APLIKASI PRINCIPLE-AGENT THEORY DALAM
PENGANGGARAN KEUANGAN PUBLIK
(Kajian
tentang Hubungan dan Masalah Keagenan Antara Legislatif dan Eksekutif di
Timor-Leste)
Oleh:
Lucio Borromeo de Araujo
(Mahasiswa Program Magister Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Brawijaya, Malang)
Abstrak
Tulisan ini akan menyajikan hubungan dan masalah keagenan, antara eksekutif dan legislatif, yang dideskripsikan dengan
teori keagenan. Dengan memandang dari konsep ini, diperoleh gambaran bahwa, konsep
perwakilan (representativeness) dalam penganggaran
tidak sepenuhnya berjalan ketika kepentingan publik tidak terbela seluruhnya
oleh karena adanya perilaku oportunistik (moral
hazard) dan/atau adanya perilaku budget
maximizer (adverse selection).
Kata Kunci: Keagenan, Eksekutif,
Legislatif, Anggaran Publik
A.
Pendahuluan
Semenjak
Timor-Leste memperoleh kemerdekaannya pasca referendum yang diselenggarakan
oleh PBB, sejak itu pula Timor-Leste telah menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD)
yang dikenal dengan Constituição da RDTL,
sebagai landasan konstitusional. Konstitusi (UUD) RDTL yang ditetapkan pada
tanggal 22 Maret 2002 tersebut, secara eksplisit telah mengatur lembaga
kekuasaan negara yang secara tersurat disebutkan dalam pasal 67. Adapun menurut
pasal tersebut disebutkan adanya empat
(4) lembaga kekuasaan negara yang meliputi: Prezidente
da Repúblika (Presiden Republik), Parlamentu
Nasionál (Parlemen Nasional), Governu
(Pemerintah) dan Tribunal sira
(Kehakiman).
Presiden
Republik (PR) merupakan lembaga tertinggi negara yang juga sebagai simbol
kesatuan dan kedaulatan bangsa. Dalam pasal 74 disebutkan bahwa PR adalah
merupakan kepala negara (74 ayat 1) dan Kepala tertinggi Agkatan Bersenjata (pasal
74 ayat 2). Sementara Parlemen Nasional yang juga sebagai lembaga tinggi negara
ini adalah merupakan organ legislatif (pasal 92); dan organ pemerintah yang dikepalai
oleh seorang Perdana Menteri (PM) atau Kepala Pemerintahan, dalam pasal 103 merupakan
lembaga eksekutif. Sedangkan Kehakiman adalah lembaga tinggi negara yang
mengurus tentang tentang hal-hal yang menyangkut judicial (pasal 118).
Berdasarkan
pada pasal-pasal tersebut, peluang untuk melakukan kajian dengan menggunakan
perspektif keagenan (agency theory)
terbuka lebar. Hubungan keagenan yang dikaji dalam peper ini lebih difokuskan
pada masalah dan hubungan antara legislatif dan eksekutif, karena pada
prinsipnya kedua institusi/lembaga negara ini memiliki tanggungjawab kinerja yang
berdampak secara luas terhadap kinerja pelayanan publik.
Sehubungan
dengan itu, dalam UUD tersebut telah memisahkan dengan tegas antara kewenangan
pemerintah (eksekutif) dalam pasal 107 dengan kewengan parlemen nasional (legislatif) dalam pasal 95. Berdasarkan
pembedaan kewenangan ini, eksekutif melakukan fungsi perencanaan, pelaksanaan,
dan pelaporan atas anggaran pemerintah, yang merupakan manifestasi dari
pelayanan kepada publik (pasal 115 huruf d, dan pasal 116 huruf f); sedangkan
legislatif berperan aktif dalam melaksanakan legislasi (pasal 95 ayat 1 dan 2),
penganggaran serta pengawasan (pasal 95 ayat 3 huruf b dan d).
Berdasarkan
UUD itu pula legislatif-- melalui partai pemenang pemilu atau partai pemerintah
dan/atau koalisi partai yang mengusung Pemerintahan--memiliki kewenangan untuk
mengusulkan calon Perdan Menteri kepada Presiden untuk diangkat (pasal 85 huruf
d), dan secara tidak langsung dapat membubarkan pemerintah—apabila program yang
diusulkan oleh pemerintah secara berturut-turut (dua kali) ditolak (pasal 86
huruf g). Memperhatikan penjelasan menurut pasal-pasal tersebut, meskipun dalam
pasal sebelumnya (pasal 67) bahwa mereka sama-sama merupakan lembaga tinggi
negara, namun menurut kajian ini terlihat adanya posisi yang tidak seimbang
antara eksekutif dan legislatif, di mana legislatif memiliki kekuasaan yang
lebih tinggi.
Dalam hal demikian
juga dapat berarti, legislatif mendelegasikan suatu kewenangan kepada
pemerintah yang dipilihnya dengan konsekuensi dapat diberhentikan apabila
pemerintah (PM) tidak mampu melaksanakan kewenangan tersebut seperti yang
diinginkan oleh legislatif. Dengan demikian, kemitraan yang dimaksud dalam UUD
tersebut bukanlah kemitraan yang sepenuhnya sejajar. Dalam literatur ilmiah,
baik dalam disiplin ilmu ekonomi (termasuk akuntansi), politik, maupun
keuangan, hubungan seperti ini disebut hubungan keagenan. Dalam hubungan
keagenan, terdapat dua pihak yang melakukan kesepakatan atau kontrak, yakni
yang memberikan kewenangan atau kekuasaan (disebut principal) dan yang menerima kewenangan (disebut agent). Dalam suatu organisasi hubungan
ini berbentuk vertikal, yakni antara pihak atasan (sebagai principal) dan pihak bawahan (sebagai agent). Teori tentang hubungan kedua pihak tersebut populer dikenal
sebagai teori keagenan.
Tulisan ini
menganalisis pengaplikasian teori keagenan, yang menjadi mainstream dalam ilmu ekonomi (termasuk ilmu akuntansi) dan ilmu
politik di pemerintahan Timor Leste.
B. Pengertian Teori Keagenan
Teori yang
menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya berakar pada teori
ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori prinsipal-agen
menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok,
atau organisasi. Salah satu pihak (principal)
membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit dengan pihak lain
(agent), dengan harapan bahwa agen
akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang dinginkan oleh prinsipal (dalam
hal ini terjadi pendelegasian wewenang). Lupia & McCubbins (2000)
menyatakan pendelegasian terjadi ketika seseorang atau satu kelompok orang (principal) memilih orang atau kelompok
lain (agent) untuk bertindak sesuai
dengan kepentingan prinsipal.
Hubungan
prinsipal-agen terjadi apabila tindakan yang dilakukan seseorang memiliki
dampak pada orang lain atau ketika seseorang sangat tergantung pada tindakan
orang lain (Stiglitz, 1987 dan Pratt & Zeckhauser, 1985 dalam Gilardi,
2001). Pengaruh atau ketergantungan ini diwujudkan dalam
kesepakatan-kesepakatan dalam struktur institusional pada berbagai tingkatan,
seperti norma perilaku dan konsep kontrak.
Menurut Lane
(2003a) teori keagenan dapat diterapkan dalam organisasi publik. Ia menyatakan
bahwa negara demokrasi modern didasarkan pada serangkaian hubungan
prinsipal-agen (Lane, 2000:12-13). Hal senada dikemukakan oleh Moe (1984) yang
menjelaskan konsep ekonomika organisasi sektor publik dengan menggunakan teori
keagenan. Bergman & Lane (1990) menyatakan bahwa rerangka hubungan
prinsipal-agen merupakan suatu pendekatan yang sangat penting untuk
menganalisis komitmen-komitmen kebijakan publik. Pembuatan dan penerapan
kebijakan publik berkaitan dengan masalah-masalah kontraktual, yakni informasi
yang tidak seimbang (asymmetric
information), moral hazard, dan adverse selection.
Petrie
(2002) mendefinisikan moral hazard
dan adverse selection sebagai
berikut:
Moral hazard refers to the tendency of an agent, after
the contract is entered into, to shirk or otherwise not fully seek to promote
the principal’s interests. Adverse selection refers to the inability of a
principal to determine, before the contract is entered into, which among
several possible agents is most likely to promote the principal’s interests;
and, given this imperfect information, the tendency for candidates with less
than average motivation or qualifications to apply.
Selanjutnya Gilardi (2001) menyatakan, bahwa:
Adverse selection (or ex-ante opportunism, or hidden
information) occurs whenever the principal cannot be sure that he is selecting
the agent that has the most appropriate skills or preferences and moral hazard
(or ex-post opportunism, or hidden action) occurs whenever the agent’s actions
cannot be perfectly monitored by the principal.
Sementara itu menurut Lane (2003b): Adverse
selection meaning opportunism before the making of the contract between
principal and agent, moral hazard meaning opportunism after the making of the
contract between principal and agent.
Menurut Carr
& Brower (2000), model keagenan yang sederhana mengasumsikan dua pilihan
dalam kontrak: (1) behavior-based,
yakni prinsipal harus memonitor perilaku agen dan (2) outcome-based, yakni adanya insentif untuk memotivasi agen untuk
mencapai kepentingan prinsipal. Para teoretisi berpegang pada proposisi bahwa, agents behave opportunistically toward
principals. Oportunisme bermakna bahwa ketika terjalin kerjasama antara
prinsipal dan agen, kerugian prinsipal karena agen mengutamakan kepentingannya
(agent self-interest) kemungkinan
besar akan terjadi.
Menurut
Andvig et al. (2001) principal-agent
model merupakan rerangka analitik yang sangat berguna dalam menjelaskan
masalah insentif dalam institusi publik dengan dua kemungkinan kondisi, yakni
(1) terdapat beberapa prinsipal dengan masing-masing tujuan dan kepentingan
yang tidak koheren dan (2) prinsipal juga bisa bertindak tidak sesuai dengan
kepentingan masyarakat, tetapi mengutamakan kepentingannya yang sifatnya lebih
sempit. Lebih jauh, Christensen (1992) menyatakan teori prinsipal-agen dapat
menjadi alat analitis untuk penyusunan dan pengimplementasian anggaran publik.
Sejalan
dengan pendapat Christensen (1992), Smith & Bertozzi (1998) berpandangan
bahwa
Because implicit and explicit contractual relationship
pervade the entire budget making process, principal-agent theory can make a
major contribution toward developing more inclusive and accurate models of most
stages of public budgeting… The application of principal-agent models by
practitioners offers a more powerful analytic tool for both preparing and
implementing public budget.”
Menurut Moe (1984), di pemerintahan terdapat suatu
keterkaitan dalam kesepakatan-kesepakatan principal-agent
yang dapat ditelusuri melalui proses anggaran: pemilih-legislatur,
legislatur-pemerintah, menteri keuangan-pengguna anggaran, perdana
menteri-birokrat, dan pejabat-pemberi pelayanan. Hal yang sama dikemukakan juga
oleh Gilardi (2001) dan Strom (2000), yang melihat hubungan keagenan sebagai
hubungan pendelegasian (chains of
delegation), yakni pendelegasian dari masyarakat kepada wakilnya di
parlemen, dari parlemen kepada pemerintah, dari pemerintah sebagai satu
kesatuan kepada seorang menteri, dan dari pemerintah kepada birokrasi. Hubungan
tersebut tidaklah selalu mencerminkan hirarki, tetapi dapat saja berupa
hubungan pendelegasian, seperti yang dinyatakan oleh Andvig et al. (2001)
berikut:
Principal-agent models are sometimes constructed for
situations where the P-A relationship is not established within a given
hierarchy, but where A may be a head of one and P represents another that in
some sense has a superior role. For example, a parliament is often considered
as the principal of the public bureaucracy, and the voters the principal of the
parliament, and so on.”
Secara umum dapat dikatakan bahwa delegation is certainly problematic and entails danger (Lupia &
McCubbins, 2000). Dalam demokrasi modern, setidaknya terdapat empat ciri
pendelegasian (Lupia & McCubbins, 2000), yakni: (1) adanya prinsipal dan
agen, (2) kemungkinan terjadinya konflik kepentingan, (3) adanya asimetri
informasi, dan (4) prinsipal kemungkinan dapat mengurangi masalah keagenan.
Prinsipal sendiri harus mengeluarkan biaya (costs)
untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam memonitor kinerja agents dan untuk menentukan struktur
insentif dan monitoring yang efisien (Petrie, 2002).
Asumsi-asumsi
keperilakuan (behavioural assumptions)
dalam teori public choice menyatakan
bahwa politisi terutama berkepentingan dengan memaksimalkan prospek untuk
dipilih kembali dan birokrat terutama berkepentingan dengan memaksimalkan
kenikmatan (enjoyment), yang berasal
dari pemanfaatan fasilitas tempat kerja (misalnya: prestise dan pengaruh). (Von
Hagen, 2002).
C.
Hubungan Keagenan antara Eksekutif dan Legislatif
Dalam
hubungan keagenan di pemerintahan antara eksekutif dan legislatif; eksekutif
adalah agen dan legislatif adalah prinsipal (Halim, 2002a; Fozzard, 2001; Moe,
1984). Seperti dikemukakan sebelumnya, di antara prinsipal dan agen senantiasa
terjadi masalah keagenan. Oleh karena itu, persoalan yang sering timbul di
antara eksekutif dan legislatif juga merupakan persoalan keagenan.
Lupia &
McCubbins (1994) menyatakan bahwa masalah yang dihadapi legislatur dapat
diartikan sebagai fenomena yang disebut agency
problems. Agency problems atau
masalah keagenan paling tidak melibatkan dua pihak, yakni prinsipal, yang
memiliki otoritas untuk melakukan tindakan-tindakan; dan agen, yang menerima
pendelegasian otoritas dari prinsipal. Dalam konteks pembuatan kebijakan oleh
legislatif, legislatur adalah prinsipal yang mendelegasikan kewenangan kepada
agen seperti pemerintah atau panitia di legislatif untuk membuat kebijakan
baru. Hubungan keagenan di sini terjadi setelah agen membuat usulan kebijakan
dan berakhir setelah usulan tersebut diterima atau ditolak.
Johnson
(1994:5) menyebut hubungan eksekutif atau birokrasi dengan legislatif atau
kongres dengan nama self-interest
model. Dalam hal ini, legislators ingin dipilih kembali, birokrat ingin
memaksimumkan anggarannya, dan konstituen ingin memaksimumkan utilitasnya. Agar
terpilih kembali, legislators mencari program dan projects yang membuatnya populer di mata konstituen. Birokrat
mengusulkan program-program baru karena ingin agency-nya berkembang dan konstituen percaya bahwa mereka menerima benefits dari pemerintah tanpa harus
membayar biayanya secara penuh.
Hubungan
keagenan eksekutif-legislatif juga dikemukakan oleh Andvig et al. (2001) dan
Lupia & McCubbins (2000). Sebagai Prinsipal, legislatif dapat juga
berperilaku moral hazard atau dalam
merealisasikan self-interest-nya (Elgie & Jones, 2001) seperti
berlaku korup (corrupt principals)
(Andvig et al., 2001). Menurut Colombatto (2001), adanya discretionary power di salah satu pihak akan menimbulkan
pelanggaran atas kontrak keagenan, seperti terjadinya perilaku rent-seeking dan korupsi.
Dalam
konteks penyusunan anggaran, usulan yang diajukan oleh eksekutif memiliki
muatan mengutamakan kepentingan eksekutif (Smith & Bertozzi, 1998).
Eksekutif mengajukan anggaran yang dapat memperbesar agency-nya, baik dari segi finansial maupun nonfinansial. Sementara
Keefer & Khemani (2003), Mauro (1998), dan Von Hagen (2002) secara implisit
menyatakan bahwa anggaran juga dipergunakan oleh legislatif (politisi) untuk
memenuhi self-interest-nya. Pada
akhirnya keunggulan informasi yang dimiliki oleh eksekutif yang dipergunakan
untuk menyusun rancangan anggaran akan berhadapan dengan keunggulan kekuasaan (discretionary power) yang dimiliki oleh
legislatif.
D.
Hubungan Keagenan antara Legislatif dan Publik
Dalam
hubungan keagenan antara legislatif dan publik (voters), legislatif adalah agen dan publik adalah prinsipal
(Fozzard, 2001; Lane, 2000:13; Moe, 1984). Lupia & McCubbins (2000)
menyatakan: citizens are principals who
elect representatives to serve as their agents in parliament, sementara
Andvig et. al. (2001) menyatakan “the
voters are the principal of the parliament.
Dalam hal
pembuatan kebijakan, Von Hagen (2003) berpendapat bahwa hubungan prinsipal-agen
yang terjadi antara pemilih (voters)
dan legislatif pada dasarnya menunjukkan bagaimana voters memilih politisi untuk membuat keputusan-keputusan tentang
belanja publik untuk mereka dan mereka memberikan dana dengan membayar pajak.
Ketika legislatif kemudian terlibat dalam pembuatan keputusan atas
pengalokasian belanja dalam anggaran, maka mereka diharapkan mewakili
kepentingan atau preferensi prinsipal atau pemilihnya.
Pada
kenyataannya legislatif sebagai agen bagi publik tidak selalu memiliki
kepentingan yang sama dengan publik, seperti dinyatakan oleh Groehendijk (1997)
berikut ini:
Without doubt, the relationship between voters and
politicians in a representative democracy can be considered to be a principal-agent
relationship. Voters want politicians to look after their interests, and in
exchange provide these politicians with their votes and thus with positions. Of
course, politicians have their own interests, which may diverge from the
voters’ interests.
Lupia & McCubbins (2000) mengingatkan bahwa
pendelegasian memiliki konsekuensi tidak terkontrolnya keputusan agen oleh
prinsipal dalam hubungan legislatif-publik. Mereka menyebutnya abdikasi (abdication), yakni adanya kondisi di
mana agen tidak dipagari dengan aturan bagaimana tindakan mereka berpengaruh
terhadap kepentingan prinsipal. Dalam hal ini pemilih (voters) dicirikan sebagai pihak yang tidak perduli atau tidak
berkeinginan untuk mempengaruhi perwakilan (anggota legislatif) yang mereka
pilih. Di sisi lain, legislatur dicirikan sebagai pihak yang tidak memiliki
waktu, inklinasi (inclination), dan
pengetahuan untuk mengetahui seluruh kebutuhan publik. Stereotypes inilah yang menyebabkan terjadinya abdikasi, yakni
keterwakilan yang tidak memberikan manfaat apa-apa bagi pemilih (prinsipal)
atau pihak yang diwakili.
Kedudukan
legislatif atau parlemen sebagai agen dalam hubungannya dengan publik
menunjukkan bahwa legislatif memiliki masalah keagenan karena akan berusaha
untuk memaksimalkan utilitasnya (self-interest)
dalam pembuatan keputusan yang terkait dengan publik. Persoalan abdication menjadi semakin nyata ketika
publik tidak memiliki sarana atau institusi formal untuk mengawasi kinerja
legislatif, sehingga perilaku moral
hazard legislatif dapat terjadi dengan mudah.
Menurut Von
Hagen (2003), politisi yang terpilih bisa saja berlaku oportunistik dan
karenanya voters berkeinginan
menghilangkan peluang untuk mendapat
rents dengan membuat politisi terikat pada suatu aturan yang menentukan apa
yang dapat atau harus mereka lakukan pada kondisi tertentu. Akan tetapi,
membuat aturan untuk sesuatu yang tidak jelas (unforeseen development) dan kompleskitas situasi yang dihadapi
menyebabkan kontrak yang sempurna tidak mungkin dibuat. Politisi juga tidak
akan dapat memenuhi semua janji yang dibuatnya selama kampanye pemilihan. Oleh
karena itu, seperti halnya dalam bentuk hubungan keagenan yang lain, hubungan
keagenan antara pemilih (voters)
dengan politisi dapat dipandang sebagai incomplete
contract (Seabright, 1996).
E.
Hubungan Keagenan dalam Penyusunan Anggaran Publik di Timor-Leste
Pada
pemerintahan, peraturan perundang-undangan secara implisit merupakan bentuk
kontrak antara eksekutif, legislatif, dan publik. Dalam peraturan tersebut
dinyatakan semua kewajiban dan hak pihak-pihak yang terlibat dalam
pemerintahan. Beberapa aturan yang secara eksplisit merupakan manifestasi dari
teori keagenan adalah:
1. Konstitusi RDTL yang mengatur diantaranya hubungan
kewenangan pemerintah (eksekutif) dan kewenangan parlemen nasional
(legislatif). Eksekutif (Perdana Menteri) diusulkan oleh legislatif (parlemen)
untuk kemudian diangkat oleh Presiden Republik, dan secara tidak langsung dapat
memberhentikan atau membubarkan pemerintah bila dalam usulan program tahunan,
secara berturut-turut (dua kali) tidak mendapatkan apresiasi dari parlemen
(mosi tidak percaya).
2. Lei
(Undang-Undang) No. 1/II de 14 de Fevereiro, Aprova o Orçamento Geral do Estado da República Democrática de
Timor-Leste para 2011 (pengesahan keuangan negara RDTL untuk tahun 2011). Undang-undang ini mengatur lebih jauh tentang
manajemen keuangan publik oleh pemerintah serta penggunaannya (anggaran
pendapatan belanja negara). Dalam UU ini pula disebutkan beberapa item penting
yang menjadi pendapatan negara dan itu harus dilaporkan kepada parlemen
bersamaan dengan usulan progran yang hendak dibelanjakan dengan anggaran
pendapatan tersebut untuk dibahas. Artinya parlemen (legislatif) memiliki
kewenagan penuh untuk mengontrol setiap aktivitas pemerintah.
3. Lei (Undang-Undang) No. 13/2009 de 21 de Outubro sobre Orçamento e Gestão Financeira
(Anggaran dan Manajemen Keuangan). Undang-undang ini mengatur tentang beberapa
poin berikut:
- The general and common framework for the State Budget;
- The rules and procedures concerning the organization, drafting, presentation, discussion, voting, alteration and execution of the State Budget and the corresponding budget verification and accountability;
- The rules and procedures concerning guarantees and loans granted to the State or granted by the State;
- The rules concerning the organization, drafting and presentation of the annual report on State accounts;
- The rules and procedures to be applied in the financial management of the State;
Anggaran negara/publik merupakan rencana keuangan yang
menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Timor-Leste dokumen
anggaran publik yang disebut Orcamento
Geral do Estado (OGE) atau anggaran umum negara ini memuat tentang
manajemen anggaran pendapatan dan belanja negara. Proses penyusunan anggaran
pendapatan dan belanja tersebut dilakukan oleh pemerintah (eksekutif) dalam
bentuk proposal (pasal 29 UU No. 13/2009) untuk diajukan kepada kepada parlemen
nasional (legislatif) untuk kemudian dipelajari, dibahas dan disetujui (pasal
30 ayat 1 UU No. 13/2009) sebelum diajukan kepada Presiden Republik untuk
disahkan.
Dalam
perspektif keagenan, hal ini merupakan bentuk kontrak (incomplete contract), yang menjadi alat bagi legislatif untuk
mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif.
F.
Masalah Keagenan di Eksekutif
Eksekutif
memiliki keunggulan dalam hal penguasaan informasi dibanding legislatif
(asimetri informasi). Keunggulan ini bersumber dari kondisi faktual bahwa
eksekutif adalah pelaksana semua fungsi pemerintahan dan berhubungan langsung
dengan masyarakat dalam waktu sangat lama. Eksekutif memiliki pemahaman yang
lebih baik tentang birokrasi dan administrasi serta peraturan
perundang-undangan yang mendasari seluruh aspek pemerintahan. Oleh karena itu,
anggaran untuk pelaksanaan pelayanan publik diusulkan untuk dialokasikan dengan
didasarkan pada asumsi-asumsi sehingga memudahkan eksekutif memberikan
pelayanan dengan baik. Eksekutif akan memiliki kecenderungan mengusulkan
anggaran belanja yang lebih besar dari yang aktual terjadi saat ini (asas
maksimal). Sebaliknya untuk anggaran pendapatan, eksekutif cenderung
mengusulkan target yang lebih rendah (asas minimal) agar ketika realisasi
dilaksanakan, target tersebut lebih mudah dicapai. Usulan anggaran yang
mengandung slack seperti ini
merupakan gambaran adanya asimetri informasi antara eksekutif dan legislatif. Slack tersebut terjadi karena agen
(eksekutif) menginginkan posisi yang relatif aman dan nyaman dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya.
Proses
penyusunan anggaran negara diawali dari rencana pelayanan yang akan diberikan
oleh pemerintah. Pemilihan pelayanan (dalam bentuk kegiatan) direncanakan
secara keseluruhan inisiatif terbesar ada di pihak eksekutif. Eksekutif
kemudian mengalokasikan anggaran untuk setiap kegiatan, program, dan prioritas
anggaran. Rangkuman usulan kegiatan dan anggarannya ini kemudian disampaikan
kepada legislatif untuk dibahas dan disetujui untuk kemudian disahkan menjadi
undang-undang.
Realisasi
perilaku oportunistik eksekutif dalam mengusulkan anggaran belanja ini, diantaranya
adalah:
·
Mengusulkan kegiatan yang sesungguhnya tidak menjadi
prioritas.
· Mengusulkan kegiatan yang memiliki lucrative opportunities (peluang untuk
mendapatkan keuntungan pribadi) yang besar.
·
Mengalokasikan komponen belanja yang tidak penting
dalam suatu kegiatan.
·
Mengusulkan jumlah belanja yang terlalu besar untuk
komponen belanja dan anggaran setiap kegiatan.
·
Memperbesar anggaran untuk kegiatan yang sulit diukur
hasilnya.
G.
Masalah Keagenan di Legislatif
Perilaku oportunistik
legislatif dapat terjadi pada dua posisi, yakni sebagai prinsipal dan juga
sebagai agen. Sebagai prinsipal bagi eksekutif, legislatif dapat meralisasikan
kepentingannya dengan membuat kebijakan yang seolah-olah merupakan kesepakatan
di antara kedua belah pihak, tetapi menguntungkan legislatif dalam jangka
panjang, baik secara individual maupun institusional. Melalui discretionary power yang dimilikinya,
legislatif dapat mengusulkan kebijakan yang sulit untuk ditolak oleh eksekutif,
meskipun usulan tersebut tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik dan
fungsi legislatif.
Sebagai agen
bagi publik (pemilih), perilaku oportunistik legislatif lebih kelihatan jelas.
Dalam penganggaran, legislatif semestinya membela kepentingan pemilihnya dengan
mengakomodasi kebutuhan publik dalam anggaran. Usulan kegiatan yang akan
dibiayai dengan anggaran publik seharusnya didasarkan pada permasalahan dan
kebutuhan masyarakat yang terindetifikasi ketika legislatif turun ke lapangan
melakukan penjaringan aspirasi masyarakat.
Ada dua
kondisi yang dimanfaatkan oleh legislatif untuk merealisasi perilaku
oportunistiknya dalam proses penyusunan anggaran. Pertama, secara eksplisit berhubungan dengan anggaran legislatif
dan kedua, melalui anggaran untuk
pelayanan publik dalam bentuk “titipan”. Pada kondisi pertama, legislatif
mengusulkan anggaran yang meningkatkan pengahasilannya sehingga dapat memenuhi self-interest-nya dalam jangka pendek.
Hal ini memunculkan political corruption
atas anggaran (Garamfalvi, 1997). Sementara pada kondisi kedua, self-interest dalam jangka panjang ingin
dicapai. Usulan anggaran yang diperjuangkan adalah yang megharumkan nama
politisi di wilayah tertentu, sehingga cenderung pada usulan yang targetable atau hasilnya kelihatan jelas
oleh masyarakat. Akibatnya, pembangunan cenderung tersentralisasi pada daerah
tertentu yang merupakan wilayah pemilihan politisi yang powerful di legislatif. Masyarakat sulit melihat dan memahami
kecenderungan ini.
H.
Kesimpulan
Hubungan dan masalah keagenan dalam penganggaran
antara eksekutif dan legislatif merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam
kajian tentang keuangan (termasuk akuntansi) publik, politik penganggaran, dan
ekonomika publik. Eksekutif merupakan agen bagi legislatif dan publik (dual accountability) dan legislatif
merupakan agen bagi publik. Konsep perwakilan (representativeness) dalam penganggaran tidak sepenuhnya berjalan
ketika kepentingan publik tidak terbela seluruhnya oleh karena adanya perilaku
oportunistik (moral hazard) oleh legislatif.
Di sisi lain, eksekutif sebagai agen cenderung menjadi budget maximizer karena berperilaku oportunistik (adverse selecation dan moral hazard sekaligus).
Daftar Bacaan
Abdullah, Syukriy. 2004. Perilaku oportunistik
legislatif dalam penganggaran daerah: Pendekatan principal-agent theory. Makalah
disajikan pada Seminar Antarbangsa di Universitas Bengkulu, Bengkulu, 4-5
Oktober 2004
Andvig, Jens Chr., Odd-Helge Fjeldstad, Inge Amundsen,
Tone Sissener & Tina Soreide. 2001. Corruption A Review of Contemporary
Research. Chr. Michelsen Institute Development Studies and Human Rights
Report. 2001: 7
Carr, Jered B. & Ralph S. Brower. 2000. Principled
opportunism: Evidence from the organizational middle. Public Administration
Quarterly (Spring): 109-138
Christensen, Jorgen Gronnegard. 1992. Hierarchical and
contractual approaches to budgetary reform. Journal of Theoretical Politics 4(1):
67-91
Colombatto, Enrico. 2001. Discretionary power,
rent-seeking and corruption. University di Torino & ICER, working paper
Douglas, P.C. & B. Wei. 2000. Integrating ethical
dimension into a model of budgeting slack creation. Journal of Business
Ethics 28: 267-278
Elgie, Robert & Erik Jones. 2000. Agents,
Principals and the Study of Institutions: Constructing a Principal-Centered
Account of Delegation. Working documents in the Study of European Governance
Number: 5. Center for the Study of European Governance (CSEG)
Fozzard, Adrian. 2001. The basic budgeting problem:
Approaches to resource allocation in the public sector and their implications
for pro-poor budgeting. Center for Aid and Public Expenditure, Overseas
Development Institute (ODI). Working paper 147
Garamfalvi, L. 1997. Corruption in the public
expenditures management process. Paper presented at 8th International
Anti-Corruption Conference, Lima, Peru, 7-11 September
Gilardi, Fabrizio. 2001. Principal-agent models go to
Europe: Independent regulatory agencies as ultimate step of delegation. Paper
presented at the ECPR General Conference, Canterbury (UK), 6-8 September
2001
Groehendijk, Nico. 1997. A principal-agent model of
corruption. Crime, Law & Social Change 27: 207-229
Halim, Abdul. 2002. Analisis varian pendapatan asli
daerah dalam laporan perhitungan anggaran pendapatan dan belanja daerah
kabupaten/kota di Indonesia. Universitas Gadjah Mada. Disertasi
Johnson, Cathy Marie. 1994. The Dynamics of
Conflict between Bureaucrats and Legislators. Armonk, New York: M.E. Sharpe
Keefer, Philip & Stuti Khemani. 2003. The
political economy of public expenditures. Background paper for WDR 2004:
Making Service Work for Poor People. The World Bank
Lane, Jan-Erik. 2000. The Public Sector – Concepts,
Models and Approaches. London: SAGE Publications
---------------. 2003a. Management and public
organization: The principal-agent framework. University of Geneva and National
University of Singapore. Working paper
---------------. 2003b. Relevance of the
principal-agent framework to public policy and implementation. University of
Geneva and National University of Singapore. Working paper
Lupia, Arthur & Mathew McCubbins. 1994. Who
controls? Information and the structure of legislative decision making. Legislative
Studies Quarterly 19(3):361-384
Lupia, Arthur & Mathew McCubbins. 2000.
Representation or abdication? How citizens use institutions to help delegation
succeed. European Journal of Political Research 37: 291-307
Mauro, Paolo. 1998. Corruption: Causes, consequences,
and agenda for further research. Finance & Development (March): 11-14
Moe, T. M. 1984. The new economics of organization. American
Journal of Political Science 28(5): 739-777.
Petrie, Murray. 2002. A framework for public sector
performance contracting. OECD Journal on Budgeting 2: 117-153
Ross, Stephen A. 1973. The economic theory of agency:
The principal’s problem. American Economic Review 63(2): 134-139
Rubin, Irene S. 1993. The Politics of Public
Budgeting: Getting and Spending, Borrowing and Balancing. Second edition.
Chatam, NJ: Chatham House Publishers, Inc.
Seabright, Paul. 1996. Accountability and
decentralisation in government: An incomplete contracts models. European
Economic Review 40: 61-89
Smith, Robert W. 2003. Ethical norms in public
budgeting: Evolution or devolution? Journal of Public Budgeting, Accounting
& Financial Management 5(2): 205-227
Smith, Robert W. & Mark Bertozzi. 1998. Principals
and agents: An explanatory model of public budgeting. Journal of Public
Budgeting, Accounting and Financial Management (Fall): 325-353.
Strom, K. 2000. Delegation and accountability in
parliamentary democracies. European Journal of Political Research 37:
261-289
Von Hagen, Jurgen. 2002. Fiscal rules, fiscal
institutions, and fiscal performance. The Economic and Social Review
33(3): 263-284
Von Hagen, Jurgen. 2003. Budgeting institutions and
public spending, in Shah, Anwar (ed.). 2003. Handbook on Public Sector
Performance Reviews. Volume 1: Ensuring Accountability When There Is No Bottom
Line. Washington, D.C.: The World Bank
Wildavsky, Aaron. 1991. The New Politics of the
Budgetary Process. Second edition. New York, NY: HarperCollins Publishers
Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar