Rabu, 21 Agustus 2013

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK


ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK
(Kajian tentang Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Local Development Program  pada Ministério da Administração Estatal e Ordenamento do Território República Democrática de Timor-Leste)
Oleh:
Lucio Borromeo de Araujo
Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Publik
Universitas Brawijaya Malang

ABSTRAK
Desentralisasi dan otonomi daerah sesungguhnya bertujuan untuk mendekatkan rakyat dengan pemerintahnya. Di Timor-Leste, melalui resolusi (keputusan) Dewan Menteri No. 2004/88/III, menginstruksikan kepada MAEOT untuk melaksanakan Local Development Program (LDP) sebagai pilot untuk memperoleh input yang relevan bagi formulasi kebijakan “desentralisasi” yang akan dititikberatkan pada District Administration sebagai daerah otonom (dalam bentuk Municipality). Artikel ini mengkaji faktor-faktor yang menjadi pendukung dan/atau penghambat pelaksanaan LDP. Keefektifitan pelaksaan LDP mensyaratkan terpenuhinya beberapa prakondisi tertentu seperti, faktor komunikasi, disposisi, sumberdaya dan struktur birokrasi pelaksana.  


I.             PENDAHULUAN

   Secara yuridis formal Pemerintah Timor-Leste telah mengakui keberadaan struktur administrasi pemerintahan lokal melalui prinsip-prinsip demokrasi dan desentralisasi sebagaimana disebutkan dalam konstitusi República Democrática de Timor-Leste (RDTL). Dalam pasal 5 (1) disebutkan bahwa, “o estado respeita, na sua organização territorial, o princípio da decentralização da administração pública” (Dalam hal penataan wilayah, Negara menghormati asas desentralisasi pemerintahan umum). Konsekuensi dari pasal tersebut adalah terbentuknya pemerintah daerah sebagaimana disebutkan dalam pasal 72 (1) bahwa,
O poder local é constituído por pessoas colectivas de território dotadas de orgãos representativos, com o objectivo de organizar a participação do cidadão na solução dos problemas próprios da sua communidade e promover o desenvolvimento local, sem prejuízo da participação do estado (Pemerintah daerah terdiri atas badan-badan hukum yang memiliki lembaga-lembaga perwakilan, dengan tujuan untuk mengatur keikutsertaan warga masyarakat dalam penyelesaian persoalan-persoalan dalam masyarakatnya sendiri dan memajukan pembangunan daerah, tanpa mengesampingkan keikutsertaan Negara).
      
Untuk merealisasikan amanat konstitusi tersebut, sejak tahun 2004, Pemerintah melalui Council of Minister (Dewan Menteri) telah mengeluarkan suatu resolusi yang dikenal dengan resolusi Dewan Menteri No. 2004/88/III yang menginstruksikan kepada Ministério da Administração Estatal e Ordenamento do Território (Kementerian Administrasi Negara dan Penataan Wilayah), selanjutnya disingkat MAEOT. untuk menyelenggarakan sebuah bentuk kepemerintahan lokal sebagai pilot untuk masa depan pembentukan pemerintah daerah (local authority/local autonomy).
      Wujud dari keputusan Dewan Menteri tersebut adalah pelaksanaan Local Development Program (LDP) melalui Diploma Ministerial atau DM (Peraturan Menteri) MAEOT No. 9/2004 yang telah direvisi dengan DM-MAEOT No. 1/2010 tentang District Assembly. Adapun tujuan dari LDP ini adalah: 1) membuka lapangan kerja bagi masyarakat lokal; 2) mengurangi angka kemiskinan; dan 3) merangsang kemampuan lider lokal dalam proses perencanaan dan implementasi program dan proyek sebelum memasuki era desentralisasi. Sementara bagi pemerintah, selain merupakan sebuah pilot untuk memperoleh input yang relevan bagi formulasi kebijakan “desentralisasi” yang akan dititikberatkan pada District Administration sebagai daerah otonom (dalam bentuk Municipality), juga dimaksudkan untuk memacu integritas aparatur pemerintahan lokal [District Adminsitration] agar dapat performa menurut prinsip-prinsip good governance, terutama yang terkait dengan prinsip akuntabilitas, transparansi dan partisipasi masyarakat (Lampiran 3 huruf E Pertauran Menteri No. 1/2010).
Untuk melaksanakan LDP tersebut secara efektif, Butterworth (2010:2) mengatakan,
Local Development Program allocates annual block grants for small-scale infrastructure projects, which are designed and selected through local planning processes in district assemblies (which serve as the model for future municipal assemblies) formed by elected Suco (village) members and local public servants. With less explicit governance aims, but equally committed to increasing community participation in state initiatives.
        
        Namun, sungguh disayangkan, Peraturan Menteri MAEOT ini tidak sepenuhnya terlaksana dengan baik seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat. Hasil penelitian (join research) yang dilakukan oleh Local NGO (Non Government Organisaton) LUTA HAMUTUK bekerjasama dengan World Bank melalui Justice for the Poor (J4P) pada tahun 2010 terhadap implementasi LDP, menyimpulkan bahwa, “pada umumnya program ini mengalami kesulitan untuk memenuhi harapan masyarakat, karena masyarakat (termasuk leader lokal) belum dilibatkan secara maksimal sesuai dengan tujuan kebijakan”. Hal ini dapat saja terjadi karena adanya kekurangan SDM [keterbatasan SDM baik kualitas maupun kuantitas], kurangnya fasilitas pendukung dan anggaran. Dikatakan bahwa SDM yang sudah ada saat ini dan anggaran yang sudah disediakan tidak dipergunakan sepenuhnya akibat kurangnya pemahaman tentang LDP.
      Sesungguhnya keadaan seperti di atas merupakan hambatan yang ditimbulkan oleh masalah kapasitas, sebagaimana halnya yang dikemukakan oleh van Meter dan van Horn (dalam Winarno, 2012:137), bahkan kemudian dikatakan oleh Edwards (Nugroho, 2009:636) bahwa, “masalah utama administrasi publik adalah lack of attention to implementation.” Dikatakannya bahwa, “without effective implementation the decisions of policy makers will not be carried out successfully” (Edwards, 1980:1). Agar tidak dikatakan demikian, karena memang implementasi kebijakan bukanlah sesuatu yang mudah dan sangat krusial, maka seharusnya sejak awal policy makers telah mengidentifikasi prakondisi-prakondisi tertentu yang diduga akan menghabat dan mendukung keefektifan implementasi kebijakan (Edwards, 1980).
     Pemikiran tersebut mendorong ketertarikan penulis untuk mengkajinya dengan rumusan masalah: “Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi implementasi Local Development Program (LDP) pada Kementerian MAEOT-RDTL?”
II.          KAJIAN PUSTAKA
2.1        Desentralisasi dan LDP
Berbicara tentang desentralisasi tentunya yang dibahas adalah penyerahan sebagian urusan dari pemerintah pusat ke pemerintah di bawahnya untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Dari sudut pandang administrasi dan kebijakan, Cheema & Rodinelli (Wasistiono, 2010:36) mendefinisikan desentralisasi sebagai, "transfer perencanaan, pengambilan keputusan, atau otoritas administratif dari pemerintah pusat kepada organisasi di lapangan, unit-unit administratif lokal, organisasi semi otonom dan organisasi parastatal, pemerintahan lokal, atau organisasi non pemerintah."
        Bedasarkan pengertian tersebut, kemudian Rodinelli, McCullough, & Johnson (dalam Muluk, 2009:11) menambahkan adanya 5 macam bentuk desentralisasi, yakni “privatization, deregulation of private service provision, devolution to local gavernment, delegation to public entreprises or publicly regulated private entreprises, dan deconcentration of central government bureaucracy.
Menurut pendapat-pendapat tersebut diperoleh pengertian bahwa desentralisasi sesungguhnya adalah penyerahan sebagian urusan dari pemerintah kepada pemerintah di tingkat bawahnya untuk menjadi urusan rumah tangganya sendiri, yang kemudian melahirkan konsep otonomi daerah dan pemerintah daerah. Menurut Hoessein (Muluk, 2009:5) bahwa “local government dan local autonomy tidak dicerna sebagai daerah atau pemerintah daerah tetapi merupakan masyarakat setempat.” Dalam pandangan demokrasi  liberal, Hoesein (2000) mengatakan, dalam konsep otonomi daerah terkandung kebebasan untuk berprasangka untuk mengambil keputusan atas dasar aspirasi masyarakat yang memiliki status demikian tanpa kontrol langsung oleh pemerintah pusat. Pandangan demikian ini yang memberikan ruang bagi penyelenggaraan pembangunan lokal (local development) yang didasari pada keinginan dan aspirasi masyarakat setempat. Pembangunan daerah merupakan usaha untuk meningkatkan kualitas dan perikehidupan manusia dan masyarakat daerah yang dilakukan secara terus menerus berdasarkan kemampuan daerah dan kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan IPTEK serta memperhatikan perkembangan keadaan daerah (Rakhmat, 2010). Sedangkan Sartika (2012:2) mendefinikan local development sebagai “as the development that implemented by local government and its community as concequence of the execution of governance affairs that become local authority.”
         Penyelenggaraan Local Development Progam (LDP) di Timor-Leste merupakan suatu program pilot untuk menjawab konsep desentralisasi tersebut. Melalui Resolusi (keputusan) Dewan Menteri No. 2004/88/III, ditetapkan bahwa pelaksanaan LDP akan di kelola (manage) oleh Kementerian Administrasi Negara dan Penataan Wilayah (atau dikenal dengan akronim MAEOT). LDP dirancang sebagai metode yang dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan yang bersifat partisipatif (MAEOT, 15 Pebruari 2011). Menteri Administrasi Negara dan Penataan Wilayah RDTL, Arcangelo Leite (Buletin MAEOT, 2011:1) bahwa,
PDL mós hanesan prosesu aprendizajen ba komunidade atu eleva sira nia kuñesementu no abilidade konaba prosesu planeamentu no implementasaun, organizasaun, no aprovizionamentu lokál, hodi jere sira nian finansas rasik. (LDP diselenggarakan sebagai sebuah proses pembelajaran bagi masyarakat dan [pemerintah] melalui penanaman dan pengembangan pengetahuan dan keterampilan mengenai perencanaan dan implementasi program pembangunan, pengorganisasian, procurament, dalam rangka memanej sumber dayanya sendiri).
     
     Dalam kerangka itu, untuk memfasilitasi penyelenggaraan LDP, MAEOT mengalokasi sebagian dana berupa block grants—karena pada prinsipnya District Administration sendiri, saat ini, belum memiliki pendapatan sendiri untuk menyelenggarakan pembangunan sebagaimana layaknya sebuah Municipality (kota) dalam kerangka otonomi daerah. Untuk mengakses dana tersebut, ditentukan beberapa prasarat sebagai minimum condition sebagaimana yang disebutkan dalam DM-MAEOT No. 1/2010, tanggal 4 Pebruari 2010. Dalam lampiran 3 huruf E, disebutkan adanya 11 indikator untuk mengukur kinerja pemerintahan District dalam implementasi LDP yang dikembangkan dari prinsip-prinsip good governance, seperti transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat.
       Untuk mempermudah pelaksanaannya, kemudian ditetapkan pedoman pelaksanaan yang dikembangkan dari ke-11 indikator tersebut, melalui sebuah Direktris Menteri MAEOT, sebagai petunjuk pelaksanaan (matadalan) untuk kinerja LDP, yang diharapkan aparatur lokal dapat berkinerja secara konsisten untuk mewujudkan tujuan LDP ini.


2.2        Kebijakan Publik
2.2.1        Makna dan Proses Kebijakan Publik
    Umumnya, kebijakan publik dipahami sebagai kebijakan yang dibuat oleh pejabat atau lembaga Pemerintah (Anderson, 1975), atau whatever government chose to or not to do (Dye, 1978:3) yang akan mempengaruhi kehidupan warga Negara (Peters, 1996). Ringkasnya kebijakan publik dibuat untuk memecahkan masalah, dan untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu yang diinginkan. Laswell dan Kaplan (Nugroho, 2009:93) mendefinisikan kebijakan publik sebagai ‘suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, dan praktik-praktik tertentu (a projected program of goals, values, and practices).
      Kebijakan publik sebagaimana dikemukakan di atas tidak lahir begitu saja tanpa melalui tahapan proses tertentu. Anderson (Widodo, 2011:16) membedakan tahapan proses tersebut dalam lima langkah, yaitu: ‘(a) agenda setting, (b) policy formulation, (c) policy adoption, (d) policy implementation, (e) policy assessment/evaluation.’ 
      Tahapan proses kebijakan di atas dijelaskan sebagai berikut: pada tahapan penetapan agenda kebijakan, ditentukan apa yang menjadi masalah publik yang perlu dipecahkan. Hakekat permasalahan ditentukan melalui suatu prosedur yang seringkali dikenal dengan nama perumusan masalah (problem stucturing).
       Pada tahap formulasi kebijakan, para analis mengidentifikasikan kemungkinan kebijakan yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah. Untuk itu diperlukan suatu prosedur yang disebut peramalan (forecasting) dimana konsekuensi dari masing-masing kemungkinan kebijakan dapat diungkapkan. Adopsi kebijakan merupakan tahapan berikutnya, dimana ditentukan pilihan kebijakan melalui dukungan para administrator dan legislatif. Tahap ini ditentukan setelah melalui suatu proses rekomendasi.
      Implementasi kebijakan merupakan suatu tahap dimana kebijakan yang telah diadopsi tadi dilaksanakan oleh unit-unit tertentu dengan memobilisasikan dana dan sumber daya yang ada. Pada tahap ini, proses monitoring/pemantauan dilakukan. Dan tahap terakhir adalah tahap penilaian kebijakan dimana berbagai unit yang telah ditentukan melakukan penilaian tentang apakah semua proses implementasi telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan atau tidak. Dalam tahap tersebut proses evaluasi diterapkan.
       Dari proses kebijakan sebagaimana dijelaskan, meskipun telah melalui suatu proses tahapan yang rumit, namun tidak akan memiliki makna apapun bila tidak diimplementasikan. Suatu kebijakan harus dapat diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan.


2.2.2        Implementasi Kebijakan Publik
      
          Implementasi kebijakan publik merupakan suatu tahapan proses kebijakan publik sekaligus studi yang sangat krusial. Dinilai krusial karena bagaimanapun baiknya suatu kebijakan, namun apabila tanpa melalui suatu persiapan dan perencanaan yang baik dalam implementasinya, maka tujuan kebijakan itu tidak akan terwujud. Begitupun sebaliknya, apabila telah melalui persiapan dan perencanaan implementasi yang cukup matang, namun dalam perumusan kebijakan itu sendiri tidak baik maka tujuan kebijakan tidak akan terwujud pula. Lalu apakah yang dimaksud dengan implementasi kebijakan? Menurut Wahab (2005:64), dengan mengutip kamus Webster, bahwa implementasi diartikan sebagai ‘to provide the means for carryng out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give pratical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu)’. Implementasi berarti menyediakan sarana untuk melaksanakan suatu kebijakan dan dapat menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu tertentu. Sedangkan Jones (Widodo, 2011:86) mengartikan implementasi sebagai ‘getting done “and” doing it’. Dari rumusan yang sederhana ini, kemudian dikatakan oleh Widodo bahwa, “ ∙∙∙ kesederhanaan rumusan seperti itu tidak berarti implementasi kebijaksanaan merupakan suatu proses kebijakan yang dapat dilakukan dengan mudah” (2011:86). Dilanjutkan bahwa Implementasi membutuhkan sumberdaya (resources) seperti orang atau pelaksana, uang dan kemampuan organisasi.
      Dengan bertumpu pada pendapat tersebut, maka dapat di ambil suatu kesimpulan pengertian bahwa implementasi adalah suatu proses yang melibatkan sejumlah sumber yang termasuk manusia, dana dan kemampuan organisasional yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Proses tersebut dilakukan untuk merealisasikan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat kebijakan. Sementara dalam pelaksanaan kebijakan merupakan suatu proses untuk mewujudkan kebijakan “yang masih abstrak” (Wahab, 2011:185) ke dalam realita.
     Sejalan dengan pendapat tersebut, van Meter dan van Horn (Wibawa, 1994:15) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai ‘tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta baik secara individu maupun kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana dirumuskan di dalam kebijakan’.
     Memperhatikan uraian di atas, dapat dipahami bahwa implementasi memiliki makna penting. Implementasi bersifat sangat interaktif dengan kegiatan-kegiatan kebijakan yang mendahuluinya. Melalui proses implementasi dapat diketahui sejauh mana suatu kebijakan dapat mengadopsi aspirasi sekaligus menyentuh masyarakat untuk secara sukarela melakukannya sebagai perwujudan rasa tanggungjawabnya terhadap bangsa dan negara. Dengan kata lain, melalui implementasi akan dapat diketahui apakah suatu kebijakan telah menjawab suatu persoalan atau justru sebaliknya.
2.2.3        Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Publik
Terdapat banyak model yang dikemukakan oleh para pakar dan tidak ada satu model-pun yang paling cocok untuk implementasi kebijakan; dan bukan pula kompetisi atau konstelasi di antara model implementasi kebijakan karena isu yang lebih relevan adalah kesesuaian implementasi dengan kebijakan itu sendiri. Sekurang-kurangnya Nugroho (2009:627-641) mengidentifikasi adanya 9 model implementasi kebijakan, termasuk di antaranya yang dikembangkan oleh George C. Edwads III.
Menurut Edwards (1980) bahwa terdapat empat faktor yang memiliki dampak langsung dan tidak langsung terhadap kegagalan atau keberhasilan implementasi kebijakan yang meliputi communication, resources, dispositions dan bureaucratic structure.

a.         Komunikasi

Komunikasi diartikan sebagai proses penyampaian informasi dari komunikator kepada komunikan. Menurut Widodo (2011:97), komunikasi kebijakan berarti merupakan proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy maker) kepada pelaksana kebijakan (implementor).” Secara umum Edwards (Winarno, 2002:126) membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni:
  1. Transmisi— Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksananya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana tampaknya. Banyak sekali ditemukan keputusan-keputusan yang diabaikan atau seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan yang telah dikeluarkan tersebut.
  2. Konsistensi— Jika implementasi ingin berlangsung efektif, maka perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah tersebut mempunyai unsur kejelasan, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik.
  3. Kejelasan— Edwards, mengidentifikasikan enam faktor terjadinya ketidakjelasan komunikasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut adalah kompleksitas kebijakan, keinginan untuk tidak mengganggu kelompok-kelompok masyarakat, kurangnya konsensus mengenai tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan dan sifat pembuatan kebijakan pengadilan.
b.         Sumberdaya 

Sumberdaya adalah faktor paling penting dalam implementasi kebijakan agar efektif. Sumberdaya tersebut dapat berupa sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, sumberdaya materi/fasilitas dan sumberdaya finansial. Tanpa adanya sumberdaya, kebijakan hanya tinggal dikertas saja menjadi dokumen.  
c.          Disposisi (Kecenderungan atau Tingkah Laku)
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor seperti komitmen, kejujuran dan sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sifat atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.

d.         Struktur Birokrasi

Struktur organisasi pelaksana memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang terstandar (standard operating procedure atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi implementor untuk bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks, yang pada akhirnya menyebabkan aktivitas organisasi menjadi tidak fleksibel.

2.3        Penelitian Terdahulu

 Beberapa temuan penelitian terdahulu berikut, nampaknya perlu diapresiasi sebagai informasi yang relevan dan sangat membantu penulis untuk menganalisis implementasi Local Development Program di Timor Leste.
  • Siti Erna Latifi Suryana (Tesis: Implementasi Kebijakan tentang Pengujian Kendaraan Bermotor di Kabupaten Aceh Tamiang, 2009). Dari hasil penelitian yang menggunakan tiga variabel yang dikemukakan oleh Jones ini, berkesimpulan bahwa kurangnya SDM (baik kualitas maupun kuantitas), serta minimnya sarana dan prasarana yang tersedia telah menjadikan implementasi kebijakan menjadi tidak efektif.
  • Rakhmat (Analisis Implementasi Program Pembangunan Daerah di Kota Parepare, 2010), Dosen FiSIP Universitas Hassanudin. Berdasarkan hasil penelitiannya dikemukakan bahwa, (a) implementasi program pembangunan daerah cukup berhasil namun secara keseluruhan belumlah memuaskan karena masih terdapat sebuah masalah yang belum tersentuh dengan baik yaitu menyangkut pemberdayaan masyarakat dalam bentuk kurangnya pelibatan publik dalam implementasi program pembangunan daerah, (b) faktor dukungan administrasi dan dukungan publik memberi pengaruh yang positif terhadap tingkat keberhasilan implementasi program pembangunan daerah. Sementara faktor komunikasi antar stakeholders pembangunan daerah relatif kurang efektif dalam mengkomunikasikan kebijakan pembangunan terutama aspek penganggaran program pembangunan daerah.

III.       METODE PENULISAN
      Penulisan paper ini, penulis menggunkan pendekatan kajian kepustakaan dimana penulis akan lebih banyak mengalisis konten (content analsys) terhadap sumber-sumber informasi yang diperoleh dari berbagai referensi (Irawan, 2007:58). Karena sumber informasi utamanya diperoleh dari berbagai referensi, maka data-data yang dipergunakan untuk menganalisis fokus permasalahannya, tentu saja, diperolehnya dari berbagai hasil kajian seperti literatur (buku-buku, laporan hasil penelitian dan/atau laporan kegiatan), serta berbagai bentuk peraturan pemerintah yang berkaitan pelaksanaan LDP. Adapun teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan cara membaca buku-buku yang relevan dengan topik, searching dan download dari internet, kemudian mengkaji dan mencatat intisari yang dianggap relevan.
        Data dan informasi yang telah dikumpulkan tersebut, setelah melalui kegiatan mereduksi data, kemudian penulis mulai menganalisis, menafsirkan dan mencocokkan dengan sumber lain (trianggulasi) serta menarik kesimpulan yang dituangkan dalam paper ini.
IV.        PEMBAHASAN
4.1        Analisis Pelaksanaan LDP

      Local Development Program (LDP) yang merupakan proses pembelajaran bagi terbentuknya local government, sebagaimana yang tertuang dalam Keputusan Dewan Menteri No. 2004/88/III, adalah suatu langkah yang baik untuk menyiapkan masyarakat dan birokrasi lokal sebelum ditetapkannya kebijakan pemerintah tentang desentralisasi. Desentralisasi sebagaimana yang tertuang dalam Konstitusi RDTL, dalam pasal 5 (1) akan melahirkan daerah otonom sebagaimana yang tersurat dalam pasal 72 (1). Otonomi daerah, menurut Istania (2010:59), “sesungguhnya bertujuan untuk mendekatkan rakyat terhadap pemerintahnya.” Dikatakan bahwa, kedekatan pemerintah dengan rakyat ini akan berdampak positif terhadap meningkatnya pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat.
       Selaras dengan pendapat di atas maka LDP sesungguhnya didesain dalam untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui layanan publik yang--dengan meminjam kata-kata Samsuddin (2007)--“transparan, akuntabel dan demokratis.” Pernyataan Menteri MAEOT, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dalam Buletin MAEOT (2011), juga menjelaskan kondisi masa depan desentralisasi seperti itu, bahwa “melalui LDP sungguh-sungguh akan membentuk atau mencapai good local governance di masa depan.”
Namun demikian, menurut hasil penelitian LUTA HAMUTUK dan J4P, ditemukan bahwa ternyata aparatur dan masyarakat lokal belum dapat performa sesuai dengan tujuan kebijakan yang telah ditetapkan. Menurut National Director for Local Development and Territorial Management (DNDLOT), bahwa, ada 4 faktor penghambat utama pelaksanaan LDP, yakni, “1) masalah partisipasi; 2) kemampuan  pemimpin  lokal; 2) sumberdaya dan fasilitas; dan 4) proses tender [procurament] dan kemampuan kontraktor” (Laporan penelitian LUTA HAMUTUK dan J4P, 2010:16). Hal lain yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan LDP menurut laporan ini adalah pergantian pejabat di tingkat District, dan kurangnya pengetahuan dari representasi masyarakat lokal yang menjadi member of local assembly (2010:24 dan 30).
     Diskusi tersebut di atas telah menghantar pemahaman penulis untuk menilai keefektifan pelaksanaan LDP mencapai tujuannya. Beberapa permasalahan yang telah disebutkan seperti kurangnya SDM, finansial, dan fasilitas, merupakan faktor penghambat utama dalam implementasi sebuah kebijakan. Relevan dengan pernyataan ini, hasil penelitian Suryana (2009) dan Rahmat (2010) menguraikan bahwa, faktor SDM dan fasilitas pendukung selalu menjadi faktor penentu untuk mewujudkan tujuan program atau kebijakan.
Berdasarkan pada kajian di atas telah mengantar penulis pada pemahaman bahwa, keefektifan implementasi suatu kebijakan, termasuk LDP, mensyaratkan terpenuhinya beberapa prakondisi tertentu untuk melaksanakan kebijakan tersebut, seperti, komunikasi, disposisi, sumberdaya dan struktur birokrasi pelaksana.
4.2       Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi LDP
        Sebagainan telah disebutkan sebelumnya (dalam subbab 3.1) bahwa suatu kebijakan publik, termasuk LDP, hanya dapat diwujudkan secara memadai jika memenuhi beberapa prasarat penting, seperti faktor komunikasi, disposisi, sumberdaya dan struktur pelaksana.

a.            Komunikasi
      
Komunikasi merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Sering terjadi bahwa gagalnya suatu kebijakan publik mencapai tujuannya disebabkan oleh kurangnya pemahaman pelaksana terhadap perintah-perintah pelaksanaan, baik konteks maupun konten dari kebijakan itu sendiri. Untuk itu suatu kebijakan hendaknya perlu dikomunikasikan sehingga pelaksana kebijakan dapat mengerti dan memahami apa yang harus diperbuat. Komunikasi yang dimaksud dalam penulisan ini merujuk pada pengertian yang dikemukakan oleh Robbins (2002:146), yaitu “penyampaian dan pemahaman dalam sebuah arti.” Dalam konteks implementasi kebijakan publik, Edwards (Winarno, 2012:178) menyebut tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni “transmisi, konsistensi dan kejelasan.” Bahwa kebijakan yang telah diputuskan harus diteruskan kepada pelaksana (implementor) agar diikuti. Komunikasi itu harus akurat, jelas dan konsisten agar dapat dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana, tidak menimbulkan interpretasi dan bahkan membingungkan. Nah, yang perlu dipertanyakan adalah, apakah kebijakan LDP telah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten kepada pelaksana di lapangan?
Menurut hasil penelitian LUTA HAMUTUK dan J4P (2010:47) disebutkan bahwa, masih ada sebagian staf pelaksana di tingkat Sub District (kecamatan) yang belum memahami prosedur pelaksanaan LDP itu sendiri. Menurut District Development Officer (DDO), Aileu District (LUTA HAMUTUK & J4P, 2010), mengatakan bahwa, “biasanya dalam proses perencanaan dan implementasi prioritas pembangunan kita selalu didampingi oleh petugas dari DNDLOT (atau Direktorat Nasional Pembangunan Daerah dan Penataan Wilayah)”. Namun demikian, menurut hasil evaluasi minimum condition yang dilakukan oleh DNOLOT dan Local Governance Support Program atau LGSP (MAEOT, 15 Pebruari 2011), menyebutkan, “∙·· masih terdapat kekeliruan dalam proses penetapan prioritas pembangunan.” Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa “kekeliruan yang terjadi bukan karena disengaja, namun karena adanya orientasi dari staf DNDLOT”, aku DDO Ermera District.
      Kondisi tersebut di atas secara gamblang dapat dipahami bahwa, ternyata proses pendampingan oleh policy facilitator tidak selamanya dapat membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dalam proses implementasi. Hal dapat dilihat pada “masih adanya kekeliruan dan interpretasi yang berbeda.” Keadaan ini diduga --boleh jadi-- karena adanya komunikasi yang tidak konsisten, baik yang ditimbulkan oleh policy facilitator atau oleh kemampuan staf pelaksana sendiri untuk menyerap informasi yang telah disampaikan. Kemampuan interpretasi terhadap isi kebijakan ini diduga ada korelasinya dengan isi kebijakan yang diartikulasikan dalam bahasa tetum (bahasa nasional) yang memang masih perlu disempurnakan alias belum sempurna. Atau boleh jadi kondisi disebabkan oleh pengaruh luar seperti yang dikemukakan oleh Edwards (1980:42) bahwa, “ … when officials desiring anonymity to serve political or personal ends use indirect means of communicating with implementors, such as third parties and press leake, the probability of distortion is significantly increased.”
      Berdasarkan pemikiran tersebut diperoleh suatu kesimpulan analisis bahwa keberhasilan implementasi kebijakan tidak saja diukur dari proses pendampingan, tetapi yang lebih penting adalah bahwa, kemampuan untuk menyampaikan (oleh policy maker) dan menyerap (oleh implementor) kebijakan itu secara jelas dan konsisten. Atas dasar pemikiran demikian maka komunikasi telah berkontribusi secara poisitif terhadap belum tercapainya tujuan LDP secara efektif dan efisien.

b.            Sumberdaya

        Kebijakan yang telah dikomunikasikan secara cermat, jelas dan konsisten tidak akan terlaksana dengan baik apabila tanpa dukungan sumberdaya yang memadai. Sumberdaya yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kemampuan yang dimiliki oleh suatu objek yang dapat digunakan untuk merealisasikan suatu maksud. Abidin (2004:194) mengatakan bahwa “dalam proses pelaksanaan kebijakan diperlukan sumberdaya yang merupakan faktor pendukung (supporting factors)”. Faktor pendukung tersebut adalah staf, informasi, wewenang dan fasilitas yang diperlukan untuk menerjemahkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan publik (Winarno, 2012:184).
       Berdasarkan hasil penelitian terdahulu (Suryana, 2009) disebutkan bahwa minimnya SDM [staf] baik kualitas maupun kuantitas, merupakan faktor penghambat utama dalam implementasi kebijakan. Kondisi ini juga terjadi pada pelaksanaan LDP sebagaimana yang telah dikeluhkan dalam laporan LUTA HAMUTUK dan J4P. Winarno (2012:184) mengatakan bahwa, jumlah staf yang banyak tidak secara otomatis mendorong implementasi yang berhasil. Begitupun sebaliknya bahwa jumlah staf yang sedikit apabila tidak memiliki keterampilan-keterampilan tertentu, juga tidak mungkin juga akan berdampak pada keefektifan implementasi. Kemampuan staf memegang peranan penting untuk melaksanakan perintah-perintah atau kebijakan, termasuk kemampuan menyeleksi informasi pelaksanaan yang tepat. Dalam laporan evaluasi minimum condition (2011) seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, “kekeliruan dalam implementasi LDP” dapat dipahami sebagai bentuk “korelasi antar komunikasi dan kemampuan staf” dalam mencerna informasi.
     Di lain sisi informasi yang kurang juga akan menimbulkan kebingungan dan cenderung apatis dari staf pelaksana untuk melaksanakan kebijakan. Edwards (1980:63) mengatakan informasi dibutuhkan agar : “1) information regarding when they are given directives to act; 2) ··· of essensial information is data on the compliance of other with governmental rule and regulations”. Informasi harus disampaikan agar implementors tahu apa yang seharusnya dilakukan dan dapat mengendalikan kekeliruan yang diakibatkan oleh faktor kesengajaan.
        Informasi-informasi yang telah disampaikan secara cermat, jelas dan konsisten, staf pelaksana memadai (baik kualitas maupun kuantitas), namun apabila tidak didukung dengan fasilitas yang memadai, mustahil implementasi kebijakan akan memenuhi efek yang diharapkan. Beberapa pengalaman empiris telah menunjukkan realita ini (Suryana, 2009; LUTA HAMUTUK dan J4P, 2010), bahwa kurangnya fasilitas dan anggaran [operasional] juga telah berkontribusi secara positif terhadap kegagalan implementasi kebijakan. Demikian juga halnya dengan wewenang yang didelegasikan. Wewenang harus diberikan kepada staf pelaksana (terutama wewenang formal) untuk mengalokasikan sumberdaya-sumberdaya lain untuk mewujudkan efek kebijakan secara efektif.
      Dalam pelaksanaan LDP, meskipun baru merupakan sebuah pilot, dikeluhkan pula oleh para implementor tentang “tidak-jelasnya wewenang dalam pengambilan keputusan.” Dalam sebuah wawancara dengan District Administrator sebagai Excecutive Secretary dalam struktur LDP, beliau mengatakan bahwa, sesungguhnya saya tidak punya wewenang untuk mengatur staf dari instansi lini yang telah ditunjuk untuk duduk dalam struktur LDP” (LUTA HAMUTUK & J4P, 2010:48). Bahkan beliau mengatakan bahwa dalam struktur LDP, saya tidak memiliki wewenang untuk memaksa staf dekonsentrasi untuk mengambil bagian dalam proses LDP, mulai dari perencanaan hingga implementasi.
      Kondisi demikian telah mengantar keyakinan penulis pada premis bahwa, keberhasilan implementasi kebijakan tidak saja ditentukan oleh staf yang memadai secara kualitas dan kuantitas, informasi yang mudah dicerna, tersedianya fasilitas yang memadai, namun apabila tidak ada wewenang yang didelegasikan untuk memanfaatkan atau mengatur sumberdaya-sumberdaya tersebut, imposibel juga suatu implementasi kebijakan dapat terwujud secara memadai (Winarno, 2012:184).
        Berdasarkan pada premis tersebut serta menyandingkan dengan kenyataan di lapangan, maka penulis sangat yakin untuk mengatakan bahwa faktor faktor sumberdaya telah berkontribusi secara positif terhadap kegagalan implementasi LDP untuk mencapai tujuannya. 

c.             Disposisi.

       Disposisi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kecenderungan-kecenderungan atau sikap tertentu untuk mendukung atau menghambat proses implementasi. Menurut Widodo (2011:104) disebutkan bahwa disposisi merupakan “kemauan, keinginan, dan kecenderungan para pelaku kebijakan untuk melaksanakan kebijakan tadi secara sungguh-sungguh sehingga apa yang menjadi tujuan kebijakan dapat diwujudkan.”
Pengertian disposisi seperti telah disebutkan, dalam pemerintahan baru seperti Timor-Leste, sungguh menjadi diskursus yang amat sangat menarik untuk  didiskusikan. Disebutkan dalam laporan penelitian LUTA HAMUTUK dan J4P (2010) bahwa, perbedaan pengalaman historis pada masa pemerintahan Portugal dan Indonesia menjadi dilema dalam implementasi LDP. Kalau hal ini sudah demikian maka kecenderungan ini masuk dalam kategori yang disebut oleh Edwards (1980:90) sebagai “zona of indifference”. Lebih lanjut Winarno (2012:199) menjelaskan bahwa, "ada kebijakan yang dilaksanakan secara efektif karena mendapat dukungan dari para pelaksana, namun kebijakan-kebijakan lain mungkin akan bertentangan secara langsung dengan pendapat-pendapat pelaksana kebijakan atau kepentingan-kepentingan pribadi atau organisasi dari pelaksana."
      Dukungan dari pelaksana kebijakan adalah sesuatu yang mutlak untuk menunjang keberhasilan suatu kebijakan, namun apabila staf pelaksanan mulai memaknai kebijakan itu menurut pengetahuan atau pengalamannya atau bahkan berdasarkan pada kepentingannya maka tujuan dari kebijakan itupun telah mengalami distorsi. Dalam hasil wawancara dengan District Administrattor yang telah dikemukakan sebelumnya, secara gamblang dapat disimpulkan bahwa, ketidakhadiran staf dari instansi dekonsentrasi (struktur lini pemerintahan dari kementerian lain yang ada di tingkat District) merupakan bentuk tidak adanya dukungan terhadap kebijakan LDP. Sehingga dengan demikian, kalau saja prosesnya tetap berjalan, sudah dapat dipastikan bahwa telah terjadi kekeliruan dalam pelaksanaaan LDP sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
      Menurut hasi wawancara LUTA HAMUTUK/J4P (2010:27) dengan Deputy District Administrator (DDA) of Aileu District, disebutkan bahwa, kekeliruan dalam implementasi LDP bukan karena ketidaktahuan, tetapi karena setiap pemimpin mempunyai cara tersendiri ···.” Situasi seperti yang dijelaskan oleh DDA ini, menurut Winarno (2012:197), “··· akan berakibat pada penyimpangan terhadap tujuan awal kebijakan.”
      Kecenderungan lain yang dapat dibaca dari laporan penelitian tersebut adalah adanya pergantian staf yang dipercayakan untuk menangani LDP. Pergantian maupun perpindahan pegawai dalam/pada posisi tertentu di tubuh birokrasi merupakan hal yang biasa, namun yang tidak biasa adalah akibat yang ditimbulkan dari pergantian pejabat tersebut. Pergantian pejabat mungkin bermaksud sebagai pencerahan atau sejenisnya, namun kalau tidak dilakukan secara hati-hati mungkin akan berakibat pada kelalaian terhadap tugas dan fungsi yang diembankan, atau setidaknya pejabat baru membutuhkan sedikit waktu untuk penyesuaian. Dalam konteks ini, menurut hasil penelitian tersebut, bahwa pergantian pejabat lebih disebabkan karena faktor politik.
     Menanggapi kondisi yang terakhir ini, menurut Edwards (1980:103) bahwa “transferring is not panacea for the problem of implementors’ dispositions because it doesn’t solve problem; it just remove them.” Bahwa perpindahan/pergantian pejabat sesungguhnya bukanlah ‘obat mujarab’ yang dapat menyembuhkan permasalahan implementasi. Kecuali mungkin ada pejabat yang memang tidak “mampu” untuk melaksanakan kebijakan tersebut, bukan karena berbeda paham atau karena perbedaan interpretasi terhadap konten dan konteks kebijakan, itu berarti tidak ada dukungan.
         Kecenderungan lain yang menyebabkan tidak berjalannya implementasi kebijakan publik secara efektif adalah tidak atau belum terapresiasinya faktor insentif dalam pelaksanaan LDP. Pernyataan sebagian informan dalam penelitian LUTA HAMUTUK/J4P (2010) tentang kurangnya anggaran barangkali bisa dipersepsikan sebagai bentuk tidak adanya insentif sehingga telah melemahkan motivasi mereka untuk berkinerja secara memadai, dan kondisi ini dapat diperburuk lagi dengan perbedaan-perbedaan tadi.
Pemberian insentif bagi staf pelaksana kebijakan diakui oleh Edwards (1980:107) dengan istilah “manipulation of incentif.” Dikatakan oleh Winarno (2012:201)) bahwa, “dengan cara menambah keuntungan-keuntungan atau biaya-biaya tertentu barangkali akan menjadi faktor pendorong yang membuat implementor melaksanakan perintah dengan baik.” Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi (self-interest), organisasi atau kebijakan substantif.
      Berdasarkan pemaparan di atas diperoleh informasi bahwa ternyata pelaksanaan LDP di Timor Leste sesungguhnya memiliki hubungan yang erat dengan kepatuhan staf pelaksana, faktor pengetahuan dan pengalaman, insentif serta kepentingan yang berbeda baik secar personal maupun dalam organisasi, turut menyebabkan kegagalan implementasi LDP mencapai tujuannya. 

d.            Struktur Birokrasi Pelaksana

      Meskipun sumber-sumber untuk mengimplementasikan suatu kebijakan cukup dan para pelaksana (implementors) mengetahui apa dan cara bagaimana melakukannya, serta mereka mempunyai keinginan untuk melakukannya, namun menurut Edwards (Widodo, 2011:106), “implementasi kebijakan bisa jadi masih belum efektif karena ketidak efisien struktur birokrasi (deficiencies in bureaucratic structure).”
Menurut DM-MAEOT No.1/2010 tentang District Assembly, tanggal 4 Pebruari 2010, secara jelas telah ditetapkan sebuah struktur organisasi (kurang lebih) akan menyerupai struktur Municipality dalam era desentralisasi di masa depan. Dalam struktur tersebut telah mengakomodasi seluruh instansi lini pemerintahan yang secara operasional berada di tiap-tiap District (sebagai badan eksekutif) dan perwakilan masyarakat yang dipilih dari tiap-tiap Suco (desa) sebagai badan legislatif.
Meskipun demikian, struktur tersebut masih merupakan struktur bayangan yang dikehendaki untuk masa depan municipality sehingga masih belum mengikat instansi lain sebagai instansi otonom. Hal ini dapat dilihat pada Kurangnya partisipasi dari instasi lini dalam proses perencanaan dan implementasi program (LUTA HAMTUK/J4P, 2010).
       Kondisi tersebut di atas memperlihatkan bahwa struktur birokrasi yang dibentuk untuk melaksanakan LDP ini belum efektif, sehingga dengan demikian sudah dapat dipastikan bahwa implementasi LDP ini belum berjalan sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
Selain struktur organisasi yang ditetapkan tersebut di atas, MAEOT juga telah menetapkan beberapa regulasi tentang mata dalan (pedoman kerja) sebagai standar (SOP) untuk melaksanakan LDP. Disebutkan dalam laporan penelitian LUTA HAMUTUK/J4P (2010) bahwa, terdapat delapan (8) bentuk mata dalan sebagai pedoman kerja LDP. Meskipun demikian, dalam laporan evaluasi minimum condition yang dilakukan oleh MAEOT dan LGSP (2011), masih ditemukan kinerja pemerintahan District yang menyimpang dari berbagai regulasi yang telah ditetapkan sebagai pedoman kerja tersebut.
      Penulis menduga bahwa penyimpangan-penyimpangan itu terjadi (baik disengaja maupun tidak disengaja) sebagai akibat dari banyak tugas yang overlapping dan tidak adanya pembagian wewenang yang jelas. Kalau kondisinya sudah demikian, terbuka kemungkinan akan adanya fragmentasi. Mengapa? Edwards (1980:135) bahwa, “often didn’t know where to put a program — in which agency — and we didn’t particularly care where it went; we just wanted to make sure it got enacted. That’s one reason why the government is disorganized now.” Berdasrkan pada pendapat ini kemudian dikatakan oleh Widodo (2011:106) bahwa, “struktur birokrasi yang terfragmentasi dapat meningkatkan gagalnya komunikasi, dimana para pelaksana kebijakan akan mempunyai kesempatan yang besar berita/instruksinya akan terdistorsi.”
      Berdasarkan pada diskusi di atas, sudah dapat dipastikan bahwa faktor struktur birokrasi pelaksana yang tidak efisien dan terfragmentasi memiliki kontribusi yang positif terhadap implementasi kebijakan LDP untuk mencapai tujuannya.
V.           PENUTUP

5.1        Kesimpulan
Pelaksanaan LDP belum berjalan secara efektif sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor berikut.
  1. Komunikasi— Bahwa pelaksanaan LDP masih menghadapi kendala, terutama yang terkait dengan kemampuan untuk menyampaikan dan menyerap informasi secara jelas dan konsisten, baik oleh policy facilitator dalam mengkomunikasikan kebijakan maupun oleh staf pelaksana (implementor) dalam menerima komunikasi.
  2. Sumberdaya— Masuh belum memadai terhadap pengalokasian sumberdaya untuk mendukung pelaksanaan LDP, baik staf (secara kualitas maupun kuantitas), fasilitas maupun anggaran operasional yang dapat memotivasi staf untuk berkinerja secara memadai.
  3. Disposisi— Kurangnya kepatuhan dari staf, terutama yang berasal dari lini staf, dan interpretasi yang berbeda terhadap konten dan konteks kebijakan LDP yang disebabkan oleh perbedaan pengalaman, pengetahuan dan kepentingan politik serta yang tidak kalah penting adalah kemampuan memahami konten kebijakan yang diartikulasikan dalam bahasa tetum dan portugis secara efektif telah berkontribusi terhadap pelaksanaan LDP.
  4. Struktur Birokrasi Pelasana— Struktur organisasi pelaksana LDP belum efektif serta belum jelasnya wewenang telah berakibat pada struktur birokrasi yang terfragmentasi.


5.2        Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, berikut ini akan disampaikan beberapa saran sebagai berikut:
  •  Pemerintah melalui MAEOT segera menyusun program untuk mengkomunikasikan kembali kebijakan LDP kepada seluruh stakeholder pelaksana. Hal ini dapat dilakukan melalui refresh training secara berkala yang dapat dilakukan secara terpusat, sehingga informasi disampaikan tersebut dapat konsisten dan seragam untuk semua District. Sebaiknya juga melibatkan NGO lokal yang telah dibina sebelumnya dari tiap-tiap District sebagai policy facilitator sehingga MAEOT lebih berfokus untuk melaksanakan fungsi monitoring dan pengendalian serta evaluasi.
  •  MAEOT segera menyusun dan menempatkan kembali staf pelaksana berdasarkan kemampuan yang dimiliki, mengalokasikan fasilitas pendukung yang memadai, serta memberi insentif bagi pegawai yang berhasil menyelenggarakan tugas-tugasnya, terutama yang berkaitan dengan kinerja LDP.
  • Hendaknya upaya pergantian atau pengangkatan pegawai dalam jabatan-jabatan LDP, lebih memperhatikan aspek profesionalitas ketimbang faktor politik yang hanya dapat menimbulkan apatisme.
  • Harus menghindari adanya fragmentasi dan berusaha untuk selalu melibatkan seluruh stakeholder, termasuk staf pelaksana yang memiliki ragam latar belakang, pendidikan, pengalaman dan pengetahuan maupun kepentingan tertentu tanpa mengurangi standar pelaksanaan yang telah ditentukan dalam SOP (matadalan), serta berusaha untuk menetapkan sebuah mekanisme reward and punishment yang jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zaid Zainal, 2004. Kebijakan Publik, (Edisi Revisi). Jakarta: Yayasan Pancur Siwah.
Anderson, James E., 1975. Public Policy Making. New York: Praeger.
Butterworth, David, 2010. “Expanding State, Expectant Citizens: Local Perspectives on Government Responsibility in Timor-Leste”. Laporan Penelitian Untuk Justice for the Poor, The World Bank. Melalui http://www-wds.worldbank.org. [03/12/2012].
Dunn, William N., 2003. Pengentar Analisis Kebijakan Publik, (Edisi Kedua). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Dye, Thomas R., 1978. Understanding Public Policy, (Third Edition). New Jersey: Englewood Cliffs, Practice Hall, Inc.
Edwards, George C., 1980. Implementing Public Policy. Washington: Congressional Quarterly, Inc.
Hoessein, B., 2000. “Hubungan Penyelenggaraan Pemerintahan Pusat dengan Pemerintahan Daerah”. Dalam Choirul Muluk (2009), Peta Konsep Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Surabaya: itspress.
Irawan, Prasetya, 2007. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI.
Istania, Ratri, 2010. Politik Lokal: Meneropong Gejolak Politik Lokal Melalui Teori Permainan. Jakarta: STIA-LAN PRESS.
MAEOT, 2010. Diploma Ministerial No. 1/2010, revizaun, de 4 Fevereiro de 2010, konaba Assembleia Distrito, Dili.
MAEOT, “Avaliasaun Kondisaun Mínimu ba Programa Dezenvolvimentu Lokál”. Laporan Evaluasi Pelaksanaan LDP, 15 Pebruari 2011. Melalui www.maeot.gov.tl. [03/12/2012].
MAEOT, 2011. “Governnu Aloka Milaun 3.5 US$ Ba Fundu Dezenvolvimentu Lokal”. Buletin Mensal Vol. IV, Edisaun 2, Marsu 2011. Melalui www.maeot.gov.tl. [03/12/2012].
Muluk, Choirul, 2009. Peta Konsep Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Surabaya: itspress.
NGO Luta Hamutukdan Justice for the Poor, 2010. “Keadilan Dalam Pembangunan di Timor-Leste”. Laporan Penelitian Mengenai Pelaksanaan Programa Dezenvolvementu Lokal (PDL)” Melalui http://lutahamutuk.org/. [03/12/2012].
Nugroho, Riant, 2009. Public Policy, Dinamika Kebijakan - Analisis Kebijakan - Manajemen Kebijakan. Jakarta: PT. Alex Media Komputindo - Kelompok Gramedia.
Peters, B. Guy, 1996. Public Policy in America: Process and Performance. New York: Franklin Watts.
Rakhmat, 2010. “Analisis Implementasi Program Pembangunan Daerah di Kota Parepare”. Abstrak: Laporan Penelitian Pada Lembaga Administrasi Negara, Makassar. Melalui http://makassar.lan.go.id. [03/14/2012].
Resolução Concelho Ministro, No. 2004/88/III sobre Programa Desenvolvimento Local, Junho 2004, Dili.
Robbins, Stephen P., 2002. Prinsip-Prinsip Perilaku Organisasi, alih bahasa oleh Halida, ed. ke-5. Jakarta: Erlangga.
Sartika, Ika, 2012. “Improving Local Development Performance In Selected Provinces”. Melalui http://www.ikasari.staff.ipdn.ac.id/. [14/03/2012].
Sjamsuddin, Sjamsiar, 2007. Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Sektor Publik. Malang: Yayasan Pembangunan Nasional kerjasama dengan CV SOFA Mandiri dan Indonesia Print.
Subarsono, A.G., 2005. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suryana, Siti Erna Latifi. 2009. “Implementasi Kebijakan tentang Pengujian Kendaraan Bermotor di Kabupaten Aceh Tamiang”. Thesis Magister Studi Pembangunan, Sekolah Paecasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. Melalui http://repository.usu.ac.id/. [03/14/2012].  
Wahab, Solichin Abdul, 2005. Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara (Edisi Kedua). Jakarta: Bumi Aksara.
--------------- , 2011. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Malang: UMM Press.
Wastiono, Sadu, 2010. “Menuju Desentralisasi Berkeseimbangan”. Jurnal Ilmu Politik, edisi 21: 31-50.
Wibawa, Samoedra, 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: Raja Grafindo.
Widodo, Joko, 2011. Analisis Kebijakan Publik. Malang: Bayumedia Publishing.
Winarno, Budi, 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Presindo.
---------------, 2012. Kebijakan Publik: Teori, Proses, dan Studi Kasus, (edisi revisi terbaru). Yogyakarta: CAPS.         


Tidak ada komentar:

Posting Komentar