ANALISIS
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK
(Kajian tentang Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
Local Development Program pada Ministério da Administração Estatal e
Ordenamento do Território República
Democrática de Timor-Leste)
Oleh:
Lucio
Borromeo de Araujo
Mahasiswa
Magister Ilmu Administrasi Publik
Universitas
Brawijaya Malang
ABSTRAK
Desentralisasi dan otonomi daerah sesungguhnya
bertujuan untuk mendekatkan rakyat dengan pemerintahnya. Di Timor-Leste,
melalui resolusi (keputusan) Dewan Menteri No. 2004/88/III, menginstruksikan
kepada MAEOT untuk melaksanakan Local
Development Program (LDP) sebagai pilot untuk memperoleh input yang relevan
bagi formulasi kebijakan “desentralisasi” yang akan dititikberatkan pada District Administration sebagai daerah otonom (dalam bentuk Municipality). Artikel ini mengkaji
faktor-faktor yang menjadi pendukung dan/atau penghambat pelaksanaan LDP. Keefektifitan
pelaksaan LDP mensyaratkan terpenuhinya beberapa prakondisi tertentu
seperti, faktor komunikasi, disposisi, sumberdaya dan struktur birokrasi
pelaksana.
I.
PENDAHULUAN
Secara
yuridis formal Pemerintah Timor-Leste telah mengakui keberadaan struktur
administrasi pemerintahan lokal melalui prinsip-prinsip demokrasi dan
desentralisasi sebagaimana disebutkan dalam konstitusi República Democrática de Timor-Leste (RDTL). Dalam pasal 5 (1)
disebutkan bahwa, “o estado respeita, na
sua organização territorial, o princípio da decentralização da administração
pública” (Dalam hal penataan wilayah, Negara menghormati asas desentralisasi
pemerintahan umum). Konsekuensi dari pasal tersebut adalah terbentuknya
pemerintah daerah sebagaimana disebutkan dalam pasal 72 (1) bahwa,
O poder local é constituído por
pessoas colectivas de território dotadas de orgãos representativos, com o
objectivo de organizar a participação do cidadão na solução dos problemas
próprios da sua communidade e promover o desenvolvimento local, sem prejuízo da
participação do estado
(Pemerintah daerah terdiri atas badan-badan hukum yang memiliki lembaga-lembaga
perwakilan, dengan tujuan untuk mengatur keikutsertaan warga masyarakat dalam
penyelesaian persoalan-persoalan dalam masyarakatnya sendiri dan memajukan
pembangunan daerah, tanpa mengesampingkan keikutsertaan Negara).
Untuk
merealisasikan amanat konstitusi tersebut, sejak tahun 2004, Pemerintah melalui
Council of Minister (Dewan Menteri)
telah mengeluarkan suatu resolusi yang dikenal dengan resolusi Dewan Menteri No. 2004/88/III yang menginstruksikan kepada Ministério da Administração Estatal e Ordenamento do Território (Kementerian
Administrasi Negara dan Penataan Wilayah), selanjutnya disingkat MAEOT. untuk
menyelenggarakan sebuah bentuk kepemerintahan lokal sebagai pilot untuk masa depan pembentukan pemerintah daerah (local authority/local autonomy).
Wujud
dari keputusan Dewan Menteri tersebut adalah pelaksanaan Local Development Program (LDP) melalui Diploma Ministerial atau DM
(Peraturan Menteri) MAEOT No. 9/2004 yang telah direvisi dengan DM-MAEOT No.
1/2010 tentang District Assembly.
Adapun tujuan dari LDP ini adalah: 1) membuka lapangan kerja bagi masyarakat
lokal; 2) mengurangi angka kemiskinan; dan 3) merangsang kemampuan lider lokal
dalam proses perencanaan dan implementasi program dan proyek sebelum memasuki
era desentralisasi. Sementara bagi pemerintah, selain merupakan sebuah pilot untuk memperoleh input yang
relevan bagi formulasi kebijakan “desentralisasi” yang akan dititikberatkan
pada District Administration sebagai daerah otonom (dalam bentuk Municipality), juga dimaksudkan untuk
memacu integritas aparatur pemerintahan lokal [District Adminsitration] agar dapat performa menurut
prinsip-prinsip good governance,
terutama yang terkait dengan prinsip akuntabilitas, transparansi dan
partisipasi masyarakat (Lampiran 3 huruf E Pertauran Menteri No. 1/2010).
Untuk melaksanakan LDP tersebut secara
efektif, Butterworth
(2010:2) mengatakan,
Local Development Program allocates
annual block grants for small-scale infrastructure projects, which are designed
and selected through local planning processes in district assemblies (which
serve as the model for future municipal assemblies) formed by elected Suco (village) members and local
public servants. With less explicit governance aims, but equally committed to
increasing community participation in state initiatives.
Namun, sungguh disayangkan, Peraturan Menteri
MAEOT ini tidak sepenuhnya terlaksana dengan baik seiring dengan meningkatnya
kebutuhan masyarakat. Hasil
penelitian (join research) yang
dilakukan oleh Local NGO (Non Government Organisaton) LUTA HAMUTUK
bekerjasama dengan World Bank melalui
Justice for the Poor (J4P) pada tahun
2010 terhadap implementasi LDP, menyimpulkan bahwa, “pada umumnya program ini
mengalami kesulitan untuk memenuhi harapan masyarakat, karena masyarakat
(termasuk leader lokal) belum
dilibatkan secara maksimal sesuai dengan tujuan kebijakan”. Hal ini dapat saja
terjadi karena adanya kekurangan SDM [keterbatasan SDM baik kualitas maupun
kuantitas], kurangnya fasilitas pendukung dan anggaran. Dikatakan bahwa SDM
yang sudah ada saat ini dan anggaran yang sudah disediakan tidak dipergunakan
sepenuhnya akibat kurangnya pemahaman tentang LDP.
Sesungguhnya
keadaan seperti di atas merupakan hambatan yang ditimbulkan oleh masalah
kapasitas, sebagaimana halnya yang dikemukakan oleh van Meter dan van Horn
(dalam Winarno, 2012:137), bahkan kemudian dikatakan oleh Edwards (Nugroho,
2009:636) bahwa, “masalah utama administrasi publik adalah lack of attention to implementation.” Dikatakannya bahwa, “without effective implementation the
decisions of policy makers will not be carried out successfully” (Edwards,
1980:1). Agar tidak dikatakan
demikian, karena memang implementasi kebijakan bukanlah sesuatu yang mudah dan
sangat krusial, maka seharusnya sejak awal policy
makers telah mengidentifikasi prakondisi-prakondisi tertentu yang diduga
akan menghabat dan mendukung keefektifan implementasi kebijakan (Edwards, 1980).
Pemikiran
tersebut mendorong ketertarikan penulis untuk mengkajinya dengan rumusan
masalah: “Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi implementasi Local Development
Program (LDP) pada Kementerian MAEOT-RDTL?”
II.
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Desentralisasi dan LDP
Berbicara
tentang desentralisasi tentunya yang dibahas adalah penyerahan sebagian urusan
dari pemerintah pusat ke pemerintah di bawahnya untuk mengurus dan mengatur
rumah tangganya sendiri. Dari sudut pandang administrasi dan kebijakan, Cheema
& Rodinelli (Wasistiono, 2010:36) mendefinisikan desentralisasi sebagai, "transfer perencanaan, pengambilan keputusan, atau
otoritas administratif dari pemerintah pusat kepada organisasi di lapangan,
unit-unit administratif lokal, organisasi semi otonom dan organisasi
parastatal, pemerintahan lokal, atau organisasi non pemerintah."
Bedasarkan
pengertian tersebut, kemudian Rodinelli, McCullough, & Johnson (dalam
Muluk, 2009:11) menambahkan adanya 5 macam bentuk desentralisasi, yakni “privatization, deregulation of private
service provision, devolution to local gavernment, delegation to public
entreprises or publicly regulated private entreprises, dan deconcentration of central government
bureaucracy.”
Menurut pendapat-pendapat tersebut diperoleh pengertian bahwa desentralisasi
sesungguhnya adalah penyerahan sebagian urusan dari pemerintah kepada
pemerintah di tingkat bawahnya untuk menjadi urusan rumah tangganya sendiri,
yang kemudian melahirkan konsep otonomi daerah dan pemerintah daerah. Menurut
Hoessein (Muluk, 2009:5) bahwa “local
government dan local autonomy
tidak dicerna sebagai daerah atau pemerintah daerah tetapi merupakan masyarakat
setempat.” Dalam pandangan demokrasi
liberal, Hoesein (2000) mengatakan, dalam konsep otonomi daerah
terkandung kebebasan untuk berprasangka untuk mengambil keputusan atas dasar
aspirasi masyarakat yang memiliki status demikian tanpa kontrol langsung oleh
pemerintah pusat. Pandangan demikian ini yang memberikan ruang bagi
penyelenggaraan pembangunan lokal (local
development) yang didasari pada keinginan dan aspirasi masyarakat setempat.
Pembangunan daerah merupakan usaha untuk meningkatkan kualitas dan
perikehidupan manusia dan masyarakat daerah yang dilakukan secara terus menerus
berdasarkan kemampuan daerah dan kemampuan nasional dengan memanfaatkan
kemajuan IPTEK serta memperhatikan perkembangan keadaan daerah (Rakhmat, 2010). Sedangkan Sartika (2012:2) mendefinikan local development sebagai “as the development that implemented by local
government and its community as concequence of the execution of governance
affairs that become local authority.”
Penyelenggaraan Local Development
Progam (LDP) di Timor-Leste merupakan suatu program pilot untuk menjawab
konsep desentralisasi tersebut. Melalui Resolusi (keputusan) Dewan Menteri No.
2004/88/III, ditetapkan bahwa pelaksanaan LDP akan di kelola (manage) oleh Kementerian Administrasi
Negara dan Penataan Wilayah (atau dikenal dengan akronim MAEOT). LDP dirancang
sebagai metode yang dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam proses
pembangunan yang bersifat partisipatif (MAEOT, 15 Pebruari 2011). Menteri
Administrasi Negara dan Penataan Wilayah RDTL, Arcangelo Leite (Buletin MAEOT,
2011:1) bahwa,
PDL mós hanesan prosesu aprendizajen ba komunidade atu
eleva sira nia kuñesementu no abilidade konaba prosesu planeamentu no
implementasaun, organizasaun, no aprovizionamentu lokál, hodi jere sira nian
finansas rasik. (LDP
diselenggarakan sebagai sebuah proses pembelajaran bagi masyarakat dan
[pemerintah] melalui penanaman dan pengembangan pengetahuan dan keterampilan
mengenai perencanaan dan implementasi program pembangunan, pengorganisasian, procurament, dalam rangka memanej sumber
dayanya sendiri).
Dalam
kerangka itu, untuk memfasilitasi penyelenggaraan LDP, MAEOT mengalokasi
sebagian dana berupa block grants—karena
pada prinsipnya District Administration
sendiri, saat ini, belum memiliki pendapatan sendiri untuk menyelenggarakan
pembangunan sebagaimana layaknya sebuah Municipality
(kota) dalam kerangka otonomi daerah. Untuk mengakses dana tersebut, ditentukan
beberapa prasarat sebagai minimum
condition sebagaimana yang disebutkan dalam DM-MAEOT No. 1/2010, tanggal 4 Pebruari 2010.
Dalam lampiran 3 huruf E, disebutkan adanya 11 indikator untuk mengukur kinerja
pemerintahan District dalam
implementasi LDP yang dikembangkan
dari prinsip-prinsip good governance,
seperti transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat.
Untuk
mempermudah pelaksanaannya, kemudian ditetapkan pedoman pelaksanaan yang
dikembangkan dari ke-11 indikator tersebut, melalui sebuah Direktris Menteri
MAEOT, sebagai petunjuk pelaksanaan (matadalan) untuk kinerja LDP, yang
diharapkan aparatur lokal dapat berkinerja secara konsisten untuk mewujudkan
tujuan LDP ini.
2.2
Kebijakan Publik
2.2.1
Makna
dan Proses Kebijakan Publik
Umumnya,
kebijakan publik dipahami sebagai kebijakan yang dibuat oleh pejabat atau
lembaga Pemerintah (Anderson, 1975), atau whatever
government chose to or not to do (Dye, 1978:3) yang akan mempengaruhi
kehidupan warga Negara (Peters, 1996). Ringkasnya kebijakan publik dibuat untuk memecahkan masalah, dan
untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu yang diinginkan. Laswell dan Kaplan (Nugroho, 2009:93) mendefinisikan kebijakan publik sebagai ‘suatu program yang diproyeksikan dengan
tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, dan praktik-praktik tertentu (a projected program of goals, values, and practices).’
Kebijakan publik sebagaimana dikemukakan di atas tidak lahir begitu saja
tanpa melalui tahapan
proses tertentu. Anderson (Widodo, 2011:16) membedakan tahapan proses
tersebut dalam lima langkah, yaitu: ‘(a) agenda setting, (b) policy formulation, (c) policy
adoption, (d) policy implementation,
(e) policy assessment/evaluation.’
Tahapan proses
kebijakan di atas dijelaskan sebagai berikut: pada
tahapan penetapan agenda kebijakan, ditentukan apa yang menjadi masalah publik
yang perlu dipecahkan. Hakekat permasalahan ditentukan melalui suatu prosedur
yang seringkali dikenal dengan nama perumusan masalah (problem stucturing).
Pada tahap formulasi kebijakan, para analis mengidentifikasikan kemungkinan
kebijakan yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah. Untuk itu diperlukan
suatu prosedur yang disebut peramalan (forecasting)
dimana konsekuensi dari masing-masing kemungkinan kebijakan dapat diungkapkan.
Adopsi kebijakan merupakan tahapan berikutnya, dimana ditentukan pilihan
kebijakan melalui dukungan para administrator dan legislatif. Tahap ini
ditentukan setelah melalui suatu proses rekomendasi.
Implementasi kebijakan merupakan suatu tahap dimana kebijakan yang telah
diadopsi tadi dilaksanakan oleh unit-unit tertentu dengan memobilisasikan dana
dan sumber daya yang ada. Pada tahap ini, proses monitoring/pemantauan dilakukan.
Dan tahap terakhir adalah tahap penilaian kebijakan dimana berbagai unit yang
telah ditentukan melakukan penilaian tentang apakah semua proses implementasi
telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan atau tidak. Dalam tahap tersebut
proses evaluasi diterapkan.
Dari proses kebijakan sebagaimana
dijelaskan, meskipun telah melalui suatu proses tahapan yang rumit, namun tidak akan memiliki makna apapun bila
tidak diimplementasikan. Suatu kebijakan harus dapat diimplementasikan agar
mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan.
2.2.2
Implementasi
Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan publik merupakan suatu tahapan proses kebijakan
publik sekaligus studi yang sangat krusial. Dinilai krusial karena bagaimanapun
baiknya suatu kebijakan, namun apabila tanpa melalui suatu persiapan dan
perencanaan yang baik dalam implementasinya, maka tujuan kebijakan itu tidak
akan terwujud. Begitupun sebaliknya, apabila telah melalui persiapan dan
perencanaan implementasi yang cukup matang, namun dalam perumusan kebijakan itu
sendiri tidak baik maka tujuan kebijakan tidak akan terwujud pula. Lalu apakah yang dimaksud dengan implementasi kebijakan? Menurut Wahab
(2005:64), dengan mengutip kamus Webster,
bahwa implementasi diartikan
sebagai ‘to provide the
means for carryng out (menyediakan sarana untuk melaksanakan
sesuatu); to give pratical effect to (menimbulkan
dampak/akibat terhadap sesuatu)’. Implementasi berarti menyediakan sarana untuk
melaksanakan suatu kebijakan dan dapat menimbulkan dampak/akibat terhadap
sesuatu tertentu. Sedangkan Jones (Widodo, 2011:86) mengartikan implementasi
sebagai ‘getting done “and” doing it’.
Dari rumusan yang sederhana ini, kemudian dikatakan oleh Widodo bahwa, “ ∙∙∙
kesederhanaan rumusan seperti itu tidak berarti implementasi kebijaksanaan
merupakan suatu proses kebijakan yang dapat dilakukan dengan mudah” (2011:86).
Dilanjutkan bahwa Implementasi membutuhkan sumberdaya (resources) seperti orang atau pelaksana, uang dan kemampuan
organisasi.
Dengan bertumpu pada pendapat tersebut, maka
dapat di ambil suatu kesimpulan pengertian bahwa implementasi adalah suatu
proses yang melibatkan sejumlah sumber yang termasuk manusia, dana dan
kemampuan organisasional yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Proses
tersebut dilakukan untuk merealisasikan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya
oleh pembuat kebijakan. Sementara dalam pelaksanaan kebijakan merupakan suatu
proses untuk mewujudkan kebijakan “yang masih abstrak” (Wahab, 2011:185) ke dalam realita.
Sejalan dengan pendapat tersebut, van Meter dan van Horn (Wibawa, 1994:15) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai
‘tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta baik secara individu
maupun kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana dirumuskan
di dalam kebijakan’.
2.2.3
Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Publik
Terdapat
banyak model yang dikemukakan oleh para pakar dan tidak ada satu model-pun yang
paling cocok untuk implementasi kebijakan; dan bukan pula kompetisi atau
konstelasi di antara model implementasi kebijakan karena isu yang lebih relevan
adalah kesesuaian implementasi dengan kebijakan itu sendiri. Sekurang-kurangnya
Nugroho (2009:627-641) mengidentifikasi adanya 9 model implementasi kebijakan,
termasuk di antaranya yang dikembangkan oleh George C. Edwads III.
Menurut
Edwards (1980) bahwa terdapat empat faktor yang memiliki dampak langsung dan
tidak langsung terhadap kegagalan atau keberhasilan implementasi kebijakan yang
meliputi communication, resources,
dispositions dan bureaucratic
structure.
a.
Komunikasi
Komunikasi
diartikan sebagai proses penyampaian informasi dari komunikator kepada
komunikan. Menurut Widodo (2011:97), komunikasi kebijakan berarti merupakan
proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy maker) kepada pelaksana kebijakan
(implementor).” Secara umum Edwards
(Winarno, 2002:126) membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi
kebijakan, yakni:
- Transmisi— Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksananya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana tampaknya. Banyak sekali ditemukan keputusan-keputusan yang diabaikan atau seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan yang telah dikeluarkan tersebut.
- Konsistensi— Jika implementasi ingin berlangsung efektif, maka perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah tersebut mempunyai unsur kejelasan, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik.
- Kejelasan— Edwards, mengidentifikasikan enam faktor terjadinya ketidakjelasan komunikasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut adalah kompleksitas kebijakan, keinginan untuk tidak mengganggu kelompok-kelompok masyarakat, kurangnya konsensus mengenai tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan dan sifat pembuatan kebijakan pengadilan.
b.
Sumberdaya
Sumberdaya
adalah faktor paling penting dalam implementasi kebijakan agar efektif.
Sumberdaya tersebut dapat berupa sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor,
sumberdaya materi/fasilitas dan sumberdaya finansial. Tanpa adanya sumberdaya,
kebijakan hanya tinggal dikertas saja menjadi dokumen.
c.
Disposisi
(Kecenderungan atau Tingkah Laku)
Disposisi
adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor seperti komitmen,
kejujuran dan sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang
baik, dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang
diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sifat atau
perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi
kebijakan juga menjadi tidak efektif.
d.
Struktur
Birokrasi
Struktur
organisasi pelaksana memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi
kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi
adalah adanya prosedur operasi yang terstandar (standard operating procedure atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi
implementor untuk bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan
cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks, yang
pada akhirnya menyebabkan aktivitas organisasi menjadi tidak fleksibel.
2.3
Penelitian Terdahulu
Beberapa temuan penelitian terdahulu berikut,
nampaknya perlu diapresiasi sebagai informasi yang relevan dan sangat membantu
penulis untuk menganalisis implementasi Local
Development Program di Timor Leste.
- Siti Erna Latifi Suryana (Tesis: Implementasi Kebijakan tentang Pengujian Kendaraan Bermotor di Kabupaten Aceh Tamiang, 2009). Dari hasil penelitian yang menggunakan tiga variabel yang dikemukakan oleh Jones ini, berkesimpulan bahwa kurangnya SDM (baik kualitas maupun kuantitas), serta minimnya sarana dan prasarana yang tersedia telah menjadikan implementasi kebijakan menjadi tidak efektif.
- Rakhmat (Analisis Implementasi Program Pembangunan Daerah di Kota Parepare, 2010), Dosen FiSIP Universitas Hassanudin. Berdasarkan hasil penelitiannya dikemukakan bahwa, (a) implementasi program pembangunan daerah cukup berhasil namun secara keseluruhan belumlah memuaskan karena masih terdapat sebuah masalah yang belum tersentuh dengan baik yaitu menyangkut pemberdayaan masyarakat dalam bentuk kurangnya pelibatan publik dalam implementasi program pembangunan daerah, (b) faktor dukungan administrasi dan dukungan publik memberi pengaruh yang positif terhadap tingkat keberhasilan implementasi program pembangunan daerah. Sementara faktor komunikasi antar stakeholders pembangunan daerah relatif kurang efektif dalam mengkomunikasikan kebijakan pembangunan terutama aspek penganggaran program pembangunan daerah.
III.
METODE PENULISAN
Penulisan
paper ini, penulis menggunkan
pendekatan kajian kepustakaan dimana penulis akan lebih banyak mengalisis
konten (content analsys) terhadap
sumber-sumber informasi yang diperoleh dari berbagai referensi (Irawan,
2007:58). Karena sumber informasi utamanya diperoleh dari berbagai referensi,
maka data-data yang dipergunakan untuk menganalisis fokus permasalahannya,
tentu saja, diperolehnya dari berbagai hasil kajian seperti literatur
(buku-buku, laporan hasil penelitian dan/atau laporan kegiatan), serta berbagai
bentuk peraturan pemerintah yang berkaitan pelaksanaan LDP. Adapun teknik
pengumpulan datanya dilakukan dengan cara membaca buku-buku yang relevan dengan
topik, searching dan download dari internet, kemudian
mengkaji dan mencatat intisari yang dianggap relevan.
Data
dan informasi yang telah dikumpulkan tersebut, setelah melalui kegiatan
mereduksi data, kemudian penulis mulai menganalisis, menafsirkan dan
mencocokkan dengan sumber lain (trianggulasi)
serta menarik kesimpulan yang dituangkan dalam paper ini.
IV.
PEMBAHASAN
4.1
Analisis Pelaksanaan LDP
Local Development Program (LDP) yang merupakan proses
pembelajaran bagi terbentuknya local
government, sebagaimana yang
tertuang dalam Keputusan Dewan Menteri No. 2004/88/III, adalah suatu langkah
yang baik untuk menyiapkan masyarakat dan birokrasi lokal sebelum ditetapkannya
kebijakan pemerintah tentang desentralisasi. Desentralisasi sebagaimana yang
tertuang dalam Konstitusi RDTL, dalam pasal 5 (1) akan melahirkan daerah otonom
sebagaimana yang tersurat dalam pasal 72 (1). Otonomi daerah, menurut Istania
(2010:59), “sesungguhnya bertujuan untuk mendekatkan rakyat terhadap
pemerintahnya.” Dikatakan bahwa, kedekatan pemerintah dengan rakyat ini akan
berdampak positif terhadap meningkatnya pelayanan terhadap kebutuhan
masyarakat.
Selaras
dengan pendapat di atas maka LDP sesungguhnya didesain dalam untuk pemenuhan
kebutuhan masyarakat melalui layanan publik yang--dengan meminjam kata-kata
Samsuddin (2007)--“transparan, akuntabel dan demokratis.” Pernyataan Menteri
MAEOT,
sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dalam Buletin MAEOT (2011), juga
menjelaskan kondisi masa depan desentralisasi seperti itu, bahwa “melalui LDP
sungguh-sungguh akan membentuk atau mencapai good local governance di masa depan.”
Namun demikian, menurut hasil penelitian LUTA HAMUTUK dan J4P, ditemukan
bahwa ternyata aparatur dan masyarakat lokal belum dapat performa sesuai dengan
tujuan kebijakan yang telah ditetapkan. Menurut National Director for Local Development and Territorial Management
(DNDLOT), bahwa, ada 4 faktor penghambat utama pelaksanaan LDP, yakni, “1)
masalah partisipasi; 2) kemampuan
pemimpin lokal; 2) sumberdaya dan
fasilitas; dan 4) proses tender [procurament]
dan kemampuan kontraktor” (Laporan penelitian LUTA HAMUTUK dan J4P, 2010:16).
Hal lain yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan LDP menurut laporan ini adalah
pergantian pejabat di tingkat District,
dan kurangnya pengetahuan dari representasi masyarakat lokal yang menjadi member of local assembly (2010:24 dan
30).
Diskusi tersebut di atas telah menghantar pemahaman penulis untuk menilai
keefektifan pelaksanaan LDP mencapai tujuannya. Beberapa permasalahan yang
telah disebutkan seperti kurangnya SDM, finansial, dan fasilitas, merupakan
faktor penghambat utama dalam implementasi sebuah kebijakan. Relevan dengan
pernyataan ini, hasil penelitian Suryana (2009) dan Rahmat (2010) menguraikan
bahwa, faktor SDM dan fasilitas pendukung selalu menjadi faktor penentu untuk
mewujudkan tujuan program atau kebijakan.
Berdasarkan pada kajian di atas telah mengantar penulis pada pemahaman
bahwa, keefektifan implementasi suatu kebijakan, termasuk LDP, mensyaratkan
terpenuhinya beberapa prakondisi tertentu untuk melaksanakan kebijakan
tersebut, seperti, komunikasi, disposisi, sumberdaya dan struktur birokrasi
pelaksana.
4.2 Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Implementasi LDP
Sebagainan
telah disebutkan sebelumnya (dalam subbab 3.1) bahwa suatu kebijakan publik,
termasuk LDP, hanya dapat diwujudkan secara memadai jika memenuhi beberapa
prasarat penting, seperti faktor komunikasi, disposisi, sumberdaya dan struktur
pelaksana.
a.
Komunikasi
Komunikasi
merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Sering terjadi bahwa gagalnya suatu
kebijakan publik mencapai tujuannya disebabkan oleh kurangnya pemahaman
pelaksana terhadap perintah-perintah pelaksanaan, baik konteks maupun konten
dari kebijakan itu sendiri. Untuk itu suatu kebijakan hendaknya perlu
dikomunikasikan sehingga pelaksana kebijakan dapat mengerti dan memahami apa
yang harus diperbuat. Komunikasi yang dimaksud dalam penulisan ini merujuk pada
pengertian yang dikemukakan oleh Robbins (2002:146), yaitu “penyampaian dan
pemahaman dalam sebuah arti.” Dalam konteks implementasi kebijakan publik,
Edwards (Winarno, 2012:178) menyebut tiga hal penting dalam proses komunikasi
kebijakan, yakni “transmisi, konsistensi dan kejelasan.” Bahwa kebijakan yang
telah diputuskan harus diteruskan kepada pelaksana (implementor) agar diikuti. Komunikasi itu harus akurat, jelas dan
konsisten agar dapat dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana, tidak
menimbulkan interpretasi dan bahkan membingungkan. Nah, yang perlu dipertanyakan adalah, apakah kebijakan LDP telah
dikomunikasikan secara jelas dan konsisten kepada pelaksana di lapangan?
Menurut hasil penelitian LUTA HAMUTUK dan
J4P (2010:47) disebutkan bahwa, masih ada sebagian staf pelaksana di tingkat Sub District (kecamatan) yang belum
memahami prosedur pelaksanaan LDP itu sendiri. Menurut District Development Officer (DDO), Aileu District (LUTA HAMUTUK & J4P, 2010), mengatakan bahwa,
“biasanya dalam proses perencanaan dan implementasi prioritas pembangunan kita
selalu didampingi oleh petugas dari DNDLOT (atau Direktorat Nasional
Pembangunan Daerah dan Penataan Wilayah)”. Namun demikian, menurut hasil
evaluasi minimum condition yang
dilakukan oleh DNOLOT dan Local
Governance Support Program atau LGSP (MAEOT, 15 Pebruari 2011),
menyebutkan, “∙·· masih terdapat kekeliruan dalam proses penetapan prioritas
pembangunan.” Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa “kekeliruan yang terjadi
bukan karena disengaja, namun karena adanya orientasi dari staf DNDLOT”, aku
DDO Ermera District.
Kondisi tersebut di atas secara gamblang
dapat dipahami bahwa, ternyata proses pendampingan oleh policy facilitator tidak selamanya dapat membantu menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi dalam proses implementasi. Hal dapat dilihat pada
“masih adanya kekeliruan dan interpretasi yang berbeda.” Keadaan ini diduga
--boleh jadi-- karena adanya komunikasi yang tidak konsisten, baik yang
ditimbulkan oleh policy facilitator
atau oleh kemampuan staf pelaksana sendiri untuk menyerap informasi yang telah
disampaikan. Kemampuan interpretasi terhadap isi kebijakan ini diduga ada
korelasinya dengan isi kebijakan yang diartikulasikan dalam bahasa tetum
(bahasa nasional) yang memang masih perlu disempurnakan alias belum sempurna. Atau boleh jadi kondisi disebabkan oleh
pengaruh luar seperti yang dikemukakan oleh Edwards (1980:42) bahwa, “ … when officials desiring anonymity to serve
political or personal ends use indirect means of communicating with
implementors, such as third parties and press leake, the probability of
distortion is significantly increased.”
Berdasarkan pemikiran tersebut diperoleh
suatu kesimpulan analisis bahwa keberhasilan implementasi kebijakan tidak saja
diukur dari proses pendampingan, tetapi yang lebih penting adalah bahwa,
kemampuan untuk menyampaikan (oleh policy
maker) dan menyerap (oleh implementor)
kebijakan itu secara jelas dan konsisten. Atas dasar pemikiran demikian maka
komunikasi telah berkontribusi secara poisitif terhadap belum tercapainya
tujuan LDP secara efektif dan efisien.
b.
Sumberdaya
Kebijakan
yang telah dikomunikasikan secara cermat, jelas dan konsisten tidak akan
terlaksana dengan baik apabila tanpa dukungan sumberdaya yang memadai.
Sumberdaya yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kemampuan yang dimiliki oleh
suatu objek yang dapat digunakan untuk merealisasikan suatu maksud. Abidin (2004:194) mengatakan bahwa “dalam
proses pelaksanaan kebijakan diperlukan sumberdaya yang merupakan faktor
pendukung (supporting factors)”. Faktor pendukung tersebut adalah
staf, informasi, wewenang dan fasilitas yang diperlukan untuk menerjemahkan
usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan publik (Winarno,
2012:184).
Berdasarkan
hasil penelitian terdahulu (Suryana, 2009) disebutkan bahwa minimnya SDM [staf]
baik kualitas maupun kuantitas, merupakan faktor penghambat utama dalam
implementasi kebijakan. Kondisi ini juga terjadi pada pelaksanaan LDP sebagaimana
yang telah dikeluhkan dalam laporan LUTA HAMUTUK dan J4P. Winarno (2012:184)
mengatakan bahwa, jumlah staf yang banyak tidak secara otomatis mendorong
implementasi yang berhasil. Begitupun sebaliknya bahwa jumlah staf yang sedikit
apabila tidak memiliki keterampilan-keterampilan tertentu, juga tidak mungkin
juga akan berdampak pada keefektifan implementasi. Kemampuan staf memegang
peranan penting untuk melaksanakan perintah-perintah atau kebijakan, termasuk
kemampuan menyeleksi informasi pelaksanaan yang tepat. Dalam laporan evaluasi minimum condition (2011) seperti yang
telah dikemukakan sebelumnya, “kekeliruan dalam implementasi LDP” dapat
dipahami sebagai bentuk “korelasi antar komunikasi dan kemampuan staf” dalam
mencerna informasi.
Di lain
sisi informasi yang kurang juga akan menimbulkan kebingungan dan cenderung
apatis dari staf pelaksana untuk melaksanakan kebijakan. Edwards (1980:63)
mengatakan informasi dibutuhkan agar : “1)
information regarding when they are given directives to act; 2) ··· of essensial
information is data on the compliance of other with governmental rule and
regulations”. Informasi harus disampaikan agar implementors tahu apa yang seharusnya dilakukan dan dapat
mengendalikan kekeliruan yang diakibatkan oleh faktor kesengajaan.
Informasi-informasi
yang telah disampaikan secara cermat, jelas dan konsisten, staf pelaksana
memadai (baik kualitas maupun kuantitas), namun apabila tidak didukung dengan
fasilitas yang memadai, mustahil implementasi kebijakan akan memenuhi efek yang
diharapkan. Beberapa pengalaman empiris telah menunjukkan realita ini (Suryana,
2009; LUTA HAMUTUK dan J4P, 2010), bahwa kurangnya fasilitas dan anggaran
[operasional] juga telah berkontribusi secara positif terhadap kegagalan
implementasi kebijakan. Demikian juga halnya dengan wewenang yang
didelegasikan. Wewenang harus diberikan kepada staf pelaksana (terutama
wewenang formal) untuk mengalokasikan sumberdaya-sumberdaya lain untuk
mewujudkan efek kebijakan secara efektif.
Dalam
pelaksanaan LDP, meskipun baru merupakan sebuah pilot, dikeluhkan pula oleh para implementor tentang
“tidak-jelasnya wewenang dalam pengambilan keputusan.” Dalam sebuah wawancara
dengan District Administrator sebagai
Excecutive Secretary dalam struktur
LDP, beliau mengatakan bahwa, sesungguhnya saya tidak punya wewenang untuk
mengatur staf dari instansi lini yang telah ditunjuk untuk duduk dalam struktur
LDP” (LUTA HAMUTUK & J4P, 2010:48). Bahkan beliau mengatakan bahwa dalam
struktur LDP, saya tidak memiliki wewenang untuk memaksa staf dekonsentrasi
untuk mengambil bagian dalam proses LDP, mulai dari perencanaan hingga
implementasi.
Kondisi
demikian telah mengantar keyakinan penulis pada premis bahwa, keberhasilan
implementasi kebijakan tidak saja ditentukan oleh staf yang memadai secara
kualitas dan kuantitas, informasi yang mudah dicerna, tersedianya fasilitas
yang memadai, namun apabila tidak ada wewenang yang didelegasikan untuk
memanfaatkan atau mengatur sumberdaya-sumberdaya tersebut, imposibel juga suatu
implementasi kebijakan dapat terwujud secara memadai (Winarno, 2012:184).
Berdasarkan
pada premis tersebut serta menyandingkan dengan kenyataan di lapangan, maka
penulis sangat yakin untuk mengatakan bahwa faktor faktor sumberdaya telah
berkontribusi secara positif terhadap kegagalan implementasi LDP untuk mencapai
tujuannya.
c.
Disposisi.
Disposisi
yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kecenderungan-kecenderungan atau sikap
tertentu untuk mendukung atau menghambat proses implementasi. Menurut Widodo
(2011:104) disebutkan bahwa disposisi merupakan “kemauan, keinginan, dan
kecenderungan para pelaku kebijakan untuk melaksanakan kebijakan tadi secara
sungguh-sungguh sehingga apa yang menjadi tujuan kebijakan dapat diwujudkan.”
Pengertian
disposisi seperti telah disebutkan, dalam pemerintahan baru seperti
Timor-Leste, sungguh menjadi diskursus yang amat sangat menarik untuk didiskusikan. Disebutkan dalam laporan
penelitian LUTA HAMUTUK dan J4P (2010) bahwa, perbedaan pengalaman historis
pada masa pemerintahan Portugal dan Indonesia menjadi dilema dalam implementasi
LDP. Kalau hal ini sudah demikian maka kecenderungan ini masuk dalam kategori
yang disebut oleh Edwards (1980:90) sebagai “zona of indifference”. Lebih lanjut Winarno (2012:199) menjelaskan
bahwa, "ada
kebijakan yang dilaksanakan secara efektif karena mendapat dukungan dari para
pelaksana, namun kebijakan-kebijakan lain mungkin akan bertentangan secara
langsung dengan pendapat-pendapat pelaksana kebijakan atau
kepentingan-kepentingan pribadi atau organisasi dari pelaksana."
Dukungan
dari pelaksana kebijakan adalah sesuatu yang mutlak untuk menunjang
keberhasilan suatu kebijakan, namun apabila staf pelaksanan mulai memaknai
kebijakan itu menurut pengetahuan atau pengalamannya atau bahkan berdasarkan
pada kepentingannya maka tujuan dari kebijakan itupun telah mengalami distorsi.
Dalam hasil wawancara dengan District
Administrattor yang telah dikemukakan sebelumnya, secara gamblang dapat
disimpulkan bahwa, ketidakhadiran staf dari instansi dekonsentrasi (struktur
lini pemerintahan dari kementerian lain yang ada di tingkat District) merupakan bentuk tidak adanya
dukungan terhadap kebijakan LDP. Sehingga dengan demikian, kalau saja prosesnya
tetap berjalan, sudah dapat dipastikan bahwa telah terjadi kekeliruan dalam
pelaksanaaan LDP sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
Menurut
hasi wawancara LUTA HAMUTUK/J4P (2010:27) dengan Deputy District Administrator (DDA) of Aileu District, disebutkan bahwa, kekeliruan dalam implementasi
LDP bukan karena ketidaktahuan, tetapi karena setiap pemimpin mempunyai cara
tersendiri ···.” Situasi seperti yang
dijelaskan oleh DDA ini, menurut Winarno (2012:197), “··· akan berakibat pada penyimpangan terhadap tujuan awal
kebijakan.”
Kecenderungan
lain yang dapat dibaca dari laporan penelitian tersebut adalah adanya
pergantian staf yang dipercayakan untuk menangani LDP. Pergantian maupun
perpindahan pegawai dalam/pada posisi tertentu di tubuh birokrasi merupakan hal
yang biasa, namun yang tidak biasa adalah akibat yang ditimbulkan dari
pergantian pejabat tersebut. Pergantian pejabat mungkin bermaksud sebagai pencerahan
atau sejenisnya, namun kalau tidak dilakukan secara hati-hati mungkin akan
berakibat pada kelalaian terhadap tugas dan fungsi yang diembankan, atau
setidaknya pejabat baru membutuhkan sedikit waktu untuk penyesuaian. Dalam
konteks ini, menurut hasil penelitian tersebut, bahwa pergantian pejabat lebih
disebabkan karena faktor politik.
Menanggapi
kondisi yang terakhir ini, menurut Edwards (1980:103) bahwa “transferring is not panacea for the problem
of implementors’ dispositions because it doesn’t solve problem; it just remove
them.” Bahwa perpindahan/pergantian pejabat sesungguhnya bukanlah ‘obat
mujarab’ yang dapat menyembuhkan permasalahan implementasi. Kecuali mungkin ada
pejabat yang memang tidak “mampu” untuk melaksanakan kebijakan tersebut, bukan
karena berbeda paham atau karena perbedaan interpretasi terhadap konten dan
konteks kebijakan, itu berarti tidak ada dukungan.
Kecenderungan
lain yang menyebabkan tidak berjalannya implementasi kebijakan publik secara
efektif adalah tidak atau belum terapresiasinya faktor insentif dalam
pelaksanaan LDP. Pernyataan sebagian informan dalam penelitian LUTA HAMUTUK/J4P
(2010) tentang kurangnya anggaran barangkali bisa dipersepsikan sebagai bentuk
tidak adanya insentif sehingga telah melemahkan motivasi mereka untuk
berkinerja secara memadai, dan kondisi ini dapat diperburuk lagi dengan
perbedaan-perbedaan tadi.
Pemberian
insentif bagi staf pelaksana kebijakan diakui oleh Edwards (1980:107) dengan
istilah “manipulation of incentif.”
Dikatakan oleh Winarno (2012:201)) bahwa, “dengan cara menambah
keuntungan-keuntungan atau biaya-biaya tertentu barangkali akan menjadi faktor
pendorong yang membuat implementor
melaksanakan perintah dengan baik.” Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi
kepentingan-kepentingan pribadi (self-interest),
organisasi atau kebijakan substantif.
Berdasarkan
pemaparan di atas diperoleh informasi bahwa ternyata pelaksanaan LDP di Timor
Leste sesungguhnya memiliki hubungan yang erat dengan kepatuhan staf pelaksana,
faktor pengetahuan dan pengalaman, insentif serta kepentingan yang berbeda baik
secar personal maupun dalam organisasi, turut menyebabkan kegagalan
implementasi LDP mencapai tujuannya.
d.
Struktur Birokrasi Pelaksana
Meskipun
sumber-sumber untuk mengimplementasikan suatu kebijakan cukup dan para
pelaksana (implementors) mengetahui
apa dan cara bagaimana melakukannya, serta mereka mempunyai keinginan untuk
melakukannya, namun menurut Edwards (Widodo, 2011:106), “implementasi kebijakan
bisa jadi masih belum efektif karena ketidak efisien struktur birokrasi (deficiencies in bureaucratic structure).”
Menurut
DM-MAEOT No.1/2010 tentang District
Assembly, tanggal 4 Pebruari 2010, secara jelas telah ditetapkan sebuah
struktur organisasi (kurang lebih) akan menyerupai struktur Municipality dalam era desentralisasi di
masa depan. Dalam struktur tersebut telah mengakomodasi seluruh instansi lini
pemerintahan yang secara operasional berada di tiap-tiap District (sebagai badan eksekutif) dan perwakilan masyarakat yang
dipilih dari tiap-tiap Suco (desa)
sebagai badan legislatif.
Meskipun
demikian, struktur tersebut masih merupakan struktur bayangan yang dikehendaki
untuk masa depan municipality
sehingga masih belum mengikat instansi lain sebagai instansi otonom. Hal ini
dapat dilihat pada Kurangnya partisipasi dari instasi lini dalam proses
perencanaan dan implementasi program (LUTA HAMTUK/J4P, 2010).
Kondisi
tersebut di atas memperlihatkan bahwa struktur birokrasi yang dibentuk untuk
melaksanakan LDP ini belum efektif, sehingga dengan demikian sudah dapat
dipastikan bahwa implementasi LDP ini belum berjalan sesuai dengan standar yang
telah ditentukan.
Selain
struktur organisasi yang ditetapkan tersebut di atas, MAEOT juga telah
menetapkan beberapa regulasi tentang mata
dalan (pedoman kerja) sebagai standar (SOP) untuk melaksanakan LDP.
Disebutkan dalam laporan penelitian LUTA HAMUTUK/J4P (2010) bahwa, terdapat
delapan (8) bentuk mata dalan sebagai
pedoman kerja LDP. Meskipun demikian, dalam laporan evaluasi minimum condition yang dilakukan oleh
MAEOT dan LGSP (2011), masih ditemukan kinerja pemerintahan District yang menyimpang dari berbagai
regulasi yang telah ditetapkan sebagai pedoman kerja tersebut.
Penulis
menduga bahwa penyimpangan-penyimpangan itu terjadi (baik disengaja maupun
tidak disengaja) sebagai akibat dari banyak tugas yang overlapping dan tidak adanya pembagian wewenang yang jelas. Kalau
kondisinya sudah demikian, terbuka kemungkinan akan adanya fragmentasi.
Mengapa? Edwards (1980:135) bahwa, “often
didn’t know where to put a program — in which agency — and we didn’t
particularly care where it went; we just wanted to make sure it got enacted.
That’s one reason why the government is disorganized now.” Berdasrkan pada
pendapat ini kemudian dikatakan oleh Widodo (2011:106) bahwa, “struktur
birokrasi yang terfragmentasi dapat meningkatkan gagalnya komunikasi, dimana
para pelaksana kebijakan akan mempunyai kesempatan yang besar
berita/instruksinya akan terdistorsi.”
Berdasarkan
pada diskusi di atas, sudah dapat dipastikan bahwa faktor struktur birokrasi
pelaksana yang tidak efisien dan terfragmentasi memiliki kontribusi yang
positif terhadap implementasi kebijakan LDP untuk mencapai tujuannya.
V.
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Pelaksanaan LDP belum berjalan secara efektif sesuai
dengan tujuan yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor berikut.
- Komunikasi— Bahwa pelaksanaan LDP masih menghadapi kendala, terutama yang terkait dengan kemampuan untuk menyampaikan dan menyerap informasi secara jelas dan konsisten, baik oleh policy facilitator dalam mengkomunikasikan kebijakan maupun oleh staf pelaksana (implementor) dalam menerima komunikasi.
- Sumberdaya— Masuh belum memadai terhadap pengalokasian sumberdaya untuk mendukung pelaksanaan LDP, baik staf (secara kualitas maupun kuantitas), fasilitas maupun anggaran operasional yang dapat memotivasi staf untuk berkinerja secara memadai.
- Disposisi— Kurangnya kepatuhan dari staf, terutama yang berasal dari lini staf, dan interpretasi yang berbeda terhadap konten dan konteks kebijakan LDP yang disebabkan oleh perbedaan pengalaman, pengetahuan dan kepentingan politik serta yang tidak kalah penting adalah kemampuan memahami konten kebijakan yang diartikulasikan dalam bahasa tetum dan portugis secara efektif telah berkontribusi terhadap pelaksanaan LDP.
- Struktur Birokrasi Pelasana— Struktur organisasi pelaksana LDP belum efektif serta belum jelasnya wewenang telah berakibat pada struktur birokrasi yang terfragmentasi.
5.2
Saran
Berdasarkan
kesimpulan di atas, berikut ini akan disampaikan beberapa saran sebagai
berikut:
- Pemerintah melalui MAEOT segera menyusun program untuk mengkomunikasikan kembali kebijakan LDP kepada seluruh stakeholder pelaksana. Hal ini dapat dilakukan melalui refresh training secara berkala yang dapat dilakukan secara terpusat, sehingga informasi disampaikan tersebut dapat konsisten dan seragam untuk semua District. Sebaiknya juga melibatkan NGO lokal yang telah dibina sebelumnya dari tiap-tiap District sebagai policy facilitator sehingga MAEOT lebih berfokus untuk melaksanakan fungsi monitoring dan pengendalian serta evaluasi.
- MAEOT segera menyusun dan menempatkan kembali staf pelaksana berdasarkan kemampuan yang dimiliki, mengalokasikan fasilitas pendukung yang memadai, serta memberi insentif bagi pegawai yang berhasil menyelenggarakan tugas-tugasnya, terutama yang berkaitan dengan kinerja LDP.
- Hendaknya upaya pergantian atau pengangkatan pegawai dalam jabatan-jabatan LDP, lebih memperhatikan aspek profesionalitas ketimbang faktor politik yang hanya dapat menimbulkan apatisme.
- Harus menghindari adanya fragmentasi dan berusaha untuk selalu melibatkan seluruh stakeholder, termasuk staf pelaksana yang memiliki ragam latar belakang, pendidikan, pengalaman dan pengetahuan maupun kepentingan tertentu tanpa mengurangi standar pelaksanaan yang telah ditentukan dalam SOP (matadalan), serta berusaha untuk menetapkan sebuah mekanisme reward and punishment yang jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zaid Zainal,
2004. Kebijakan Publik, (Edisi Revisi).
Jakarta: Yayasan Pancur Siwah.
Anderson,
James E., 1975. Public Policy Making.
New York: Praeger.
Butterworth,
David, 2010. “Expanding State, Expectant Citizens: Local Perspectives on
Government Responsibility in Timor-Leste”. Laporan Penelitian Untuk Justice for
the Poor, The World Bank. Melalui http://www-wds.worldbank.org. [03/12/2012].
Dunn,
William N.,
2003. Pengentar Analisis Kebijakan
Publik, (Edisi
Kedua). Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Dye,
Thomas R., 1978. Understanding Public
Policy, (Third Edition). New Jersey: Englewood Cliffs, Practice Hall, Inc.
Edwards, George C., 1980. Implementing Public Policy. Washington:
Congressional Quarterly, Inc.
Hoessein,
B., 2000. “Hubungan Penyelenggaraan Pemerintahan Pusat dengan Pemerintahan
Daerah”. Dalam Choirul Muluk (2009), Peta Konsep Desentralisasi dan Pemerintahan
Daerah. Surabaya: itspress.
Irawan,
Prasetya, 2007. Penelitian Kualitatif dan
Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi
FISIP UI.
Istania,
Ratri, 2010. Politik Lokal: Meneropong
Gejolak Politik Lokal Melalui Teori Permainan. Jakarta: STIA-LAN PRESS.
MAEOT, 2010. Diploma Ministerial No. 1/2010, revizaun, de 4 Fevereiro de 2010,
konaba Assembleia Distrito, Dili.
MAEOT, “Avaliasaun Kondisaun
Mínimu ba Programa Dezenvolvimentu Lokál”. Laporan Evaluasi Pelaksanaan LDP, 15
Pebruari 2011. Melalui www.maeot.gov.tl.
[03/12/2012].
MAEOT, 2011. “Governnu Aloka
Milaun 3.5 US$ Ba Fundu Dezenvolvimentu Lokal”. Buletin Mensal Vol. IV, Edisaun
2, Marsu 2011. Melalui www.maeot.gov.tl.
[03/12/2012].
Muluk,
Choirul, 2009. Peta Konsep Desentralisasi
dan Pemerintahan Daerah. Surabaya: itspress.
NGO
Luta Hamutukdan Justice for the Poor, 2010. “Keadilan Dalam Pembangunan di
Timor-Leste”. Laporan Penelitian Mengenai Pelaksanaan Programa Dezenvolvementu
Lokal (PDL)” Melalui http://lutahamutuk.org/. [03/12/2012].
Nugroho, Riant, 2009. Public Policy, Dinamika
Kebijakan - Analisis Kebijakan - Manajemen Kebijakan. Jakarta: PT. Alex
Media Komputindo - Kelompok Gramedia.
Peters,
B. Guy, 1996. Public Policy in America:
Process and Performance. New York: Franklin Watts.
Rakhmat, 2010.
“Analisis Implementasi Program Pembangunan Daerah di Kota Parepare”. Abstrak:
Laporan Penelitian Pada Lembaga Administrasi Negara, Makassar. Melalui http://makassar.lan.go.id. [03/14/2012].
Resolução Concelho Ministro, No.
2004/88/III sobre Programa
Desenvolvimento Local, Junho 2004, Dili.
Robbins, Stephen P., 2002. Prinsip-Prinsip
Perilaku Organisasi, alih bahasa oleh Halida, ed. ke-5. Jakarta:
Erlangga.
Sartika, Ika, 2012. “Improving
Local Development Performance In Selected Provinces”. Melalui http://www.ikasari.staff.ipdn.ac.id/. [14/03/2012].
Sjamsuddin, Sjamsiar, 2007. Etika Birokrasi dan Akuntabilitas Sektor
Publik. Malang: Yayasan Pembangunan Nasional kerjasama dengan CV SOFA
Mandiri dan Indonesia Print.
Subarsono, A.G., 2005. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Suryana, Siti Erna Latifi. 2009.
“Implementasi Kebijakan tentang Pengujian Kendaraan Bermotor di Kabupaten Aceh
Tamiang”. Thesis Magister Studi
Pembangunan, Sekolah Paecasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. Melalui http://repository.usu.ac.id/.
[03/14/2012].
Wahab,
Solichin Abdul,
2005. Analisis Kebijaksanaan: Dari
Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara (Edisi Kedua). Jakarta: Bumi Aksara.
--------------- , 2011. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Malang: UMM Press.
Wastiono, Sadu, 2010. “Menuju
Desentralisasi Berkeseimbangan”. Jurnal
Ilmu Politik, edisi 21: 31-50.
Wibawa,
Samoedra, 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: Raja Grafindo.
Widodo,
Joko, 2011. Analisis Kebijakan Publik. Malang: Bayumedia
Publishing.
Winarno, Budi, 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik.
Yogyakarta: Media Presindo.
---------------, 2012. Kebijakan
Publik: Teori, Proses, dan Studi Kasus, (edisi revisi terbaru). Yogyakarta:
CAPS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar