bukan tidak mungkin terjadi dalam implementasi LDP. Hal ini dikarenakan kurang memadainya infrastruktur etika untuk menjamin sistem akuntabilitas dan transparansi.
Ketidak-berhasilan implementasi LDP ini diukur, diantaranya melalui aspek tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh NGO Luta Hamutuk dan J4P (World Bank) sebagaimna dikemukakan dalam BAB I, merupakan sebuah bukti bahwa akuntabilitas dan transparansi yang merupakan landasan pelaksanaan LDP itu hanya merupakan sebuah retorika. Dikatakan retorika karena masih adanya pihak lebih dominan dalam pengambilan keputusan serta belum adanya mekanisme kontrol yang baik.
Adanya dominasi kekuasaan atas pihak lain, percisnya eksekutif terhadap legislatif ala LDP, adalah merupakan tindakan yang telah menyimpang dari tujuan LDP yang berlandaskan pada prinsip transparansi dan akuntabilitas. Tindakan ini yang disebut penyalahgunaan kekuasaan, dan yang terakhir ini biasanya dijadikan modus operandi KKN.
KKN dapat terjadi, selain karena kurangnya integritas pejabat publik juga dikarenakan tidak berimbangnya pengawasan yang tegas oleh District Assembly (DA)--sebagai cikal bakal legislatif di era desentralisasi nanti--terhadap pihak eksekutif. Dalam sistem LDP, yang merupakan pilot program untuk desentralisasi, representasi masyarakat dalam legislatif dipilih berdasarkan quota dari seluruh Suco [Desa] yang ada di tiap-tiap Sub District [Kecamatan] untuk kemudian ditetap menjadi anggota DA. Representasi masyarakat desa yang duduk sebagai anggota DA ini ternyata adalah para Kepada Desa dan Dewan Desa yang notabene berada dibawah kendali Bupati (eksekutif). Kalau ternyata anggota DA itu adalah para Kepala Desa dan Dewan Desa yang dapat dikendalikan oleh pihak eksekutif, bukan tidak mungkin untuk tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini dapat dibenarkan karena kekuasaan dalam birokrasi masih bersifat sentralistis dan sangat eksesif. Kalau kondisinya sudah demikian maka berlakulah kekuasaan yang absolut, dan jika kekuasaan absolut telah terjadi maka berlaku pula adigium politik “power tends to corrupt, absolute power tends to absolute corrupt.”
Korupsi dalam paper ini dapat dipahami sebagai ancaman yang membusukkan masyarakat melalui penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan (Haryatmoko, 2011:72). Merefer pada pengertian ini dan dengan merefleksikan pendapat Kolthoff (2007) tentang kriteria untuk mengukur integritas publik pejabat, mengafirmasi bahwa pejabat birokrasi pada pemerintahan lokal telah mempraktekkan perilaku yang tidak etis, kurang memiliki rasa kepedulian (responsiveness) sebagai bentuk solidaritas sosial yang seharusnya menjadi salah satu nilai penting, dan memang sudah harus menjadi tanggungjawabnya (responsibility) dalam pelayanan publik. Adapun yang amat menonjol adalah kewajiban untuk menyampaikan laporan ke hirarki pemerintah diatasnya sebagai bentuk responsibilitas dengan menafikan andil masyarakat yang amat besar terhadap eksistensi pemerintah RDTL.
Konstelasi demikian ini yang membuat aparat birokrasi di District dalam implementasi LDP menjadi tidak transparan, terutama kepada rakyat dan masyarakat pada umumnya. Aturan dan prosedur transparan sebenarnya telah disebutkan dalam lampiran Diploma Ministerial do MAEOT no.1/2010, bahwa semua keputusan yang telah terkait dengan anggaran dan laporan keuangan harus dipublikasikan baik melalui media massa maupun melalui sarana seperti papan pengumuman. Upaya ini dilakukan agar masyarakat dapat mengakses informasi secara bebas. Namun demikian hal ini, sebagian besar Distrik, melakukannya sehingga masyarakat cenderung terlihat lebih pasif terhadap implementasi LDP.
Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan LDP
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kontrol pemerintah yang dilakukan oleh masyarakat adalah wujud dari partisipasi itu sendiri. Masyarakat akan berpartisipasi secara memadai bila ada mekanisme kontrol yang baik. Kontrol pemerintah akan lebih efektif bila pemerintah mau menunjukkan tanggungjawabnya secara transparan.
Terdapat dua bentuk partisipasi masyarakat dalam LDP, yakni partisipasi perwakilan dan partisipasi langsung. Partisipasi perwakilan adalah bentuk partisipasi yang dilakukan melalui perwakilannya di DA yang berfungsi selain mengawasi pelaksanaan program dan proyek, juga ikut merencanakan, memutuskan dan mengesahkan usulan program dan kegiatan tahunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Partisipasi demikian yang juga disebut partisipasi tidak langsung. Sedangkan partisipasi langsung adalah keterlibatan masyarakat dalam LDP berupa tanggungjawab untuk menjaga dan memelihara kelestarian proyek pembangunan yang dibiayai dengan local development fund yang masih berbentuk block grant.
Dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Luta Hamutuk dan J4P disebutkan bahwa, ketidakberhasilan LDP juga disebabkan oleh kurangnya partisipasi masyarakat, baik melalui perencanaan maupun dalam bentuk kontrol. Disebutkan dalam laporannya bahwa, masyarakat kurang berpartisipasi secara efektif karena tidak melibatkan mereka dalam implementasi proyek fisik. Alasan ini menjustifikasi mengapa masyarakat tidak mau melakukan kontrol terhadap pelaksanaan LDP. Disebutkan juga bahwa, salah satu tujuan dari LDP adalah mengakses lapangan kerja justru dikerjakan oleh para kontraktor dan tenaga kerja yang telah disediakan oleh pemerintah pusat dan sanak famili dari pejabat pemerintahan District. Konstelasi demikian ini yang telah menjauhkan tujuan sesungguhnya dari pelaksanaan LDP menjadi obyek pembelajaran bagi desentralisasi KKN.
Dalam kondisi seperti ini, integritas pejabat publik dipertaruhkan, tidak saja pejabat dari pemerintahan District, namun pejabat birokrasi pada jajaran pemerintahan pusat (MAEOT). Kurangnya keseriusan untuk mendampingi proses pelaksanaan LDP turut berkontribusi terhadap kegagalan pelaksanaan LDP. Kegagalan tersebut telah berakibat pada adanya rasa sikap apatisme dari masyarakat dan cenderung merasa tidak memiliki setiap usaha pembangunan, utamanya yang tergolong dalam LDP.
PENUTUP
Demikian pokok-pokok bahasan tentang penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan LDP di Timor Leste. Dalam bahasan ini disimpulkan bahwa, keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan LDP akan sangat tergantung dari integritas pejabat publik pada tataran pemerintahan District. Kurangnya integritas pejabat publik akan melahirkan ajang baru bagi korupsi, kolusi dan nepotisme.
Oleh karena itu disarankan agar pemerintah lebih meningkatkan pengawasan dan proses pendampingan yang intensif terhadap pelaksanaan LDP, terutama pemerintah pusat dalam hal ini MAEOT sebagai owner. Upaya lain yang harus dilakukan adalah penyebarluasan informasi melalui sosialisasi dan pelatihan-pelatihan tentang etika untuk menanamkan responsivitas dan responsibilitas bagi aparat birokrasi pemerintah terkait dengan distribusi barang dan jasa publik.
DAFTAR PUSTAKA
Acara, Maurico, 2010, Laporan penelitian: Impementação Programa Desenvolvimento Local, Joint Research LUTA HAMUTUK with Justice for the Poor (J4P) World Bank
Batubara, Alwi Hasyim, 2006, Konsep Good Governance dalam Konsep Otonomi Daerah, Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3 Nomor 1, Januari-April
Denhart, Jenet V. and Robert B. Denhart, 2002, The New Public Service: Serving, not Steering, M.E. Sharpe, Armonk, New York, London, England
Diploma Ministerial No. 1/2010 konaba Assembleia Distrito
Hardjasoemantri, Koesnadi, 2003, Good Governance Dalam Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia, Makalah Untuk Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII di Bali, tanggal 15 Juli
Haryatmoko, 2011, Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi, PT Gramedia Pustaka Utama, Kompas Gramedia Building, Jakarta
Keban, Yerimias T., 2008, Enam Dimensi Administrasi Publik: Konsep, Teori dan Isu, Gava Gramedia, Yogyakarta
Krina P., Loila Lalolo, 2003, Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi & Partisipasi, Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta
Menzel, Donald C., 2007, Ethics Management for Public Administrators, M.E. Sharpe, Armonk, New York
Povo Maubere, 2011, Resultadu Peskiza Transparensia Internasional: Timor-Leste Nakonu ho Korupsaun neebe Sae A'at ba Bebeik, tanggal 14 dan 16 Desember. www.povumaubere.com. downloaded 27 Desember 2011
Sjamsuddin, Sjamsiar, 2007, Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Sektor Publik, Yayasan Pembangunan Nasional bekerjasama dengan CV. SOFA Mandiri dan Indonesia Print, Malang
Surajiwo, 2009, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Bumi Aksara, Jakarta
Tjokrowinoto, Moeljarto. et al. 2011, Birokrasi dalam Polemik, Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Universitas Muhammadiah Malang, Malang